Menjulang setinggi kurang lebih 47 meter di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini memiliki keunikan, yakni bentuknya yang mirip dengan Semeru (Mahameru), dan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Candi ini termasuk dalam situs warisan dunia UNESCO dan merupakan salah satu candi terindah di Asia Tenggara.
Namun  ada satu hal yang paling unik dari candi ini, yang mungkin tak banyak disadari, yakni terkait siapa pendirinya. Terjadi dualisme sejarah mengenai pembangunan Candi Prambanan, yakni antara sejarah pada prasasti versus legenda. Uniknya, masyarakat justru lebih familiar dengan legenda pendirian Candi Prambanan.Â
Banyak orang percaya bahwa Bandung Bondowoso dengan bantuan para jin lah yang mendirikan mahakarya ini. Hal ini dapat dilihat dengan antusiasme pengunjung untuk melihat arca Roro Jonggrang karena dianggap sebagai putri yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso karena dianggap menipunya.Â
Sedangkan ada sejarah yang menyebutkan bahwa pada abad ke-9 Masehi, seorang raja Mataram Kuno lah yang menginisiasi pembangunan candi ini. Selain itu, banyak pula yang mengira bahwa jumlah candi di kompleks Candi Prambanan benar-benar ada 999 ditambah 1 arca Roro Jonggrang.Â
Padahal faktanya, kompleks Candi Prambanan hanya terdiri dari sekitar 240 candi, yang sekarang ini tinggal tersisa 18 candi; meliputi 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Jadi, siapa pendiri mahakarya ini, Bandung Bondowoso atau raja Mataram Kuno?.
Sebelum mengulik fakta mengenai pemegang "hak cipta" sesungguhnya atas candi ini, mari kita flashback sedikit ke legenda yang dulu diceritakan dalam buku sejarah SD.
Alkisah, terjadi peperangan antara Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging melawan Raja Boko. Bandung Bondowoso berhasil membunuh Raja Boko, yang berarti bahwa ia berhasil menaklukkan Kerajaan Boko.Â
Sewaktu memasuki Kerajaan Boko, Bandung Bondowoso melihat puteri Raja Boko, yakni Roro Jonggrang yang cantik jelita layaknya bidadari, Bandung Bondowoso jatuh hati pada pandangan pertama sehingga berniat mempersunting Roro Jonggrang.Â
Roro Jonggrang yang tentunya ogah menikah dengan pembunuh ayahnya pun merancang tipu daya untuk menggagalkan rencana Bandung Bondowoso.Â
Yang pertama adalah meminta Bandung Bondowoso membuat sumur yang sangat dalam. Namun rencana ini gagal total karena ketika sumur yang sedang digali oleh Bandung Bondowoso ditimbun rapat-rapat dengan batu, Bandung Bondowoso masih dapat keluar dari sumur tersebut.
Tak mau kalah begitu saja, Bandung Bondowoso yang masih saja bucin terhadap Roro Jonggrang -biarpun sudah ditimbun dengan batu- menyanggupi permintaan Roro Jonggrang yang kedua, yakni membangun 1000 candi dalam satu malam.Â
Apabila berhasil, maka puteri cantik itu bersedia menjadi mempelainya. Ending dari kisah ini tentu sudah kita ketahui, kebucinan Bandung Bondowoso yang bahkan sampai harus mengerahkan tenaga para jin dikalahkan begitu saja oleh suara ayam jago yang berkokok.
Si ayam sendiri tidak tahu kalau dia sedang ditipu oleh Roro Jonggrang dan para gadis desa. Dikiranya hari sudah pagi, padahal masih tengah malam. Roro Jonggrang menjebak Bandung Bondowoso dan semua ayam jantan di wilayah kerajaan dengan cara memerintahkan rakyat membakar kayu sebanyak mungkin dan memerintahkan para perempuan untuk menumbuk lesungnya untuk menciptakan kesan hari sudah pagi.Â
Akibatnya Bandung Bondowoso yang saat itu sudah berhasil membangun 999 candi merasa sangat marah, akhirnya ia mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca sebagai pengganti candi yang ke-1000.
Saking boomingnya legenda ini, "sejarah asli" dari pembangunan Candi Prambanan dilupakan oleh banyak orang. Ya, menurut sumber yang ditemukan, bukan Bandung Bondowoso yang membangun candi ini.Â
Para arkeolog sepakat, bahwa pendiri Candi Prambanan adalah Sri Maharaja Rakai Pikatan. Hal ini berdasarkan prasasti Shivagrha yang menyebutkan mengenai gugusan candi yang dibangun pada masa Rakai Pikatan, bernama Shivagrha atau Siwalaya, yang bermakna "Rumah Siwa" atau "Kuil Siwa". Â
Candi ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, namun secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Sri Maharaja Dyah Balitung Maha Sambu.Â
Di prasasti yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala (Rakai Kayuwangi) ini tertulis chandrasengkala "Wwalung gunung sang wiku" berarti tahun 778 Saka (856 Masehi), yang kemudian dianggap sebagai tahun dikeluarkannya prasasti. Melihat dari ciri-ciri candi agung yang disebutkan oleh prasasti tersebut, candi agung yang dipersembahkan untuk Siwa ini identik dengan Candi Prambanan.
