Gemercik air langit yang tersisa
Masih membasahi dinding-dinding
Mahkota kembang sepatu merah
Tak menguras asa sang kupu-kupu
Menjelajahi hamparan sabana bunga
Soal setetes nektar
Tuk menyiram kerongkongan
Yang telah berhari-hari mengering
Eloknya sayap, lepek
Tetap mengiringi perjalanan
Kupu-kupu malang tersebut
Sungguh tak kuasa melihat deraan derita
Hewan kepompong itu
Dari ribuan bunga yang menggeliat
Tak nampak satupun yang menjulurkan tangan
Mengasihinya walau hanya setetes
Cairan legit nan kental
Entahlah dosa apa yang telah ia perbuat
Sampai-sampai
Handai taulan pun tak mengempatinya
Sesampainya di pungkasan taman
Ditemuinya  bunga besar, lebar
Beraromakan layaknya got depan rumah
Atas sabetan kosongnya perut
Ia pun gigih mencari sari manis kembang itu
Meski terkadang nafasnya tak mampu lagi
Menghirup aroma dan takdir buruknya
Lagi dan lagi
Si malang tak menemukan apapun
Dada  ia busungkan
Menolak belas kasihan Dewi Fortuna
Menepis dari pahitnya kenyataan
Yang ada
Kini
Gelagatnya tertuju pada sebuah
Kantung yang menjulur di atas dahan hijau
Hati yang berbunga
Kala melihat obat penyembuh
Perut yang kemriwik
Terbanglah ia dengan kibasan sayap
Pertanda bahagia yang seutuhnya
Lalu masuklah si kupu-kupu
Pada cerobong itu
Alangkah sumringanya ia
Dihadapkan pada genangan nektar
Akan tetapi kuncup kantong itu
Dengan perlahan menyatu
Bak langit yang mendung
Kupu-kupu itu tersesak, gelap
Makanannya itu sekarang jadi musuh
Terus menariknya
Ahhhh...
Kini kupu-kupu itu telah tercerna
Oleh makananya sendiri
Malang, pungkasan Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H