Data kemiskinan terbaru yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (16/7) menuai berbagai macam tanggapan. Utamanya dari kubu yang berseberangan dengan pemerintah diikuti oleh netizen yang mendukung tagar #2019gantipresiden.Â
Data yang dirilis tersebut mengalami penurunan dari periode sebelumnya. Orang miskin berkurang sebesar 633,2 ribu dibandingkan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang. Dengan kata lain pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan terendah sejak masa krisi moneter yakni 1 digit kemiskinan 9,82 persen dari 10,12 persen.
Serangan tentu diarahkan kepada BPS si produsen data. Padahal, kalau dicermati metode yang digunakan oleh BPS telah berpuluh tahun diadopsi tanpa ada perubahan yang berarti. Serangan hanya diperoleh jika data itu tidak sesuai dengan hasrat politik kelompok/pribadi tertentu. Hal yang sama juga akan tetap didapatkan oleh BPS (menerima kritikan) jika sebaliknya kemiskinan megalami peningkatan. Tentu dari kubu pemerintah dan koalisi penyokongnya.
Metode yang Digunakan BPS
Survei sosial ekonomi nasional (Susenas) merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas.Â
Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, sosial ekonomi lainnya, kegiatan sosial budaya, konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga (ruta), perjalanan, dan pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangganya.Â
Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun yakni pada Bulan Maret dan Bulan September oleh BPS. Pengumpulan data dengan cara wawancara langsung (tatap muka) antara pencacah dan responden.Dari survei inilah diketahui besaran angka kemiskinan secara agregatif, bersifat makro, atau secara umum, di mana tidak bisa melacak rumah tangga miskin by name by addres.
Angka kemiskinan didapat dengan pendekatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga bukan pendapatan. Pendekatan konsumsi lebih mudah penghitungannya dibanding pendapatan karena konsumsi benar-benar real dikeluarkan berdasarkan harga yang berlaku di setiap daerah.
Bisa saja yang dikonsumsi suatu ruta adalah dari produksi sendiri, yakni tidak mengeluarkan uang untuk menebusnya tetapi itu tetap dihitung sebagai pengeluaran ruta. Alasan lainnya adalah masyarakat pada umumnya mengaitkan setiap survei itu dengan bantuan sehingga cenderung "memiskinkan" dirinya ketika didatangi pencacah. Hal ini bisa membuat hasil survei menjadi under estimate.
Bagaimana Angka GK Diperoleh?
Hasil dari Susenas akan diperoleh dua jenis konsumsi rumah tangga yakni konsumsi makanan dan konsumsi nonmakanan. Nah, GK yang dihasilkan oleh BPS berdasarkan penjumlahan antara garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). Penghitungan GKM dan GKNM ada metodenya tersendiri dan terbaik yang sampai sekarang belum ada metode lain yang dianggap dan teruji lebih baik.
GKM dihitung berdasarkan jumlah kalori yang dikonsumsi ruta yakni sebesar 2.100 kilo kalori per kapita per hari yang terdiri atas 52 jenis komoditas berkategori makanan, sedangkan GKNM terdiri atas 51 komoditas di perkotaan dan 47 komoditas di pedesaan. Jadi GK ini akan berubah setiap periode tertentu pencacahan. Yang penasaran dengan penghitungannya silakan merujuk ke web BPS: bps.go.id.Penghitungan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978. Sudah lama kan!Â
Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). "Dll" ini termasuk di dalamnya rokok kretek filter yang ternyata penyumbang kedua kemiskinan di Indonesia setelah padi-padian. Mengapa rokok termasuk makanan dan mengapa jadi penyumbang kedua kemiskinan? Jawabannya, karena memang rokok itu barang yang cepat habis dan kenyataannya memang "dimakan" oleh manusia super.Â
Penyumbang kedua kemiskinan karena rokok tidak memiliki kalori sama sekali sedangkan harganya cukup tinggi. Tidak masalah konsumsi beras dan ikan berkurang asal suplai rokok tetap (prinsip 'ahli hisap'), belum lagi kalau benaran naik jadi Rp50ribu mungkin bisa jadi nomor satu.Â
Ke-52 jenis komoditas tersebut merupakan komoditas-komoditas yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditas ini sekitar 73,48 persen dari total pengeluaran orang miskin. Adapun sisanya sekitar 26 persen lebih yang dikonsumsi ruta, GKNM meliputi kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
GK bisa naik atau turun, meski kecenderungannya adalah naik. Hal ini sangat dipengaruhi oleh inflasi harga kebutuhan dasar ruta. Meski penghitungannya tidak sederhana karena juga harus ada data indeks harga konsumen (IHK) tetapi kalau mau digambarkan secara sederhana maka jika kita mengonsumsi beras, ikan, dan lainnya dalam jumlah yang sama untuk setiap waktu tetapi harganya cenderung naik maka garis kemiskinan juga akan naik. Hal ini karena patokan untuk GKM adalah konsumsi 2.100 kilo kalori per kapita per hari.Â
Harga makanan maupun nonmakanan di pedesaan cenderung rendah karena umumnya masih produksi sendiri dan perkiraan harganya mengikuti harga pasar di desa itu, misal beras dari sawah sendiri, cabai dari kebun sendiri, penerangan listrik dari pelita dan turbin yang biayanya rendah, perbaikan rumah sendiri, dsb diproduksi sendiri sehingga tidak heran kalau GK di pedesaan cenderung lebih rendah dari perkotaan
Beras lebih besar lagi share-nya mencapai 26,79 persen di perdesaan dan 20,95 di perkotaan. Artinya dengan peraan yang besar itu maka akan menyebabkan pergeseran angka kemiskinan yang signifikan jika harganya tidak dijaga.
Dari sisi GKNM yang cukup punya peranan adalah bensin dan listrik. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kedua komoditas tersebut merupakan hal yang paling vital bagi kehidupan manusia. Sehingga jika ada gejala kenaikan sedikit saja maka akan berpengaruh besar kepada angka kemiskinan secara umum.
Penyebab Turunnya Kemiskinan
Perlu diketahui bahwa data yang dirilis oleh BPS adalah keadaan Maret 2018. Pada saat itu belum ada kenaikan harga bahan pokok dan pemicu kemiskinan yang sekencang saat-saat belakangan ini. Nilai tukar petani yang mengalami peningkatan juga turut andil. Bantuan sosial tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada triwulan I 2018, lebih tinggi dibanding triwulan I 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen.
Program rastra dan bantuan non-tunai pada triwulan I telah tersalurkan sesuai jadwal. Berdasarkan data bulog, realisasi distribusi bantuan sosial rastra pada Januari 2018 sebesar 99,65 persen, pada Februari 99,66 persen dan Maret 99,62 persen. Hal yang tidak terjadi di periode-periode sebelumnya. Sepertinya pemerintah paham betul bahwa menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat adalah kunci utama menurunkan kemiskinan. Meski dalam jangka pendek dan hanya menjangkau masyarakat miskin di sekitar garis kemiskinan saja, tetapi paling tidak itu bisa menaikkan nilai jual calon presiden petahana untuk kembali bertarung di tahun mendatang.
Pemerintah berhasil memastikan bantuan bisa disalurkan tepat waktu dan relatif tepat sasaran kepada mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan. Hasilnya yang semula berada agak di bawah GK bisa dinaikkan sedikit di atas GK. Cara yang jeli dan cerdik "menyiasati" survei yang dilakukan BPS.
Cara yang dilakukan itu hampir dipastikan tidak bisa mengangkat masyarakat miskin yang masih di jurang kemiskinan. Karena di saat yang sama indeks kedalaman kemiskinan sebesar 1,71 serta indeks keparahan kemiskinan masih di angka 0,44. Artinya, perlu usaha yang ekstra untuk mengangkat mereka. Harapan kita bersama bahwa kemiskinan bisa permanen dikurangi pemerintah bukan hanya stimulus yang bersifat sementara saja.
Menjaga Independensi BPS
BPS melalui pimpinan tertingginya, Kecuk Suhariyanto, menyatakan bahwa independensi BPS adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar sedikit pun. Kalau pun ada kekurangan yang ditemukan itu adalah suatu yang terus diperbaiki. Berikut kutipan singkat wawancara dengan Pak Kecuk dengan salah satu media di Indonesia.
“Misalnya ketika BPS menghitung pertumbuhan ekonomi, ada manual 700 halaman yang namanya System of National Account yang dikeluarkan oleh PBB. Itu harus dipatuhi oleh seluruh negara. Sehingga, BPS tidak bisa main-main. Ketika BPS merilis data, ada yang mengecek. Pertama, Forum Masyarakat Statistik, lembaga independen yang tugasnya mengkritisi dan mengawasi BPS. "Kita sebulan sekali ketemu.Â
Di sana ada 23 orang dengan ketuanya Prof. Bustanul Arifin," ujar Kecuk. Kedua, lembaga internasional datang ke BPS dua kali dalam setahun. "Mereka bawa timnya, bisa enam sampai delapan orang. Bawa laptop semuanya, dan kita akan diinvestigasi. Kalau misalnya saya melakukan cheating, saya memanipulasi, akan ketahuan.Â
Nanti akan dilaporkan ke PBB. Kita punya namanya annual meeting setahun sekali di New York setiap awal bulan Maret. Kalau sampai ketahuan ada manipulasi, malu banget kita. Ada tidak kasus seperti itu? Ada, Argentina. Argentina itu pernah inflasinya diduga dimanipulasi, diintervensi pemerintah. Siapa yang malu? Bukan hanya BPS-nya, tetapi negara juga," tambahnya. Ketiga, tentu masyarakat.Â
"Data BPS sudah dikaitkan ke sana kemari, jadi dalam posisi seperti itu sangat tidak mungkinlah BPS tidak objektif dan tidak independen. Jadi untuk independensi, saya jaminlah. Itu harga mati," tegas Kecuk.
BPS memiliki produk yaitu data. Satu-satunya data. Kalau kepercayaan terhadap data yang dihasilkan BPS sudah tidak ada maka BPS akan bubar. Itu yang sangat dijaga oleh seluruh insan BPS dari daerah hingga pusat. BPS memiliki visi Pelopor Data Statistik Terpercaya untuk Semua dengan dibangun di atas nilai-nilai yang ditanamkan kepada seluruh jajarannya di pelosok negeri yakni profesional, integritas, dan amanah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H