Warganet menyebut fenomena ini sebagai "Glorifikasi Bule", yakni suatu fenomena masyarakat memandang bule lebih istimewa dibanding warga lokal.
Mungkin anda pernah mendengar kalimat "Bule suka sama orang Indonesia karena warna kulit orang Indonesia tuh eksotis". Akhirnya banyak orang berlomba-lomba menarik perhatian bule baik melalui media sosial maupun secara langsung (baca: bule hunters).
Banyak juga yang rela berjemur agar kulitnya lebih eksotis dan disukai oleh bule. Mereka lantang menyuarakan hal tersebut untuk menentang adanya standar kecantikan kulit putih.Â
Padahal tanpa mereka sadari, mereka juga sedang menciptakan standar kecantikan baru, yang mungkin bisaa kita sebut sebagai standar kecantikan idaman bule.
Hobi meminta selfie bareng bule, obsesi untuk memiliki pasangan bule, mengikuti standar kecantikan yang menurut mereka disukai oleh bule, dan hal-hal tak terduga lain yang sering dilakukan oleh para bule hunters erat kaitannya dengan suatu keadaan yang disebut dengan inferioritas mental. Inferioritas mental ditandai dengan anggapan seseorang bahwa dirinya lebih rendah dari orang lain.Â
Dengan kata lain, mereka merasa rendah diri ketika dihadapkan pada seseorang yang menurut mereka lebih unggul. Namun perasaan rendah diri itu tidak disadari dan muncul ke permukaan dalam bentuk kekaguman dan perasaan suka yang berlebihan.
Misalnya saja dalam fenomena meminta selfie bersama bule ini, biasanya disebabkan oleh pandangan bahwa secara fisik, bule lebih menarik daripada mereka. Meskipun penilaian fisik biasanya berdasarkan preferensi pribadi, namun standar kecantikan yang sedang berlaku saat ini cukup relevan dengan penampilan para bule.
Anggapan bahwa bule "lebih unggul" ini lahir akibat penjajahan dalam kurun waktu 350 tahun.Â
Dalam jurnal "Membaca Tubuh-Tubuh Patuh: Representasi Penciptaan Identitas Pribumi Melalui Tubuh-Tubuh Patuh di Hindia Belanda dalam Film Moeder Dao De Schildlapegelijkende" yang ditulis oleh Ajeng Dewanthi disebutkan bahwa pemerintah kolonial melakukan praktik diskursus pengetahuan tertentu dalam berbagai bidang.
Pelan tapi pasti, mereka menggiring para pribumi yang sebelumnya sudah memiliki pengetahuan sendiri, untuk mengikuti logika mereka. Hal inilah yang sulit untuk dilepaskan, bahkan meskipun sudah puluhan tahun merdeka.Â
Karena logika yang dibangun oleh pemerintah kolonial terserap dalam gaya hidup dan mindset mereka. Jika para pribumi memiliki logika yang selaras dengan pemerintah kolonial, mengapa mental inferior ini bisa muncul?.