Sadar terhadap lingkungan, berarti membangun dan melestarikan sumber daya alam menuju tegaknya budaya cinta lingkungan. Jika lahir gerakan dalam masyarakat yang dengan penuh kesadaran terhadap lingkungan, maka bagaimana dengan para pemimpin masyarakat sendiri?
Pertanyaan itu timbul, karena para pemimpin dengan dalih untuk sebuah pembangunan, justru kadang-kadang merusak lingkungan. Padahal, seorang pemimpin, dirinya bukan sekedar memimpin masyarakat manusia, tetapi juga memimpin masyarakat makhluk selain manusia (yang luas dan beragam).
Artinya, bukan merupakan kebijakan seorang pemimpin bila dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan, lantas sesuatu itu menjadi sebuah idiologi pembangunan modern yang merusak alam dan lingkungannya. Yang pada gilirannya, ia akan merusak manusia itu sendiri, seperti adanya kasus terjadinya pencemaran lingkungan (air, tanah, udara dan makanan) yang sering terjadi di sekitar kita.
Di sini, perlu dicatat oleh kita bahwa tanaman berhak untuk hidup dan tumbuh, tanah berhak untuk 'bernapas', ayam dan ternak (baca: hewan) berhak untuk berkembangbiak agar memperoleh kemuliaan dikala disembelih dan dimakan manusia. Mungkin anda ingat, akan riwayat yang bercerita tentang Nabi Ibrahim as. Dia memimpin hak-hak binatang, batu dan kerikil, padi dan hutan? Oleh karenanya, kita pun harus menyempurnakan hak-hak memelihara tanah dan alam lingkungan ini. Karena, bukankah seorang khalifah itu harus memimpin tanah dan airnya?
Tanah dan air itu, akan menumbuhkan pepohonan yang rindang sebagai paru-paru dunia dan manusia hidup di dalamnya. Kita membayangkan pohon-pohon cemara menjulang tinggi melambai-lambai membagi cinta dan kasih sayang dengan manusia. Tidak ada suatu keindahan yang paling indah, selain keindahan disaat kita berkencan dengan keindahan alam. Itulah salah satu perwujudan dialog kita kepada Allah. Bagaimana menurut Anda?***