Siapakah sosok Rakai Pikatan?. Rakai Pikatan adalah raja keenam Kerajaan Mataram Kuno yang memerintah sekitar tahun 840- 856 M. Rakai Pikatan adalah raja yang disebut-sebut menjadi cikal bakal kehidupan toleransi di Indonesia karena menikah dengan seorang putri yang berbeda keyakinan dengannya.Â
Putri yang dimaksud adalah Pramodhawardhani. Pramodhawardhani adalah putri tunggal Raja Samaratungga yang ditetapkan sebagai penerus kerajaan. Salah satu kerabatnya, yang tak lain adalah Balaputradewa tidak setuju dengan penetapan ini. Hal ini menyebabkan terjadinya pergolakan dan pertikaian sengi tantara Balaputradewa melawan Pramodhawardhani dan suaminya, Rakai Pikatan.Â
Pertikaian ini menyebabkan kekalahan di pihak Balaputradewa yang kemudian menyingkir ke Sumatera dan mewarisi kerajaan Sriwijaya dari kakeknya, Dharmasetu. Dharmasetu sendiri diyakini juga merupakan kakek dari Samaratungga.
Apabila ditelisik lebih lanjut, Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan sebenarnya berasal dari 2 wangsa yang saling bersaing. Rakai Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, sedangkan Pramodhawardhani berasal dari wangsa Syailendra yang beragama Buddha Mahayana.Â
Wangsa Sanjaya pernah berkuasa di tanah Jawa, namun harus berakhir dan beralih ke wangsa Syailendra sekitar tahun 792 M. Hal inilah yang membuat banyak ahli berspekulasi bahwa perkawinan keduanya sebenarnya adalah perkawinan politik untuk mempertahankan tahta Pramodhawardhani. Karena seperti yang kita ketahui, pada masa itu, seorang pemimpin perempuan belum lazim ditemui.
Sebelum bersatunya Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan, agama Buddha lebih dominan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Candi Borobudur yang dibangun pada era Samaratungga dan diresmikan oleh Pramodhawardani.Â
Namun siapa sangka?, setelah Pramodhawardhani bertakhta dengan didampingi Rakai Pikatan, lambat laun sang suami justru lebih berpengaruh. Sampai pada pembangunan Candi Prambanan, candi hindu terbesar, yang diduga dimaksudkan untuk menyaingi Candi Borobudur.
Asmito, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kebudayaan Indonesia bahkan menyebutkan bahwa Rakai Pikatan sebenarnya ingin melenyapkan kekuasaan Syailendra. Untuk melancarkan tujuannya, ia menikahi Pramodhawardhani, sang pewaris takhta Syailendra.
Dengan demikian ia dapat sekaligus menyingkirkan Balaputradewa yang saat ini memiliki pengaruh kuat dalam wangsa Syailendra. Sebenarnya, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dari pernikahan ini. Namun tidak ada yang tahu siapa yang sedang memanfaatkan, dan siapa yang sedang dimanfaatkan.
Jika Roro Jonggrang tak nyata adanya, lalu siapakah sosok yang diwujudkan dalam arca Roro Jonggrang yang selama ini menjadi alasan bagi begitu banyak kunjungan ke Candi Prambanan?.Â
Arca Roro Jonggrang dipandang identik dengan salah satu dewi hindu, yakni Dewi Durga Mahisasura Mardini, atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Durga. Dalam mitologi hindu, Dewi Durga merupakan penakluk Asura dan perwujudan dari Parwati, istri Siwa .Â
Bangsa Asura sendiri merupakan bangsa yang selalu mengacaukan kahyangan dan dipimpin oleh makhluk berbentuk banteng. Dewi Durga digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik dan memiliki delapan tangan. Dalam setiap tangannya, Dewi Durga memegang senjata khusus yang merupakan hadiah dari para dewa.
Demikianlah ulasan mengenai siapa pembangun Candi Prambanan. Dari dua kisah yang ada, seolah-olah terjadi persaingan sengit antara Bandung Bondowoso dengan Rakai Pikatan untuk menunjukkan pada masyarakat siapa sebenarnya pendiri Candi Prambanan.Â
Padahal keduanya jelas berbeda dari segi kredibilitas. Namun keyakinan dan budaya masyarakat ternyata mampu mengubah banyak hal. Jadi, mana yang lebih anda yakini?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H