Suatu sore, di saat sedang asyik bersenda gurau dengan teman-teman sekampung di kota daeng, tiba-tiba handphone jadul saya bergetar. Setelah di cek, ternyata yang menelpon adalah doi yang tinggal tak jauh dari hiruk pikuk ibu kota Indonesia. Lebih tepatnya lagi tinggal di kota Depok.
Segera saja telpon itu saya angkat sekaligus memohon ijin pada teman-teman untuk mengakhiri obrolan sore itu bareng mereka. Lalu, saya pun bergegas pulang ke kontrakan yang tidak jauh dari kost dimana saya bersenda gurau tadi. Yah maklumlah, saya punya kebiasaan menemani doi setiap pulang kerja, termasuk sore itu. Kedengarannya aneh, tapi mang begitulah kebiasaan saya setiap hari kerja bareng doi, yakni menemaninya pulang.
Obrolan yang tadinya tentang hal-hal yang remeh temeh, seperti tentang kerjaannya hari itu dan semacamnya, mulai menjurus ke arah yang lebih serius. Sama seperti pasangan kekasih lainnya, sore itu kami membahas tentang “Masa Depan”, termasuk jika sudah punya penerus keluarga. Ya, apalagi kalau bukan ngomongin si buah hati, yang kita semua tahu untuk yang satu ini setiap pasangan pasti menginginkannya, tak terkecuali kami yang menjalin hubungan jarak jauh.
Sore itu, doi mengungkap segalanya yang ada dalam benaknya selama ini. Mulai dari menginginkan anak yang pintar, cerdas, punya prestasi dan tentunya juga jadi anak sholeh atau sholeha. Pokoknya, semua yang keren-keren dan baik-baiklah, sama seperti yang di idam-idamkan kebanyakan orang tua. Bahkan tak ketinggalan pula untuk memasukkannya ke pesantren, sejak kecil pula. Hhhmmm... hanya bisa geleng-geleng kepala plus iya-iya saja lewat telepon.
Siapa sih yang nggak pengen memberikan yang terbaik buat anak-anaknya, semua pasti pengen kan?
Mendengar hal tersebut, saya pun setuju namun tidak semuanya. Mengapa? Karena biar bagaimana pun juga, keluarga adalah tempat pertama yang harus dikenal oleh sang anak, tempat ia berlindung dari segala hal yang bersifat negatif, entah bullyan maupun yang lainnya. Tempat ia pertama ia mengenal dunia dan belajar banyak tentang kehidupan, termasuk juga urusan pendidikan dan agama.
Ada banyak cara untuk memberikan yang terbaik buat si buah hati, termasuk untuk urusan masa depannya dan salah satunya harus di mulai dari keluarga dulu. Misalnya dengan memberikan stimulus yang tidak biasa, atau dengan kata lain yang lebih berkesan ketika mengenalkan dunia belajar kepada anak. Karena biar bagaimana pun juga setiap anak punya respon yang berbeda-beda dalam belajar dan menangkap apa yang di pelajari. Stimulus yang diberikan bisa berupa sambutan yang menggugah minat sang anak untuk belajar. Sambutan itu bisa seperti yang diterima sang anak ketika mengenal dunia game.
Semua pasti tahu kalau dunia game begitu cepat menggugah minat siapa pun untuk mencobanya ketika pertama kali mengenalnya. Untuk itu, tidak ada salahnya melakukan seperti demikian, kalaupun tidak bisa melebihi yang diberikan oleh dunia game, setidaknya bisa mengimbanginya.
Selain memberikan stimulus, jangan lupa untuk memberikan apresiasi kepada sang anak. Semua pasti sudah tahu dan sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang tua jarang memberikan apresiasi kepada anaknya. Apalagi ketika apa yang menjadi ekspektasi dalam khayalannya tidak sesuai dengan realita.
Contoh, ketika ada salah satu nilai jelek di rapor sang anak, tak jarang sikap berlebihan muncul seperti memarahi, mengatainya bodoh, memberikan hukuman, bahkan yang paling miris suka membandingkannya dengan anak orang lain atau tetangga yang nilainya bagus. Untuk poin yang satu ini bisa dibilang sudah menjadi tradisi turun temurun. Banyak yang tidak mengapreasiasi usaha sang anak yang membutuhkan keberanian yang sangat luar biasa untuk mendapatkan nilai yang menurut orang tua jelek.
Sedangkan ketika terjadi sebaliknya, dalam hal ini mendapatkan nilai yang memuaskan, apreasiasi itu pun masih sangat jarang diterima oleh sang anak. Kalau pun ada, pasti hanya segelintir orang saja.