Mohon tunggu...
Arci Rahmanta
Arci Rahmanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nope -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dibalik Layar Jilat-Menjilat Basa-Basi-Busuk

26 Desember 2014   00:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:27 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Tidak tidak bukan ia tapi dia dan mereka."][/caption] "Aku tak mau punya musuh!" teriak Dato, Pemimpin Perusahan Tekstil mapan di kota S. "Apa kehendakmu menyuruhku berbuat seperti itu?" maki Dito lagi. Sudah berulang kali Dito menampilkan wajah sangar di depan orang yang ingin mengubah idealismenya. acap kali, bentakan dan makian serta-merta keluar lewat bibir tebalnya. Siapa saja pernah disemprotnya, alih-alih akan ada diskusi, tetapi tamparan keras spontan hadir dalam perbincangan singkat itu. Dito adalah temanku saat kuliah di Perguruan tinggi di Kota Y. Karirnya berkembang setelah dia memasuki organ ekstra kampus. Karirnya melonjak apalagi setelah dia memasuki partai kenamaan di kota ini. Dito adalah sosok yang pandai dalam bisnis dan politik maka itu apa yang dia tunggu lagi?. Pas jika tahun lalu dia mencalonkan diri sebagai Legislatif-ers tetapi. Dan hasilnya adalah dia harus berjipaku di perusahaan ini lagi. praaakkk terdengar suara tamparan lagi dari dalam ruang Dito. Keluarlah Wahid, Bendahara Kantor yang sepertinya gagal menjelaskan hilangnya beberapa rupiah di kantor. Wahid datang ke mejaku untuk berkeluh kesah. "Pak, sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi bekerja di kantor niki!" katanya sambil memegang pipi kirinya yang memerah panas. aku sudah tahu sekilas dalam matanya, bahwa Wahid masih memikirkan Istri dan anak tunggalnya yang masih SMP kelas 7 tersebut, sebelum berkata 'keluar' dari Kantor yang megah nan mewah ini. "Saya akan membuka usaha ternak bebek pak setelah ini. ahh itu cita-cita saya semenjak kecil," katanya lagi, tawa kecil meyakinkan hadir disudut bibirnya walau hanya sepersekian detik. Dan  ungkapannya itu sepertinya dia telah tahu apa yang aku pikirkan. Sebelum Wahid masuk ke kantor yang megah nan mewah ini, memang saat tes wawancara Wahid pernah bicara akan keinginannya beternak bebek terinspirasi dari tetangga rumahnya yang sederhana dan bersahaja, namun mampu menyekolahkan empat anaknya hingga sarjana. Kala itu haha tertawa saat mendengarnya cita-cita polosnya. Ternyata cita-cita kecil tersebut belum luntur dan masih tertanam hingga 4 tahun lamanya. "Pak, ahh bapak hanya diam saja, berarti setuju!" cetusnya melotot padaku, tak mengerti apakah dia sekarang juga jengkel pada kediamanku. Aku tak berkutik. Sekarang sudah jam makan siang tepat pukul 12.00. Dito ada pertemuan dengan pemimpin Produksi dari PT. Tekstil Anugerah Kaya, Perusahaan saingan kami. Dito mengajakku membersamainya. Restoran di Mall Plaza jadi panggung pertemuan ini. Dito, menjelaskan bahwa pertemuan ini bertujuan mempererat tali silaturahmi dan kerjasama antar perusahaan menghadapi Pasar Bebas 2015 nanti. Ohh, betapa cerdasnya langkah strategis yang diambil Dito ini, semua awak perusahaan yang terwakiliku mungkin juga akan setuju. "Selamat siang Pak Hares, Saya Dito dan ini teman saya....," kata Dito membuka ajang ke-akraban itu. "ahh, halo pak Dito saya tahu teman anda ini kok, jadi bagaimana kondisi perusahaan anda sekarang ini?" kata Hares memotong kata Dito yang langsung menyodorkan pertanyaan. Inilah perbincangan di tingkat elitis, yang orang awam bilang 'tidak sopan'. Awal bekerjaku dulu juga sempat sakit hati dengan 'tata krama' elite pebisnis seperti ini. Tapi sekarang berlandaskan hipotesis kawan dokter "Sel baru jika tidak sesuai