Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menyukai hal-hal sederhana, suka ngopi, membaca dan sesekali meluangkan waktu untuk menulis. Kunjungi juga blog pribadi saya (www.arsitekmenulis.com) dan (http://ngeblog-yuk-di.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dulu Menonton di TV, Sekarang Menjadi Korban Banjir

20 Januari 2014   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu belakangan ini berita banjir menghiasi semua media elektronik. Banjir terjadi di mana-mana, tidak terkecuali ibu kota negeri yang tercinta ini. Bahkan gemanya sampai ke daerah-daerah di pelosok negeriini. Keadaan ini memicu semua media massa baik televisi, surat kabar, radio, media online, dan media sosial secara tak henti menyebarluaskan peristiwa ini lengkap dengan dampak yang ditimbulkan.

Persoalan banjir yang melanda negeri ini seakan sudah menjadi sebuah rutinitas karena selalu terulang setiap musim hujan datang. Berbagai cara pun telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan banjir yang selalu terjadi tiap tahun. Namun apa daya, masalah banjir tetap saja ada setiap musim hujan.

Meskipun demikian, kita harus tetap bangga karena setidaknya titik-titik yang terkena dampak banjir sedikit demi sedikit berkurang. Sebagai warga biasa yang terlahir didaerah terpencil, saya turut prihatin atas masalah banjir yang selalu terjadi setiap tahun.

Bagi sebagian orang yang tinggal di kota, banjir bukan lagi sesuatu yang mengagetkan, apalagi mereka yang tinggalnya di kawasan langganan banjir. Namun, bagi saya banjir merupakan suatu hal yang baru. Sebab selama di daerah kelahiran saya, dari kecil sampai lulus SMA tidak pernah merasakan dan mengalami yang namanya banjir.

Semasa di daerah kelahiran saya, masalah banjir hanya bisa saya saksikan lewat berita-berita yang disajikan di layar televisi. Di mana setiap musim penghujan datang, semua stasiun telivisi berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam menyiarkan secara langsung masalah banjir yang melanda berbagai daerah di negeri ini.

Tetapi sekarang, saya merasakan langsung dan pernah beberapa kali langganan dengan banjir, bukan lagi seperti di daerah tempat saya lahir yang hanya menjadi penonton setia didepan layar kaca televisi. Hal itu menjadi pengalaman yang baru buat saya.

Pengalaman Di Awal Tahun 2010

Agustus 2009 saya memutuskan untuk pindah kost. Saya pun memilih untuk tinggal di lingkungan sekitar Kampus UNHAS, tepatnya di BTN Asal Mula.Saya dan beberapa teman memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah dikawasan tersebut. Dan kami mendapatkan sebuah rumah yang berdekatan dengan Mesjid Amal Ma’ruf. Kami pun mengontrak selama setahun.

Hanya beberapa bulan tinggal disitu, musim hujan pun tiba. Sebulan pertama saat musim hujan, intensitasnya masih belum seberapa. Kadang hujan, kadang juga tidak. Dibulan kedua intensitasnya mulai meningkat, keadaan lingkungan sekitar rumah kontrakan masih aman-aman dan tidak ada tanda-tanda akan terkena banjir. Dan kami pun berpikir bahwa rumah yang kami kontrak bebas dari banjir sampai sampai musim hujan berakhir.

Akan tetapi, apa yang kami pikirkan itu ternyata melenceng jauh dari perkiraan. Tepatnya pertengahan bulan ketiga musim hujan, saat bangun pagi keadaan lingkungan sekitar kompleks perumahan mulai terkena banjir. Tiga hari kemudian, kami pun dibuat was-was karena banjir sudah sampai di bawah teras rumah.

Dan apa yang kami takutkan pun terjadi. Saat sedang nyenyak tidur diruang keluarga, saya merasakan lantai semakin dingin. Setengah sadar saat tidur, saya beranggapan bahwa itu hanya efek dari musim hujan yang membuat cuaca semakin dingin. Namun, mendekati shubuh saya merasakan dingin yang berbeda dari biasanya. Saya pun bangun dari tidur karena terlalu dingin. Alangkah terkejutnya saya karena yang menyebabkan dingin tersebut adalah air sudah masuk kedalam rumah dan sudah sampai ruang keluarga.

Saya pun membangunkan teman-teman yang terlelap dalam tidurnya. Saat itu juga kami pun disibukkan dengan memindahkan barang-barang ketempat yang lebih tinggi agar tidak rusak terkena banjir, terutama barang-barang elektronik. Saking buru-buru memindahkan barang-barang, teman-teman ada yang kaya setengah sadar dan ada juga yang tidak cuci muka terlebih dahulu.

Keadaan ini bertahan selama beberapa hari. Ada sebagaian dari kami yang mengungsi ke kost-an teman-teman lain yang tidak terkena banjir dan ada juga sebagian yang tetap bertahan. Saya dan tiga teman saya yang bertahan ada yang tidur di kursi, dipan (tempat tidur yang terbuat dari kayu) dan ada yang tidur di kasur yang terbuat dari karet. Jadinya tidur sambil mengapung diatas air yang masuk kedalam rumah.

Banjir Awal 2011

Dua bulan sebelum tahun 2010 berakhir, kami memutuskan untuk tidak memperpanjang rumah yang kami kontrak. Sebenarnya kami bukan gak mau memperpanjang, tetapi hal ini dikarenakan sebagian dari kami sudah ada yang menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Sedangkan kalau hanya 1-2 orang saja yang mau memperpanjang kontrakan, dana yang tersedia tidak mencukupi.

Setelah keputusan sudah bulat, kami pun mencari rumah kontrakan lain yang lebih murah. Untuk mencari rumah kontrakan baru tidak membutuhkan waktu lama, karena sebelumnya kami sudah meminta bantuan teman-teman kami agar memberikan informasi jika ada rumah yang mau di kontrakkan.

Kami pun bernegosiasi dengan sang pemilik rumah untuk menyepakati biaya kontrakan selama setahun. Setelah sepakat, kami pun mulai mengangkut barang-barang di kontrakkan sebelumnya ke kontrakan baru.

Baru beberapa minggu menempati kontrakan baru, musim hujan pun tiba. Dan sama seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bulan pertama dan kedua keadaan masih aman-aman saja dari banjir. Waktu yang diwaspadai pun tiba, akhir bulan Januari tahun 2011 hujan semakin menjadi-jadi. Sampai memasuki awal bulan Februari, intensitas hujan masih tetap tinggi.

Awalnya saya menganggap bahwa tidak akan terjadi banjir, sebab selama seminggu hujan terus menerus, keadaan kompleks kontrakan aman-aman saja. Namun, anggapan saya ternyata salah. Saat itu saya bangun shalat shubuh seperti biasanya, sehabis shalat saya tidur kembali dan keadaan rumah serta sekeliling masih aman.

Baru sekitar 30 menit saya tidur, tiba-tiba saya mendengar ada mengetok pintu dan memanggil-manggil nama saya terus menerus. Dengan sedikit bermalas-malasan seperti orang yang terganggu, saya pun bangun untuk mengetahui ada apa sebenarnya. Alhasil, ternyata banjir 1,5 meter lagi akan masuk kedalam kamar saya. Maklum rumah yang kami kontrak agak miring sedikit lantainya dan kamar saya yang didepan agak tinggi.

Bagaikan tersengat listrik, saya pun langsung mencabut semua peralatan elektronik dari saklarnya. Rasa ngantuk dan malas-malasan berubah jadi semangat 45. Semua barang-barang elektronik saya pindahkan ke tempat tidur (dipan) dan meja gambar pun saya ubah jadi meja penyimpanan semua barang-barang yang tidak di tampung oleh tempat tidur.

Hanya sekitar 45 menit sampai 1 jam, rumah yang kami kontrak sudah tenggelam sekitar 20cm di dalam dan diluar kurang lebih sampai lutut orang dewasa. Dan sama seperti kejadian sebelumnya di tahun 2010, sebagian dari kami ada yang tetap bertahan didalam rumah saat malam tiba. Dengan penerangan seadanya, kami tidur diatas dipan dan satu dipan dipaksakan agar bisa menampung dua orang. Rasa was-was pun menghantui karena bisa jadi salah seorang dari kami bisa jatuh ke genangan air saat tidur.

Selama rumah kontrakan tergenang banjir, aktifitas kami tetap berjalan walaupun agak terhambat. Saya tetap mengerjakan tugas kuliah saya yang mana harus digambar manual. Dengan keadaan yang demikian, tugas kuliah saya (tugas besar) bisa juga terselesaikan tepat waktu. Sekitar seminggu lamanya banjir baru mulai surut dengan perlahan-lahan.

Oh iya, selama beberapa kali kena banjir ada juga kejadian yang membuat kami sedikit terhibur. Kejadian itu saat ada ikan yang masuk ke halaman di rumah (tahun 2010) dan kami pun beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan yang kedua (tahun 2011), saat itu ikan masuk kedalam rumah dan kami menjebaknya agar masuk kedalam kamar. Setelah terjebak didalam kamar, kami mencoba menangkapnya dengan menggunakan baskon dan gayung. Lumayan juga, ikannya seukuran telapak tangan orang dewasa dan bisa jadi menu makan malam, hehehe.....

Aku hanya bisa tersenyum, jika mengingat kejadian itu kembali. Saya yang dulunya hanya bisa melihat banjir lewat televisi, tanpa disangka ternyata akhirnya merasakan juga penderitaan ketika terkena musibah banjir. Sekarang pun masih tetap demikian, tetapi hanya sebatas terjebak saja jika bepergian. Itu pun tidak jauh dari kost-an, walaupun banjirnya hanya 40-50 meter dengan ketinggian 15-30 cm.

Makassar, 18 Januari 2014

Penulis

Arif Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun