Mohon tunggu...
Aris Dany Setyawan
Aris Dany Setyawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang

Malang,2 April 2003, Pecintas Sastra I Author Kesejarahan I Pengamat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Malem Pitulas, Akulturasi Antara Nilai Tradisional, Religius, dan Nasionalisme

16 Agustus 2020   17:18 Diperbarui: 16 Agustus 2020   17:33 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sepatutnya menjadi momentum bagi Bangsa Indonesia untuk menundukkan kepala, mengenang kiprah para pahlawan terdahulu yang telah berjuang dengan segenap tenaga, harta dan nyawa demi menjaga keutuhan sang Ibu Pertiwi sehingga kita sebagai anak cucunya bisa hidup tentram tanpa adanya kekerasan dari bangsa asing yang biadab. 

Hal tersebut memang sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menghargai jasa para pejuang di masa lalu sesuai kemampuan dan bidang kita masing-masing dengan cara mengisi kemerdekaan ini dengan melakukan perubahan positif yang dapat berguna bagi nusa dan bangsa. 

Berbekal pedoman petuah yang berbunyi "Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya" event kemerdekaan saat ini banyak digunakan oleh seluruh Bangsa Indonesia dari segala lapisan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan untuk mengenang jasa para pahlawan.

Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote jika memasuki bulan Agustus sudah memulai rangkaian peringatan kemerdekaan dengan serempak memasang bendera atupun umbul-umbul sebagai tanda bahwasanya negara Indonesia sudah bebas dari belenggu kolonialisme para bangsa barat. Adapun acara peringatan yang lain setiap daerah berbeda-beda.

Di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung, mungkin itulah peribahasa yang tepat digunakan sebagai gambaran negara Indonesia yang majemuk melatar belakangi adanya perbedaan saat peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Memang, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri dalam memperingati hari Kemerdekaan sesuai dengan latar belakang sosial budaya daerah masing-masing.

Jika umumnya hari Kemerdekaan diperingati secara insidental seperti upacara kemerdekaan, lomba- lomba, jalan sehat ataupun yang lain. Beberapa daerah ternyata memiliki cara tersendiri dalam memperingatinya dengan memadukan tradisi yang ada di lingkungannya. Seperti halnya salah satu tradisi yang akan saya ulas dalam artikel ini. Simak sampai habis!

Tradisi Malem Pitulas atau yang berarti tradisi malam tujuh belas. Dari namanya saja sudah bisa ditebak jika tradisi ini dilakukan di malam 17 agustus atau tanggal 16 agustus. Tradisi ini kerap disebut barikan oleh masyarat desa. Maksudnya adalah hajatan di malam hari sebelum hari Kemerdekaan.

Upacara yang satu ini memiliki tata acara yang hampir sama dengan tradisi Megengan yakni tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Di mana beberapa orang berkumpul dengan membawa sajian makanan dari rumah sendiri. Tradisi Malem Pitulas biasanya diadakan di jalan raya ataupun jalanan di kampung sebab diikuti oleh banyak orang dan juga sebagai isyarat adanya persatuan antar masyarakat.

Hal yang unik dari tradisi ini adalah adanya beberapa acara seperti pidato pemuka agama ataupun pemuka adat, pentas seni hingga ada beberapa daerah yang sengaja rela menggelontorkan uang untuk mengundang seorang veteran sebagai narasumber untuk bercerita mengenai bagaimana kerasnya perjuangan mendapatkan kemerdekaan.

Tujuannya tak lain untuk menggugah semangat para kaum muda di masa seperti ini. Akan tetapi, dari beberapa acara tersebut, ada satu acara yang tak kalah penting dan bisa dikatakan sebagai inti tradisi Malem Pitulas ini yaitu doa bersama. Karena acara seperti ini masih mendarah daging di Jawa, maka tak heran jika doanya menggunakan bahasa Jawa yang sangat sulit dipahami artinya. Sehingga orang-orang yang hadir hanya bisa menganggukkan kepala seraya berbisik amiin.

Jika doa telah usai, menandakan bahwa  rangkain acara berakhir dan dilanjutkan dengan makan bersama. Makanannya sendiri berupa lauk pauk yang khas dalam acara hajatan seperti ; nasi kuning, mie, kering tempe, ayam goreng dan masih banyak lagi.

Selain nasi dan perangkat lauk juga ada jajanan khas yang harus ada dalam tradisi tahunan ini yakni apem. Apem sendiri di kalangan orang jawa khusunya mereka yang menganut paham nahdliyin difilosofikan sebagai jajanan khas yang melambangkan permohonan maaf kepada Allah swt atas kesalahan orang yang didoakan. Seperti halnya pada konteks tradisi ini berarti Merujuk pada para pahlawan. Makanan ini dimakan bersama-sama atau bisa saja hanya ditukarkan kemudian dibawa pulang lagi kerumah masing-masing.

Memang, dimasa seperti ini tradisi Malem Pitulas dan sejenisnya sudah mulai langka untuk ditemui karena sudah tergantikan dengan perayaan yang lebih modern. Kendati demikian, tradisi sakral yang satu ini eksistensinya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi nila- nilai filosofi yang terkandung didalamnya sangatlah dalam dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah jabaran nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Malem Pitulas.

Pertama adalah nilai tradisional. Hal yang sangat nampak dari sisi tradisional tradisi ini adalah bentuknya yang menyerupai dengan acara Megengan dan Bersih Desa di mana tradisi seperti ini memiliki nilai- nilai keluhuran yang tentu sudah menjadi warisan turun-temurun para pendahulu kita.

Selain itu, sisi tradisional juga bisa dilihat dari keguyupan masyarakat yang sudah menjadi kebiasan para warga di desa yang notabene masih memegang nilai-nilai tradisional.

Nilai yang selanjutnya yakni nilai religius. Nilai religus atau keagamaan dalam tradisi yang diadakan satu kali untuk setiap tahunya ini berupa doa. Dengan adanya doa secara tidak langsung menggambarkan rasa syukur dan tawadhu` kepada Allah.

Meski hidup dalam lingkaran tradisional tak menyurutkan niatan untuk meyakini bahwa ada sebuah dzat yang mengatur roda kehidupan. Dan juga merupakan bentuk keberalihan kepercayaan mereka kepada hal-hal yang berbau tahayul menuju ke kepercayaan yang haq.

Nasionalisme juga menjadi salah satu nilai yang terkandung dalam tradisi yang bertujuan untuk mengenang kemerdekaan ini. Nilai nasionalisme tercermin dari adanya rasa bangga menjadi warga negara Indonesia dan juga rasa empati kepada jasa para pahlawan.

Memang, jika dilihat secara kasat mata tradisi ini hanya sekedar hajatan semata. Namun, jika ditelusuri makan muncul butir-butir rasa cinta tanah air walau nasionalisme itu tidak bisa diukur.

Nilai-nilai dari segala tradisi memang sudah tidak diragukan lagi keberadaanya. Nilai tersebut mengajarkan kita bahwa hidup ini perlu tuntunan dan juga tauladan. Dan hal terpenting sebagai pesan adalah jaga dan lestarikan tradisi semacam ini seperti kau jaga negeri tecinta ini agar kelak anak cucu kita bisa merasakan nilai-nilai filosofi untuk kehidupannya!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Dirgahayu ke-75 Republik Indonesia

Jayalah Negriku Jayalah Bangsaku!

~Aris~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun