Rumah yang sangat sederhana dan reot itu adalah milik peninggalan orang tua Zohri. Di sana dia tinggal bersama beberapa saudaranya. Namun siapa menyangka. Dari rumah memprihatinkan itulah, lahir seorang pengharum bangsa. Di usia 18 tahun, Zohri berhasil meraih gelar juara dunia lari 100 meter putra U-20 di Tampere, Finlandia.
Pemuda itu lahir dan tinggal di dusun. Iya, tepatnya delapan belas tahun lalu, di bulan ini, di Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat.Â
Dia diberi nama oleh kedua orang tuanya Muhammad Zohri. Lahir dari keluarga miskin yang tinggal di pesisir pantai. Ayahnya seorang nelayan, tentu nelayan yang miskin. Memang menurut data BPS salah satu penyumbang terbesar kemiskinan di Indonesia adalah keluarga nelayan. Sebuah ironi di tengah kekayaan alam laut yang melimpah.
Kemiskinan tidaklah membuat Lalu Ahmad Sang ayah mendidik anak-anaknya memiliki mental lemah. Tidak seperti sebagian orang di sana yang seakan tidak bersyukur masih memiliki cukup harta untuk membiayai hidup tetapi malah mengaku-ngaku miskin dan "meminta-minta". Tidak segan malah membuat surat SKTM palsu guna mengharap uluran bantuan yang tidak layak dia terima. Tidak sadar atau pura-pura tidak sadar telah menzalimi hak orang lain yang dia ambil.Â
Ada juga yang memang ditakdirkan miskin tetapi masih punya badan yang sehat serta anak-anak yang muda dan sehat, malah meminta-minta atau memaksa anak-anaknya bermuka tembok di hadapan orang-orang demi memenuhi setoran harian. Sebuah mental yang harusnya diubah dari anak bangsa yang katanya bangsa yang bermartabat.
Zohri menunjukkan kepada kita dan dunia bahwa berdiam diri bukanlah solusi dari permasalahan. Prestasi yang telah dicapainya bukanlah hal instan yang baru diusahakan kemarin. Dia telah berusaha sejak kecil, berlatih dan berlatih. Tentu dengan dukungan penuh almarhum kedua orang tuanya dan saudara-saudara serta orang di sekitarnya. Kedua orang tuanya telah meletakkan pondasi mengarungi kehidupan agar kuat melewati setiap rintangan.
Prestasi-prestasi itu telah banyak diberikan oleh para pemuda pahlawan bangsa di bidang masing-masing di masa kini. Ada yang dengan bakat olahraga seperti Zohri dan pemain olahraga lainnya (bulutangkis, sepakbola, wushu, dll), di bidang sains, seni, agama (hafalan Alquran misalnya). Mereka adalah anak bangsa yang telah membawa nama baik Indonesia di mata dunia.
Prestasi yang telah mereka ukir tidaklah semata karena bonus besar dari negara yang menanti tetapi sebuah pengabdian yang tulus untuk bangsa. "Tanyakanlah apa yang telah kauberikan kepada bangsa bukan sebaliknya" adalah kalimat yang semestinya menjadi pendorong dan menjadi acuan penyemangat.
Sayangnya, sebagian anak bangsa kita sekarang banyakan membuat sensasi semata. Mereka yang katanya lahir dan tumbuh di era 4.0 (milenial) ini seperti tidak mengenal arti perjuangan itu.
Saya tidak mengatakan banyak dari generasi kita yang seperti itu tetapi saya juga tidak mengatakan jumlahnya sedikit. Mari kita perhatikan kerjaan mereka di balik gadget-gadget mereka yang canggih itu.