"Mampukah Nadiem Makarim, seorang yang 'hanya' mantan Bos Go-Jek memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang begitu besar?" adalah pertanyaan yang mungkin mewakili masyarakat saat ini.
Beberapa saat setelah pengumuman nama beliau sebagai mendikbud, begitu banyak komentar dan tanggapan yang mewarnai media sosial. Dari komentar yang bernada serius hingga meme yang mengundang tawa.
"Hari ini belajar apa?"
"Sesuai aplikasi yah."
Adalah di antara percakapan meme yang dibuat para netizen yang super kreatif. Teman saya yang jurusan Statistika Sosial Kependudukan yang mendapat tugas dari dosen pembimbing untuk menyusun skripsi dengan topik pendidikan.Â
Spontan menulis judul, "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan Presiden Jokowi Memilih Bos Gojek menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan."
Ada harapan besar tentu diembankan di pundak Nadiem oleh Presiden Jokowi untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. "Saya lebih mengerti apa yang ada di masa depan (dibanding dunia pendidikan Indonesia saat ini), karena memang bisnis saya untuk mengantisipasi masa depan," jawab Nadiem saat ditanya wartawan sesaat setelah dilantik (23/10).
Presiden dengan Kabinet Indonesia Maju-nya nampaknya sangat mengerti bahwa untuk maju harus melihat jauh ke depan. Kita telah memasuki era globalisasi industri 4.0, bahkan negara-negara maju perlahan beralih ke industri 5.0. Kalau tidak ada pemikiran yang "out of the box" maka cita-cita Indonesia Maju hanya akan menjadi wacana semata.
Paling tidak ada 3 hal mendasar yang dimiliki Nadiem sehingga dia pantas dipilih Jokowi sebagai Mendikbud. Memiliki kemampuan manajemen, masih muda (milenials) dan memiliki pemikiran yang jauh, serta berani dan percaya diri, adalah hal-hal yang ada pada diri Nadiem.
Nadiem hanya dikenal sebagai CEO Gojek, padahal dia memiliki prasyarat lain yang belum banyak orang tahu. Beliau lahir dan besar serta mengenyam pendidikan di negara maju Singapura. Singapura tidak diragukan lagi sebagai salah satu kiblat sistem pendidikan di dunia.
Beliau dari SD hingga lulus SMA di Singapura. Meski pernah pindah sekolah ke Jakarta. Beliau mengambil jurusan Hubungan Internasional di Brown Unibersity, USA, serta meraih gelar Master of Business Administration di Harvard Business Scholl.
Kemampuan manajemennya teruji sejak menjadi Consultant Management di McKinsey & Company, kemudian Managing Editor di Zalora Indonesia, serta menjadi Chief Innovatioan Officer Kartuku. Sebelum akhirnya fokus menjadi CEO pada perusahaan yang didirikannya, Go-Jek.Â
Tak tanggung-tanggung perusahaan yang berawal dari 15 karyawan, kini telah merambah hingga negara-negara Asean lain. Go-Jek kini bahkan menjadi salah satu dari 19 decacorn di dunia dengan valuasi mencapai USD10 miliar.
Tidak hanya itu wawasan manajerial Nadiem juga teruji di organisasi Internasional bersama dengan Melinda Gates dan Sri Mulyani (Menkeu), Nadiem menjabat sebagai salah satu komisaris Pathways for Prosperity for Technology and Inclusive Development yang fokus membantu negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan berbagai inovasi baru dunia digital yang mengubah budaya bekerja.
Sejak setahun yang lalu saya suka membaca tulisan tentang Nadiem. Pada saat itu cukup "ramai" di Kampus Otista 64C Politeknik Statistika STIS Jakarta karena salah satu lulusan terbaiknya "dibajak" oleh Go-Jek.Â
Padahal, seyogianya lulusan Polstat STIS harus bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) atau membayar Tuntutan Ganti Rugi negara bernilai ratusan juta rupiah jika mau keluar sebelum masa ikatan dinas selesai. Go-Jek tak tanggung-tanggung mengganti seluruh tagihan itu. Lunas.
Bos Go-Jek (Nadiem) saat itu sangat sadar bahwa untuk bisa survive di era sekarang dan mendatang harus menguasai teknologi, statistika, dan bahasa inggris, yang semua itu dimiliki oleh mahasiswa yang mengambil jurusan Komputasi Statistika tersebut.
"Pengembangan SDM Indonesia di era ekonomi digital yang diperlukan adalah Bahasa Inggris, pemrograman dan coding, mentorship, dan statistika. Membangun itu butuh waktu, tidak hanya 5 tahun, hasilnya mungkin 10-15 tahun ke depan," kata Nadiem pada saat pemaparan di Kemenkeu pada peringatan Hari Oeang (HORI) 2017 lalu.
Pemuda usia 35 tahun ini begitu yakin dan percaya bahwa apa yang menjadi idenya bukan hal mustahil. Keraguan dari para orang tua tidak menjadi soal baginya. Toh, tugasnya bukan menjawab dengan kata-kata tetapi dengan bekerja.Â
Kita tentu menanti gebrakan apa yang akan dibuatnya di lembaga yang begitu besar ini. Apa dia bisa bertahan dengan ide "masa depannya" atau malah tersisih oleh kenyataan "realita klasik" yang tidak mau beranjak.Â
Salah satu PR utama yang harus dihadapi Nadiem adalah pengangguran terdidik masih begitu tinggi. Bahkan, lulusan SMK yang diharapkan bisa langsung kerja ternyata penganggurannya tertinggi.
Menurut data Sakernas BPS pada tahun 2019 tingkat pengangguran SMK mencapai 8,63%, disusul lulusan Diploma I/II/III dengan angka 6,89%. Padahal, pendidikan dari kedua tingkatan pendidikan itu yang paling diharapkan memiliki kontribusi terhadap penyerapan ketenagakerjaan nasional.
Seperti kata Nadiem, hasil instan mungkin tidak akan langsung terasa tetapi pondasi itu perlu dikuatkan biar pembangunan menuju Indonesia Maju bukan hanya wacana yang berulang dibahas setiap 5 tahun tanpa pondasi yang kuat.
Pondasi yang memberi harapan generasi milenials menjadi pemegang kendali puncak bonus demografi. Banyak yang meragukan tetapi tidak mengapa, orang memang butuh bukti untuk menjawab setiap keraguan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H