dengan lingkungannya, pasti akan re-generasi. namun, jika (menye)- sesuai-(kan) dengan lingkungannya, pasti akan kebal dan abadi." iya sekarang ini perasaanku sudah kebal dan terbiasa. "Oh anda sudah kenal temanku ini, haha baik-baik saja. Yah, tapi karena kenaikan BBM, perusahaan kami harus menaikkan UMK, dan memangkas pekerja kita. Produk kita kan harus tetap berjalan kan. Kalo perusahaan Bapak bagaimana?" Jelas Dito sopan. sepertinya dia telah terbiasa dengan suara lembutnya. Hares memang mengenalku ketika 10 tahun lalu dia bekerja pada perusahaan orang yang telah kuanggap seperti bapakku sendiri. ya, ia terdidik sama sepertiku, ternyata 10 tahun adalah waktu yang dapat merubah nasib orang kecil. Tapi mungkin yang tak berubah darinya adalah tangan kanannya yang selalu membawa rokok Dji Sam Soe kreteknya. "Oh begitu, berapa pekerja yang telah anda kurangi?" tanya Hares lagi tanpa menjawab pertanyaan Dito. "340 orang pak, eh apakah diperusahaan bapak juga ada pengurangan pekerja seperti itu?" jawab Dito mencoba menyamakan perusahaan kami dengan perusahaan Hares. "340 orang! 340 orang! Bagus itu. Ada perbedaan terhadap tingkat produksi perusahaanmu?" tanya Hares lagi, tanpa menjawab (lagi). "Yah ada tetapi tidak signifikan. bagaimana menurut bapak?" jawab Dito, dan melempar pertanyaan (lagi) ke Hares. "Saya hanya memecat 10 orang karyawan yang berkompeten, tetapi mereka suka akan kekuasaan, politik bungkus roti, pengekor, ORBA-is diktator, dan khususnya penjilat. Nyatanya, perusahaan saya yang masih 10 tahun berdiri sudah menjadi saingan anda, yang sudah 28 tahun berdiri. Bukan saya sebagai pemimpin perusahaan saya sok atau sombong. Tapi saya melihat perusahaan anda yang dahulu dengan sekarang telah berbeda. Dahulu perusahaan kami sangat menghormati perusahaan anda. namun, sekarang rasa hormat itu telah memudar, karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan anda sangat tidak manusiawi dan rasional. Saya tahu, karena saya pernah bekerjasama dengan pemimpin terdahulu perusahaan anda. Anda harus mengoreksi lagi perusahaan termasuk pemimpinnya, iya anda juga!" jelas Hares yang membuat para karyawan seperti Wahid akan kegirangan jika mendengarnya. Setelah percakapan, tersadar bahwa Hares belum berubah dari tak hanya rokok Dji Sam Soe-nya tapi juga kepribadiannya dan dahsyatnya intuisi juga analisisnya. Tak tahu apa yang sekarang Dito rasakan, setelah pulang dari restoran tersebut terlihat mukanya yang merah membara. tak tahu dan tak ku mau tahu lalu senyap seketika. Kembali ke kantorku yang megah nan mewah, lagi-lagi terlupa niatan membawa bola sepak nike kesayangan. Dan hanya terduduk kembali di kursi putar berwarna biru laut. Sepi kulihat, ada satu, dua, tiga, eh bukan. empat, lima,. Tujuh belas karyawan kantor (terhitung hampir semua yang pernah ditampar Dito) mengundurkan diri dari perusahaan. Dan nyatanya mereka mendirikan perusahaan tekstil baru, sama seperti halnya Hares. Tiba-tiba ada sms masuk di hp-ku berbunyi "Pak Rahman, bisakah anda menjadi penasehat dan/atau konsultan bisnis di perusahaan baru adik-adik anda ini?" Lalu malam yang gelap, teramat gelap dan sunyi senyap benar-benar ada di atas menara perusahaan ini. kebangkrutan ada di depan mata, disinyalir ada yang mengkorupsi dana hingga belasan, tidak tidak tetapi ratusan miliar untuk dibelikan rumah beserta wanita murahan dan seisinya. Hingga Pak Menteri Perdagangan pun harus turun tangan, tapi tak ada yang mau bertanggungjawab. Dimana Dito? Dimana Bolaku nike yang tadi sore terbawa olehku. "Aku tak mau punya kawan, yang sebenarnya Musuh," heningku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun