Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Merupakan pribadi yang amat senang bertukar cerita, pengalaman, dan hal baru dengan semua orang dari berbagai latar belakang. Saya percaya bahwa dengan mengaktualisasikan diri melalui pertukaran dan eksplorasi ide dengan orang lain, akan tercipta ruang kebebasan berekspresi dan kesetaraan bagi setiap manusia. Jadi, mari kita saling berbagi gagasan dan berekspresi bersama!.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bule Semakin di Depan: Tradisi Glorifikasi Bule yang Terus Diwariskan oleh Masyarakat Kita

9 Januari 2021   15:32 Diperbarui: 25 Maret 2022   00:24 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisatawan di Bali. (Dok. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif via kompas.com)

Tujuh puluh lima tahun kita merdeka. Bukan waktu yang singkat, bukan pula waktu yang sangat lama. Kita, generasi yang terlahir di rentang waktu itu tak henti-hentinya bersyukur, karena setidaknya kita tak perlu memanggul senjata dan bertaruh nyawa melawan penjajah. 

Banyak perubahan yang terjadi selama rentang waktu itu. Negeri ini, Indonesia, dikenal dan dihormati oleh dunia. Suatu hadiah berharga dari sebuah kemerdekaan.

"Merdeka fisiknya saja", begitu kata media. Banyak opini dan artikel menjelaskan panjang lebar bahwa kita masih terjajah di banyak aspek. Mulai dari ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan. 

Namun ada satu hal yang begitu dekat dengan kita, yang seringkali tak kita sadari. Penjajahan itu masih mengendap dalam tubuh dengan wujud kondisi mental yang sudah menjangkiti masyarakat kita.

Dalam jurnal "Psychology and Colonialism: Some Observations" yang ditulis oleh Irene L. Gendzier disebutkan bahwa bahwa kolonialisme bukan hanya tentang perebutan wilayah, tetapi juga suatu upaya untuk secara aktif mengubah kehidupan penduduknya dalam kondisi yang merampas keinginan mereka. 

Artinya, melalui kolonialisme, rakyat Indonesia disuntik doktrin-doktrin agar mereka selalu patuh dan menuruti semua kehendak penguasa. Tanpa disadari, warisan post-kolonial ini mempengaruhi mental kita.

Adanya Inferioritas Mental

"Ekyusmi Mister, selfie, Mister, selfie!"
"Ih enak banget punya pacar bule!. Gimana sih cara dapetinnya?"
"Seleraku tuh tinggi. Aku sukanya sama bule"

Kalimat-kalimat di atas mungkin sudah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Banyak masyarakat kita yang masih menganggap orang asing berkulit putih, berbadan tinggi tegap, berambut pirang, dan berhidung mancung (baca: bule) adalah ras yang istimewa. 

Di tempat-tempat wisata seringkali kita jumpai warga lokal yang mengejar-ngejar bule untuk diajak berfoto bersama. Bahkan ada yang memfoto diam-diam -yang tentunya tanpa persetujuan si bule- dan mengunggahnya di media sosial.

Padahal, banyak bule yang merasa tidak nyaman diajak berfoto bersama dengan orang-orang yang tidak dikenalnya, sedangkan dia sendiri bukanlah seorang public figure. Bahkan di taraf yang lebih parah, banyak masyarakat kita yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pasangan bule. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun