Istilah "Revolusi industri 4.0" sudah tidak asing lagi di telinga kita. Berbagai media massa membahas mengenai bagaimana dunia akan berubah secara pesat berkat teknologi yang semakin maju. Orang-orang berlomba-lomba menggali skill apa saja yang wajib mereka kuasai untuk menyambut era ini.
Revolusi Industri 4.0 akan menimbulkan perubahan cara hidup dan cara kerja manusia dengan mengintegrasikan dunia fisik, digital, dan biologis menjadi suatu terobosan teknologi baru. Produk-produk hasil revolusi industri 4.0 yang paling diagungkan diantaranya adalah teknologi nano, artificial intelligence, internet of things, machine learning, Â cloud computing, robot, dan bioteknologi.Â
Di tengah pandemi covid ini, revolusi industri 4.0 terlihat semakin nyata dengan semakin ramainya penggunaan aplikasi virtual untuk berbagai kepentingan, misalnya telemedicine, crowdfunding, dan berbelanja.
Melihat realita diatas, sangat masuk akal apabila kita mengatakan bahwa ilmu-ilmu eksakta menjadi pioneer bagi Revolusi Industri 4.0. Orang-orang akan langsung diarahkan untuk belajar mengenai big data, data mining, coding, dan bidang-bidang lain yang bersinggungan dengan ilmu eksakta karena bidang-bidang inilah yang dianggap paling dibutuhkan untuk bersaing di era Revolusi Industri 4.0.
 Lalu bagaimana nasib ilmu sosial dan humaniora?. Pada dasarnya, dunia yang terus berkembang ini selalu membutuhkan ilmu sosial dan humaniora. Namun perkembangan ilmu alam dan ekstakta jauh lebih cepat dan signifikan.Â
Daripada memikirkan teori-teori yang sifatnya filosofis maupun berdebat tentang suatu hal yang kurang menghasilkan uang, orang lebih terpacu untuk menciptakan sesuatu yang dapat mempermudah hidupnya dengan memanfaatkan ilmu-ilmu pasti dan data.Â
Akibatnya, dalam sekejap dunia berubah menjadi dipenuhi data kuantitatif. Hal ini menempatkan orang-orang yang berada di bidang sosial dan humaniora dalam posisi seolah hanya menebarkan teori, aktif berkomentar, dan mengkritik tanpa mampu menghasilkan apa-apa.
Untuk ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi, psikologi, dan sosiologi mungkin masih dapat bernapas lega karena keduanya mempunyai korelasi langsung dengan Revolusi Industri 4.0. Ilmu ekonomi menjadi landasan bagi Revolusi Industri 4.0 dalam menyusun strategi yang efektif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan manufaktur.Â
Kedua ilmu ini secara nyata dapat berdampingan dalam rangka perluasan lapangan pekerjaan dan kewirausahaan melalui teknologi produksi yang efektif. Dapat disimpulkan keduanya bertalian erat karena Revolusi Industri 4.0 banyak diarahkan untuk memajukan sektor ekonomi. Sedangkan ilmu psikologi dan sosiologi tidak akan ada matinya karena berkorelasi langsung dengan kondisi manusia.
Demikian pula dengan ilmu hukum yang sifatnya sui generis. Ilmu hukum akan tetap dibutuhkan dalam rangka pembuatan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi. Namun tetap saja, tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan tenaga kerja dari bidang ilmu sosial jumlahnya jauh lebih sedikit daripada dari bidang ilmu alam dan eksakta. Hal ini membuat eksistensi ilmu-ilmu ini dipandang sebelah mata.
Bagaimana dengan nasib ilmu-ilmu humaniora?. Ilmu-ilmu humaniora yang terdiri dari seni, filsafat, sastra, sejarah, dan studi agama lebih diremehkan daripada ilmu-ilmu sosial, apalagi di dunia yang dipenuhi data kuantitatif seperti ini. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu humaniora lebih banyak menghasilkan pemikiran yang sifatnya teoritis daripada suatu penemuan yang nyata dan dapat meringankan hidup manusia. Lantas, apakah bisa kita katakan kedua bidang ilmu ini sudah basi?.
Sejujurnya, di era ini, orang-orang dari kalangan ilmu sosial-humaniora kurang mendapatkan kesempatan untuk diserap menjadi tenaga kerja dalam suatu perusahaan. Kecuali apabila perusahaan tersebut memang bergerak di bidang yang relevan dengan ilmu sosial-humaniora. Hal ini mengharuskan orang-orang sosial-humaniora mempelajari skill ala ala Revolusi Industri 4.0, seperti coding, data warehousing, dan sebagainya untuk dapat memperoleh kesempatan yang sama dengan orang-orang eksakta.
Namun bukan berarti ilmu sosial-humaniora sudah tidak memiliki daya lagi di era ini. Ilmu sosial-humaniora justru diperlukan untuk menjaga agar manusia tetap menjadi subjek yang mengendalikan teknologi. Teknologi memerlukan filsafat untuk memupuk demokratisasi makna dan penalaran praktis.Â
Teknologi juga memerlukan sejarah dan budaya, untuk melihat dan merancang inovasi-inovasi bagi masa depan, agar hal-hal buruk di masa lalu tidak terjadi, dan agar inovasi yang diciptakan dapat berdaya guna bagi masyarakat. Bahkan teknologi juga memerlukan seni sebagai alat untuk eksplorasi ide dan kreativitas.Â
Kita ambil contoh Steve Jobs yang terinspirasi untuk membuat desain Mac setelah mengikuti kelas kaligrafi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya humaniora-sains dapat menjadi 2 cabang ilmu yang bertalian erat dalam membangun teknologi.Â
Selain itu, humaniora dapat dikembangkan menjadi humaniora digital, dimana para humanis tetap memegang kendali dalam penyajian konten-konten literasi. Orang eksakta boleh saja membuat piranti untuk pengarsipan, namun untuk urusan penyajian konten, para humanis jagonya!.
Oleh karenanya apabila kita bertanya-tanya apakah sosio-humaniora sudah basi di era ini?, jawabannya adalah tidak dan tidak akan pernah. Bahkan meskipun terlihat tidak menghasilakn teknologi apa-apa, sebenarnya ilmu sosial-humaniora berperan penting untuk merancang dan mendayagunakan penemuan-penemuan ilmu alam dan eksakta.Â
Misalnya saja produksi film, musik, busana, konten media massa, dilakukan dengan menggabungkan hasil pemikiran sosial-humaniora bersama inovasi ilmiah yang kemudian melahirkan lapangan-lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Selain itu, banyak bidang-bidang kewirausahaan dan pekerjaan-pekerjaan freelance yang membutuhkan skill orang-orang sosial-humaniora.
Pada akhirnya, perlu diingat oleh siapapun yang mulai pesimis terhadap ilmu sosial-humaniora, bahwa ilmu ini masih relevan di era Revolusi Industri 4.0 karena bertalian erat dengan ilmu alam dan eksakta.Â
Keduanya saling mengisi dan bersinergi. Ilmu sosial-humaniora selalu hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia akan komunikasi, kasih sayang, kemerdekaan, dan pengembangan potensi, tak peduli bagaimana kondisi teknologi saat itu.Â
Dengan ilmu sosial-humaniora, seseorang memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang memicu perkembangan teknologi pula.Â
Demikian dengan ilmu alam dan eksakta yang terus menerus menghasilkan inovasi dapat membantu pengembangan ilmu sosial-humaniora. Sejatinya di era Revolusi Industri 4.0 ini keduanya saling mengisi, bergerak selaras, dan saling melengkapi. Tergantung bagaimana kita memanfaatkan peluang yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H