Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Data Pangan BPS Bukan Data Mafia

1 November 2019   18:56 Diperbarui: 3 November 2019   05:05 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polemik data pangan seolah tak kunjung usai. Hal tersebut ditandai dengan pernyataan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Menteri Pertanian era Kabinet Kerja periode 2014 -- 2019, Andi Amran Sulaiman yang menuding bahwa ketidakakuratan data lahan sawah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 92%. 

Dirinya mengklaim bahwa lahan sawah yang diolah BPS Bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) sangat tidak akurat.

Yang lebih mencengankan adalah klaim dari Mantan Mentan, "Hanya ada dua data, yakni data pertanian (Kementan) dan data mafia." Sebagaimana dikutip dan diberitakan oleh hampir semua media nasional saat acara serah terima jabatan dengan Mentan yang baru, Syahrul Yasin Limpo, Jumat (25/10).

Pernyataan yang jelas-jelas menyerang 5 lembaga sekaligus yang terlibat di dalamnya. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ATR, Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) adalah lembaga-lembaga yang digandeng oleh BPS untuk penyempurnaan metode KSA.

Perlu diketahui bersama bahwa BPS tidak pernah melakukan pengukuran luas baku lahan. Sebelum tahun 2018 data luas baku lahan, luas tanam, dan luas panen selalu berpedoman pada pengumpulan dinas-dinas pertanian melalui petugasnya di lapangan. Di mana cara pengumpulannya sendiri telah dikritik habis-habisan oleh Forum Masyarakat Statistik (FMS) dan anggota DPR RI serta para akademisi yang dipakai sejak lama, bahkan oleh mantan Wapres, Jusuf Kalla kala itu.

Metode itu adalah hanya dari pandangan mata (eye estimate). Hasil yang disinyalir membuat begitu over estimate. Tidak tanggung-tanggung, kesalahan yang bersifat sistematis itu terjadi sejak tahun 1990-an, bahkan sejak tahun 1975.

Kemudian untuk menghitung produktivitas dilakukan ubinan untuk memperkirakan produksi padi per hektare guna penghitungan produksi total di Indonesia. Ubinan dilakukan oleh petugas pertanian dan petugas BPS dengan jumlah sampel 50% berbanding 50%.

Hasil sensus pertanian sejak tahunn 1993, 2003, dan 2013, serta Survei Pertanian Antarsensus (SUTAS 2018) ditemukan sebuah fakta kecenderungan penurunan jumlah lahan baku sawah.

Yang terbaru adalah menurut temuan Kementerian ATR/BPN bahwa ada penurunan luas baku lahan sawah menjadi hanya  7,1 juta hektare saja pada tahun 2018.

Hal yang sangat bertentangan dengan data Kementan yang mencatat kenaikan luas lahan baku sawah yang mencapai 7,79 juta hektare atau data yang lain pada 2016 mencapai 8,19 juta hektare.

Sepertinya data dari Kementan tidak melakukan pengurangan alih fungsi lahan yang jumlahnya tidak sebanding dengan pembukaan sawah baru. Kenyataan di lapangan bahwa penduduk semakin banyak, kebutuhan untuk tempat tinggal, belum lagi tempat-tempat industri, wisata, akomodasi, dan lainnya semakin besar.

Disinyalir ada ketidakwajaran peningkatan lahan baku sawah terstruktur dari petugas dinas pertanian di desa-desa dan kecamatan.

Penyebabnya, karena setiap mereka dibebani target luas panen dan produktivitas yang besar. Penghargaan dan anggaran bantuan akan semakin besar seiring besarnya luas sawah.

Hal ini diamini oleh Mentan yang baru, SYL, saat dialog di CNN Indonesia, "Saya bekas kepala desa juga, jika saya mau dicap hasil pertanian saya bagus saya akan bilang ke petugas pertanian bikin dong hasil ubinan dari 4 ton menjadi 5 ton (per hektare), saya juga bekas camat, juga bekas bupati, akhirnya kenaikan itu bisa sampai 3 kali (karena permintaan)." (CNN Indonesia, 25/10).

