Membangun Kekuatan Maritim  Pada Sengketa Teritorial di Laut China Selatan
Dinamika perebutan wilayah di kawasan Laut China Selatan (LCS) akibat klaim yang saling tumpang tindih masih menjadi isu keamanan utama di kawasan ASEAN. konflik LCS juga mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sementara itu, Tiongkok beralasan pihaknya berhak atas perairan di Kepulauan Natuna atas dasar argumen traditional fishing zone yang dikenal dengan area nine dash line.
Ketentuan penyelesaian konflik yang tercantum dalam Konvensi UNCLOS dengan cara damai mengacu pada mandat Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terdapat dua prosedur untuk menyelesaikan sengketa, yaitu mengikat dan tidak mengikat. Prosedur yang mengikat untuk menyelesaikan konflik mengikat adalah ketika para pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan konflik, mereka dapat mengajukan gugatan. Pengadilan Arbitrase dan Mahkamah Hukum Laut Internasional adalah lembaga konvensi yang memiliki kewenangan untuk mewakili ketika korban konflik mengajukan keputusan atas konflik yang terjadi. Sementara itu, prosedur penyelesaian yang tidak mengikat berarti bahwa para pihak pihak yang berkonflik dapat menentukan jalan damai atau konfrontasi langsung sesuai dengan keinginan mereka.
Jika terjadi konflik di LCS maka sebagian wilayah laut di Natuna dan sekitarnya akan menjadi mandala perang bagi negara-negara pengklaim maupun negara besar yang berkepentingan di Laut China Selatan, Oleh karenanya Indonesia harus senantiasa menyiagakan kekuatan yang cukup untuk menjaga kedaulatan wilayah di Laut Natuna apabila konflik di LCS berkembang menjadi konflik bersenjata.
Perimbangan Kekuatan
Bagi kaum realis, sistem internasional yang menyebabkan anarki membuat negara-negara harus mempertahankan dirinya dengan memperkuat kekuatan internalnya. Tanpa adanya kekuasaan melebihi negara, maka negara-negara cenderung menangkal kebangkitan serangan hegemon dengan membangun kekuatan yang dapat mengimbangi hegemon tersebut.
Hanya ada dua opsi yang ditawarkan dalam Perimbangan Kekuatan ; Balancing dan Bandwagoning. Balancing merupakan upaya mengimbangi kekuatan (negara atau aliansi) pesaing dengan membangun kekuatan internal atau aliansi (sebagai kekuatan eksternal) sedangkan Bandwagoning merupakan upaya kompromi dengan kekuatan pesaing untuk menghindari konflik, baik dalam bentuk memenuhi kepentingan pesaing atau menjadi bagian dalam aliansi pesaing. Ketika suatu negara atau blok negara menjadi terlalu kuat, negara lain menyikapinya sebagai ancaman bagi keamanan dan meresponsnya dengan upaya perimbangan baik sendiri maupun dengan bantuan negara lain untuk meningkatkan kekuatannya.
Â
Pembangunan Kekuatan Maritim
Pembangunan kekuatan maritim dalam konflik Laut selaras dengan 5 (lima) Pilar konsep Poros Maritim Dunia,dimana konsep ini disampaikan Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-9 East Asia Summit (EAS), pada tanggal 13 November 2014. Terdapat dua aspek penting dalam membangun kekuatan Maritim regional yang disegani di kawasan Asia Timur dengan prinsip defensif aktif dalam rangka menjamin kepentingan nasional yaitu pertahanan militer dan nirmiliter.
Usaha pertahanan militer diselenggarakan melalui pembangunan postur pertahanan negara secara berkesinambungan untuk mewujudkan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa kekuatan pertahanan militer mencakup aspek organisasi, peralatan utama sistem senjata dan pendukungnya serta aspek pangkalan. Kemampuan pertahanan militer mencakup lima kemampuan utama, yaitu kemampuan intelijen, kemampuan pertahanan, kemampuan keamanan, kemampuan pemberdayaan wilayah dan kemampuan dukungan. Kekuatan pertahanan yang telah terbentuk secara profesional, kemudian dikembangkan dalam suatu gelar kekuatan pertahanan militer yang dimaksudkan untuk mengimplementasikan strategi pertahanan negara guna menghadapi ancaman nyata dan menangkal ancaman potensial. Usaha petahanan nirmiliter meliputi : Pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim di wilayah pesisir dan perbatasan untuk membuka jalur logistik. Membangun kembali kebudayaan sebagai bangsa maritim Membangun landasan dan infrastruktur sistem informasi yang kuat di wilayah maritim serta Peningkatan kerja sama internasional di bidang pertahanan dan industri pertahanan dalam negeri