Kampung Sawah adalah nama dari suatu daerah di Kecamatan Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. Daerah ini menjadi terkenal karena keunikannya yaitu sikap toleransi antar agama yang disatukan melalui satu kebudayaan yaitu budaya Betawi. Selain itu, seperti yang kita tahu, suku Betawi sangat kental dengan agama Islamnya. Namun yang menjadi unik, ternyata ada sebagian kecil komunitas Betawi yang beragama Katolik yang masih memegang teguh budaya Betawinya. Namun dibalik itu, ada perjuangan misionaris yang tidak mudah untuk menyebarkan dan mempertahankan Kekatolikan di tempat ini. Bagaimana sejarahnya ? Mari kita simak lebih lanjut.
Sebelum masuknya agama Katolik di Kampung Sawah, para Zending dari Gereja Protestan sudah melakukan misi di tempat ini salah satunya, Meester F.L. Anthing yang bisa dibilang sebagai orang pertama yang bisa mendirikan Gereja Protestan untuk orang pribumi di sekitar kota Batavia. Karena perkenalannya dengan pendeta-pendeta Jawa seperti Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, Kyai Sadrach, dan Paulus Tosari, kerap kali ia menggabungkan ajaran kebatinan (ngelmu) dengan ajaran Kristiani yang menjadi ciri khasnya sebagai pewarta injil. Singkatnya, terdapat kurang lebih dari 100 warga Kampung Sawah yang menjadi Protestan dan mereka dilayani oleh dua guru pembantu yaitu Nathanael dan Matias. Namun mereka kerap kali tidak akur dan mengakibatkan para jemaat terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Jemaat Kristen di Kampung Sawah terpecah menjadi tiga fraksi yang saling bermusuhan. Fraksi-fraksi itu adalah kelompok Guru Laban yang berpusat di Kampung Sawah Barat, kelompok Yoseh yang berpusat di Kampung Sawah Timur, dan kelompok Nathanael. Semula Nathanael dipecat sebagai guru pembantu karena kelalaiannya, dan ia bersama pengikutnya memilih pindah ke Katolik Roma yang memiliki pusat di Gereja Katedral Batavia yang terletak di Lapangan Banteng, Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat).Â
Karena ada ada beberapa karyawan pastoran Katedral yang berasa dari Kampung Sawah, suara tentang perselisihan umat di daerah tersebut terdengar sampai Lapangan Banteng. Malah pada suatu hari, Nathanael datang ke pastoran Katedral, dan bertemu dengan Romo Bernardus Schweitz, SJ untuk menyatakan keinginan dirinya dan pengikutnya untuk menjadi Katolik. Namun permasalahan yang terjadi di Kampung Sawah adalah kelompok orang pribumi disana sama sekali tidak menyadari bahwa Gereja Katolik merupakan Gereja yang berbeda dan tidak termasuk dalam daftar Gereja-gereja Protestan. Maka kemungkinan besar mereka hanya mau pindah dari kelompok Protestan yang satu ke kelompok Kristen yang lain. Hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan mereka tentang agama Kristen sendiri.Â
Maka Romo Schweitz akan mempertimbangkan permohonan mereka, asal mereka bersedia untuk mengikuti pelajaran agama Katolik. Romo Schweitz akhirnya menunjuk Bapak Suradi yang tinggal di Kwitang-Kalipasir, untuk mengajar agama Katolik khusus untuk warga Kampung Sawah di rumahnya. Nathanael bersama dengan empat orang lainnya yaitu, Tarub Noron, Markus Ibrahim Kaiin, Sem Napiun, dan Yoseh Baiin mengikuti pelajaran agama Katolik yang dibawakan oleh Bapak Suradi di rumahnya. Tidak diketahui kapan mereka dibaptis, namun yang jelas Nathanael dibaptis menjadi Katolik pada tanggal 22 Juni 1986 oleh Romo Schweitz. Pembaptisan Nathanael ini menjadi langkah awal untuk menyebarkan Kekatolikan di sekitar Kampung Sawah. Puncaknya pada 6 Oktober 1896, Romo Schweitz membaptis 18 anak yang ada di Kampung Sawah dan kemudian pada tanggal 8 Desember, ia datang lagi dan membaptis 3 anak. Peristiwa ini merupakan perubahan besar karena, pada tanggal ini, bisa disebut sebagai tanggal kelahiran umat Katolik di Kampung Sawah dimana terdapat umat-umat Katolik pertama dari golongan Betawi di sekitar kota Batavia. Romo Schweitz, membeli sebuah rumah dengan izin tuan tanah keturunan Tionghoa untuk melaksanakan peribadatan. Pada tahun 1897 disiapkan sebuah gereja kecil yang dapat menampung kurang lebih 50 warga. Gereja ini yang nantinya menjadi Stasi Kampung Sawah yang diketuai oleh Nathanael. Pada tahun ini, jumlah baptisan katolik mencapai 47 orang namun, pada tahun 1898 Romo Schweitz jatuh sakit dan harus dipulangkan ke Belanda untuk memulihkan kesehatannya lalu digantikan oleh Romo A. Kortenhorst, SJ.Â
Ketika Kevikepan Apostolik Batavia dipimpin oleh Mgr. Edmundus Luypen, SJ., pelaksanaan Gereja Katolik di Kampung Sawah diharuskan untuk izin kepada Gubernur Jendral dan sangat disayangkan pada tahun 1902 sampai 1904, Gereja Katolik di Batavia dilarang untuk menjalankan kegiatan misi di Kampung Sawah dan sekitarnya oleh pemerintah kolonial di Batavia. Hal ini dijalankan pemerintah berdasarkan Kitab Hukum Kolonial artikel 177 dimana, Gubernur Jendral dapat melarang setiap bentuk pengabaran Injil di antara golongan bumiputra, bilamana memicu kerusuhan. Yang menjadi masalah adalah di Kampung Sawah tidak terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh umat Katolik. Ini bisa terjadi karena ada kepentingan politik pemerintah kolonial di belakang pelarangan ini. Namun, pada tahun 10 Agustus 1904, Romo Kortenhorst membaptis lagi 19 warga Kampung Sawah. Pada tahun 1905, Nathanael diberhentikan sebagai guru agama. Dikutip dari buku Terpencil di Pinggiran Jakarta: Satu Abad Umat Katolik Betawi karya R. Kurris, SJ, "Rupanya Nathanael tidak bisa hidup tanpa honor sebesar 15 gulden yang diperolehnya sebagai guru-katekis stasi di Kampung Sawah. Ia mulai mencari kompensasi dari menemukannya sewaktu Gereja Metodis muncul."
Pada 1906, aliran Metodis mulai memasuki Kampung Sawah dan sangat disayangkan, Nathanael yang semula merupakan guru agama Katolik di Kampung Sawah berpindah ke aliran ini. Jika kita melihat pola hidup dari Nathanael, sangat menunjukkan sikap aslinya yang masih belum bisa membedakan berbagai aliran Kristen sehingga, setiap ia mendapatkan masalah di suatu aliran tersebut ia menjadi "ngambek" dari aliran yang dianut sebelumnya. Hal inilah yang membuat imannya menjadi lemah terhadap suatu peristiwa yang menjatuhkan dirinya. Apalagi dalam kasus ini, ia menerima kompensasi yang lebih besar daripada kompensasi yang sebelumnya ditawarkan oleh Gereja Katolik. Karena berkembangnya aliran Metodis ini, Gereja Katolik hampir mati. Jika melihat jumlah baptisan, dari tahun 1906 sampai 1917, jumlah baptisan Umat Katolik hanya mencapai kurang dari 10 orang. Melihat keprihatinan ini, diutuslah Romo A. Mathijsen, SJ. Untuk menghidupi lagi Gereja Katolik di Kampung Sawah. Namun ketika ia sampai di Kampung Sawah, kondisinya amat memprihatinkan karena ia hanya menemukan satu keluarga Katolik yaitu keluarga Pak Markus. Bahkan, putri sulung dari keluarga itu telah menikah dengan seorang Islam. Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika mereka sedang melaksanakan peribadatan di gereja, mereka diserang dan diusir oleh gerombolan penganut Protestan yang dipimpin oleh Benyamin Kadiman. Akan tetapi, mereka mengadakan protes dan akhirnya Gereja Katolik bisa tetap ada di Kampung Sawah.
Pada tahun 1920, datanglah seorang Yesuit Belanda bernama Romo Yoanes van der Loo, SJ. ke Kampung Sawah menggantikan Romo Mathijsen. Ia bermukim di pastoran Kramat untuk melayani umat Katolik di Kampung Sawah. Meskipun stasi Kampung Sawah ini akan ditinggalkan oleh Gereja Katolik, sejumlah warga Katolik di sana membuat surat berisi 150 nama, dan memberi permohonan agar sebulan sekali ada romo yang datang ke Kampung Sawah untuk merayakan Misa Kudus. Pada tahun 1921, jumlah umat Katolik meningkat dari 20 jiwa menjadi 150 jiwa dan pada tahun 1922, Romo van der Loo mendirikan gereja kecil. Seiring berjalannya waktu, Benyamin Kadiman yang tadinya sangat anti dengan Katolik, mendatangi Romo van der Loo, dan ia sudah bergabung dengan komunitas Katolik namun belum dibaptis secara Katolik. Melihat kemampuan Kadiman dalam memimpin komunitas tersebut, Romo van der Loo, mengangkat Kadiman sebagai kepala Stasi Kampung Sawah. Namun karena kondisi kesehatannya semakin menurun, Romo van der Loo terpaksa pulang ke Belanda, dan tugasnya diambil alih oleh Romo Y. van Driel, SJ. Pada tahun 1923, Kadiman dibaptis dalam Gereja Katolik oleh Romo van Driel dan ia dapat mempertahankan umat Katolik di Kampung Sawah hingga saat ini.
Perjuangan misi di Kampung Sawah ini memang tidak mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi khususnya dalam mempertahankan iman mereka yang terkadang hilang akibat masuknya aliran baru. Memang seharusnya sejak awal, mereka diberikan pengajaran iman Katolik secara jelas dari awal. Kesalahan dari misi ini adalah kurangnya katekis yang berkompeten. Seperti diceritakan terdapat guru agama yang rela meninggalkan imannya hanya demi uang. Untung saja, Romo van der Loo hadir sebagai pahlawan misi di Kampung Sawah ini karena, ia dapat menghidupi kembali umat Katolik di Kampung Sawah. Memang perjuangan misi ini memiliki banyak tantangan, namun yang patut diapresiasi adalah semangat para misionaris yang tetap mempertahankan misi di Kampung Sawah ini meskipun hampir diberhentikan oleh Provinsial Serikat Yesus di Belanda karena minimnya jumlah baptisan. Perjuangan para misionaris ini, akan menjadi peristiwa bersejarah dalam sejarah kekatolikan di Jakarta.
Sumber :
R. Kurris, S. (1996). Terpencil di Pinggiran Jakarta : Satu Abad Umat Katolik Betawi. Jakarta: Obor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H