SYL mengakui tidak akan mengikuti anjuran Mantan Mentan, Amran Sulaiman, agar tidak memakai data BPS. SYL akan tetap memakai data BPS sebagai leading sector dan tidak boleh lagi ada data versi lembaga lain.

"Data BPS akan menjadi leading sector tetapi perbaikan akan tetap kita lakukan untuk penyempurnaan," lanjut beliau.

KSA yang Terbaik Saat Ini
Berdasarkan data KSA tahun 2018 lalu, BPS mencatat luas panen mencapai 10,9 juta hektare. Adapun, berdasarkan perhitungan luas panen diperkirakan produksi gabah kering giling atau GKG mencapai 56,54 juta ton gabah atau setara dengan 32,42 juta ton beras.

Karena itu, dengan angka konsumsi beras mencapai 29,57 juta ton per tahun, maka diketahui surplus beras diperkirakan mencapai 2,85 juta ton. Angka yang sangat jauh disbanding data Kementan dengan selisih 30% lebih.

Pada tahun 2019 ini selain terus meningkatkan akurasi, metode KSA juga telah melakukan pengukuran untuk memperkirakan luas panen jagung.

Sehingga nantinya selain metode yang semakin baik performanya, juga akan merilis dua komoditas pangan yakni potensi produksi beras dan produksi jagung.

Tudingan Amran Sulaiman yang secara tidak langsung menganggap data hasil KSA sebagai data mafia tentu mendapat reaksi keras.

Paling tidak, dari para personel terkait 5 lembaga yang terlibat di dalamnya serta masyarakat yang mempertanyakan diamnya selama ini jika memang menganggap data miliknya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Metode KSA merupakan metode yang lebih objektif dan ilmiah karena didasarkan pada kaidah pengambilan sampel yang benar dan kesalahan relatifnya dapat dihitung serta dapat dipertanggungjawabkan. Metode ini mengamati berupa segmen yang terdiri dari sembilan subsegmen secara kontinu.

Selanjutnya titik amatan tersebut fasenya dicatat untuk kemudian dihitung estimasi luas panen dan angka potensi panennya hingga tiga bulan ke depan menggunakan klasifikasi fase tumbuh padi yang diamati oleh petugas. Hal yang tidak dilakukan oleh metode eye estimate-nya (baca: kira-kira) Kementan.

Saat ini ada sebanyak kurang lebih 22 ribu sampel segmen yang diamat dengan titik amatan kurang lebih sebanyak 199 ribu. 

Dengan adanya perbaikan metodologi dalam mengestimasi luas panen dapat memberikan jawaban atas polemik data pangan sehingga dasar kebijakan yang diambil dapat lebih objektif dan bisa terlaksana dengan baik.

KSA sendiri sebagaimana metode statistik lain tidaklah terbebas dari eror (kesalahan) tetapi erornya bisa diukur dan masih dalam batas wajar serta tidak menyalahi kaidah yang ada. Saat ini kekurangan yang ada adalah jumlah sampel hanya mencapai 2,5% secara rata-rata nasional.

Menurut riset Praktik Kerja Lapangan (PKL) mahasiswa Politeknik Statistika STIS tahun 2019 di Bali ditemukan kesimpulan jika sampel ditambah maka akan menambah akurasi dari hasil KSA.

Namun demikian, KSA saat ini adalah metode yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Jika klaim Eks Mentan bahwa ada kesalahan sampai 92%, apalagi sampai menuding itu data mafia, sungguh sangat disayangkan.

KSA sebagai salah satu inovasi BPS pada tahun 2019 telah mendapat penghargaan Top 45 Inovasi terbaik oleh Kemenpan-RB. Kepercayaan besar yang juga diberikan oleh Mentan yang baru (SYL) adalah hal yang positif.

Dukungan dari semua pihak akan sangat dibutuhkan untuk semakin menyempurnakan metode yang ada. Dukungan dari mentan harus dimaknai sebagai tanggung jawab besar untuk menunjukkan profesionalisme, integritas, dan sikap amanah di dalam diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun