Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sepatutnya menjadi momentum bagi Bangsa Indonesia untuk menundukkan kepala, mengenang kiprah para pahlawan terdahulu yang telah berjuang dengan segenap tenaga, harta dan nyawa demi menjaga keutuhan sang Ibu Pertiwi sehingga kita sebagai anak cucunya bisa hidup tentram tanpa adanya kekerasan dari bangsa asing yang biadab.Â
Hal tersebut memang sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menghargai jasa para pejuang di masa lalu sesuai kemampuan dan bidang kita masing-masing dengan cara mengisi kemerdekaan ini dengan melakukan perubahan positif yang dapat berguna bagi nusa dan bangsa.Â
Berbekal pedoman petuah yang berbunyi "Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya" event kemerdekaan saat ini banyak digunakan oleh seluruh Bangsa Indonesia dari segala lapisan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan untuk mengenang jasa para pahlawan.
Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote jika memasuki bulan Agustus sudah memulai rangkaian peringatan kemerdekaan dengan serempak memasang bendera atupun umbul-umbul sebagai tanda bahwasanya negara Indonesia sudah bebas dari belenggu kolonialisme para bangsa barat. Adapun acara peringatan yang lain setiap daerah berbeda-beda.
Di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung, mungkin itulah peribahasa yang tepat digunakan sebagai gambaran negara Indonesia yang majemuk melatar belakangi adanya perbedaan saat peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Memang, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri dalam memperingati hari Kemerdekaan sesuai dengan latar belakang sosial budaya daerah masing-masing.
Jika umumnya hari Kemerdekaan diperingati secara insidental seperti upacara kemerdekaan, lomba- lomba, jalan sehat ataupun yang lain. Beberapa daerah ternyata memiliki cara tersendiri dalam memperingatinya dengan memadukan tradisi yang ada di lingkungannya. Seperti halnya salah satu tradisi yang akan saya ulas dalam artikel ini. Simak sampai habis!
Tradisi Malem Pitulas atau yang berarti tradisi malam tujuh belas. Dari namanya saja sudah bisa ditebak jika tradisi ini dilakukan di malam 17 agustus atau tanggal 16 agustus. Tradisi ini kerap disebut barikan oleh masyarat desa. Maksudnya adalah hajatan di malam hari sebelum hari Kemerdekaan.
Upacara yang satu ini memiliki tata acara yang hampir sama dengan tradisi Megengan yakni tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Di mana beberapa orang berkumpul dengan membawa sajian makanan dari rumah sendiri. Tradisi Malem Pitulas biasanya diadakan di jalan raya ataupun jalanan di kampung sebab diikuti oleh banyak orang dan juga sebagai isyarat adanya persatuan antar masyarakat.
Hal yang unik dari tradisi ini adalah adanya beberapa acara seperti pidato pemuka agama ataupun pemuka adat, pentas seni hingga ada beberapa daerah yang sengaja rela menggelontorkan uang untuk mengundang seorang veteran sebagai narasumber untuk bercerita mengenai bagaimana kerasnya perjuangan mendapatkan kemerdekaan.
Tujuannya tak lain untuk menggugah semangat para kaum muda di masa seperti ini. Akan tetapi, dari beberapa acara tersebut, ada satu acara yang tak kalah penting dan bisa dikatakan sebagai inti tradisi Malem Pitulas ini yaitu doa bersama. Karena acara seperti ini masih mendarah daging di Jawa, maka tak heran jika doanya menggunakan bahasa Jawa yang sangat sulit dipahami artinya. Sehingga orang-orang yang hadir hanya bisa menganggukkan kepala seraya berbisik amiin.