Mohon tunggu...
Adeng Septi Irawan
Adeng Septi Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah seorang pemerhati dunia hukum dan peradilan. bisa dihubungi di email irawan_34@yahoo.com

fiat justitia ruat caelum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mogok Sidang, Akankah Hakim Tuntut Keadilan?

4 Oktober 2024   19:53 Diperbarui: 7 Oktober 2024   09:35 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arus gerakan Solidaritas Hakim Indonesia mulai bergerak beberapa hari belakangan ini. Gerakan tersebut berencana akan menggelar aksi cuti bersama (mogok sidang) mulai tanggal 7-11 Oktober 2024 mendatang sebagai wujud protes kepada pemerintah yang tak kunjung merespon kenaikan gaji para Wakil Tuhan tersebut.

Tuntutan gerakan tersebut ada 5 (lima), yaitu pertama menuntut Presiden Republik Indonesia segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012, kedua mendesak pemerintah untuk menyusun peraturan perlindungan jaminan keamanan bagi hakim, Ketiga mendukung Mahkamah Agung RI dan PP IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) untuk berperan aktif dalam mendorong revisi PP 94/2012, Keempat mengajak seluruh hakim di Indonesia untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan hakim secara bersama melalui aksi cuti bersama pada tanggal 7-11 Oktober 2024, dan Kelima mendorong PP IKAHI untuk memperjuangkan RUU Jabatan Hakim agar kembaldi dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan segera disahkan.

Riak-riak dan arus gelombang gerakan ini bukan terjadi begitu saja, namun melalui proses jalan yang panjang sejak tahun 2023 yang awalnya diawali dengan audiensi antara PP IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) dengan stakeholder terkait mulai dari Kementerian PAN RB hingga sampai ke Kementerian Keuangan. Akan tetapi sampai saat ini tak kunjung ada kepastian mengenai revisi tunjangan dan hak-hak para Hakim.

Kesejahteraan Hakim

Sejauh ini, kesejahteraan hakim belumlah memadai, misalnya dari gaji pokok, sampai saat ini masih sama seperti PNS umumnya tergantung gaji dan golongan hakimnya. Sementara mengenai tunjangan masih menggunakan aturan lama PP 94 tahun 2012. Artinya sejak 12 (dua belas) tahun yang lalu tidak ada kenaikan gaji hakim. Padahal beban kerja dan resiko kerja antara Hakim sangatlah jauh berbeda jika dibandingkan PNS.

Inflasi memang terus terjadi terus terjadi dan meningkat serta menggerus nilai mata uang negara kita sejak tahun 2012 hingga 2024. Ditambah harga emas yang terus naik hingga lebih dari 2 (dua) kali lipat sejak tahun 2012 hingga 2024. Akibatnya mempengaruhi tunjangan hakim yang terkena efek tersebut. Mungkin pada tahun 2012 tunjangan hakim sangatlah besar. Namun, pada tahun 2024 tunjangan tersebut kecil jumlahnya karena pengaruh inflasi dan harga emas tersebut.

Sebagai informasi sejak tahun 2012 Hakim tidak mendapatkan tunjangan kinerja (tukin) karena dihapuskan oleh tunjangan jabatan (tunjab). Sehingga Hakim menggunakan tunjangan jabatan itu untuk menopang hidup, meski tunjangan jabatan tersebut tak kunjung naik sejak 12 (dua belas) tahun silam. Belum lagi tunjangan kemahalan yang tidak merata sebagai contoh pengaturan tunjangan kemahalan saat ini tidak mencerminkan kondisi geografis dan keadaan wilayah pengadilan di suatu daerah.

Diketahui bersama beban kerja dan jumlah hakim faktanya tidak seimbang. Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah Agung  tahun 2023 menyebutkan bahwa jumlah hakim tingkat pertama sebanyak 6069 orang dengan beban perkara sejumlah 2.845.784 perkara. Ditambah proporsi yang berbeda antara hakim satu dengan hakim lainnya. Belum lagi adanya tugas tambahan hakim di luar memutus perkara. Terlebih khususnya wilayah terpencil jumlah hakimnya sangatlah minimalis dengan beban perkara yang jumlahnya bervariasi di setiap satuan kerja.

Selain itu, kondisi yang jauh dari keluarga dan beban kerja yang tinggi membuat sebagian hakim mengalami gangguan kesehatan mental serta harapan hidup yang dari hari ke hari semakin menurun. Banyak pemberitaan hakim yang meninggal di tempat tugas karena faktor kesehatan. Bukan itu saja, sarana rumah dinas dan fasilitas transportasi yang tidak memadai membuat semakin tidak karuan kondisi para Hakim di daerah-daerah pada tingkat pertama.

Selain itu, faktor kesejahteraan keluarga hakim juga terpengaruh akibat 12 (dua belas) tahun gaji hakim tidak mengalami kenaikan. Misalnya saja banyak hakim yang enggan membawa ikut serta keluarganya ke tempat tugas, alasannya bukannya tidak mau, akan tetapi karena faktor gaji yang tidak cukup ditambah fasilitas yang tidak memadai. Tentunya hal ini dilakukan oleh para Hakim agar keluarganya tidak kesusahan di perantauan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun