Aceh Tamiang merupakan salah satu Kabupaten di Aceh yang terletak di perbatasan langsung dari sisi Timur dengan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kabupaten ini merupakan pisahkan dari Aceh Timur yang secara secara hukum memperoleh status kabupaten definitif berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002
Berdasarkan data yang dihimpun dari Website resmi Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang memiliki Luas wilayah Kabupaten sebesar195.702,50 ha, dengan jumlah penduduk sebesar 294 356 jiwa. Penduduk di daerah ini memiliki persebaran berdasarkan kekhususan bentuk geografisnya.
Secara geografis, persebaran penduduk Aceh Tamiang berada mengikuti jalur sungai yang diberi nama Sungai Tamiang. Sungai ini menjadi salah satu pusat kehidupan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini karena Sungai Tamiang menjadi sumber utama air bersih, kehidupan nelayan, dan transportasi.
Persebaran penduduk di sekitar Sungai Tamiang tentu saja membawa kehidupan tersendiri bagi masyarakat. Namun dibalik itu, terdapat sebuah permasalahan yang harus di hadapi setiap tahunnya sejak zaman dahulu. Adapun permasalahan yang dihadapi adalah musibah banjir.Â
Meskipun penulis belum menemukan catatan pasti kapan pertama kali musibah ini terjadi, namun banjir di Tamiang seolah menjadi tamu tahunan yang kerap datang menyapa masyarakat pada musim penghujan.
Akibat kejadian ini, tidak sedikit masyarakat menjadi korban. Tidak tanggung-tanggung hampir setiap tahunnya ratusan ribu masyarakat harus mengungsi kedaerah yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri.
Musibah banjir ditamiang tentu saja membawa dampak buruk seperti kehilangan harta, benda, mata pencarian , bahkan nyawa. Perputaran perekonomian dan kehidupan sosial juga menjadi terhambat. Masalah yang muncul sebenarnya juga berdampak pada daerah lain. Contohnya kejadian banjir yang baru- baru ini terjadi pada November 2022. Sebagai pintu gerbang Aceh, ketika dilanda banjir maka akses untuk masuk menjadi tertutup.
Meskipun musibah banjir telah terjadi sejak lama bahkan sudah ada sebelum penulis lahir dan terjadi berulang-ulang, tampaknya belum ada tindakan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk mengatasi permasalahan ini. Bantuan yang diberikan setiap terjadi banjir hanya berupa bantuan yang sifatnya sesaat saja.
Jika ditelisik lebih jauh, penanganan musibah banjir di Aceh Tamiang hanya sebagai buah bibir saja. Apalagi pada tahun-tahun politik
permasalahan ini diangkat hanya menjadi isu yang seksi semata untuk dinikmati bersama.
Alih-alih menyelesaikan masalah, menemukan faktor penyebabnya pun masih gagal dan simpang siur. Ketika ditanya tentang faktor penyebabnya sebagai indikator awal untuk penyelesaian;, yang terjadi adalah perbedaan pendapati dan tidak ada kepastian.
Ada pendapat yangmenyatakan penyebabnya adalah curah hujan yang tinggi, lantas apakah ini bisa dijadikan sebagai pernyataan yang pantas. Sebab berkaitan dengan suhu dan cuaca diluar batas kemampuan untuk dicegah.
Selain itu, ada juga pernyataan yang menyatakan bahwa penyebabnya adalah akibat penebangan liar dan pendangkalan sungai Tamiang. Jika dicermati pernyataan ini sedikit lebih logis dan dapat diselesaikan. Namun sayangnya, masih belum juga terselesaikan.
Ditambah lagi pernyataan bahwa penyebabnya hutan yang kini beralih fungsi menjadi lahan
perkebunan sawit. Sebagai stakeholder yang memiliki kewenangan untuk mengatur regulasi dan perizinan tentu saja pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat dapat mengatasi ini. Tetapi, masih saja belum dapat terselesaikan secara baik.
Mencermati kejadian ini menimbulkan sebuah pertanyaanÂ
Apakah Banjir di Kabupaten Aceh
Tamiang Tetap Menjadi Warisan untuk Anak Cucu Kelak di Kemudian Hari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H