Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi RI menetapkan 11 dari 12 karya budaya yang diusulkan Pemerintah Aceh lolos verifikasi dan memenuhi syarat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia pada 31 Agustus 2023 di Hotel Millenium, Jakarta.
Adapun Sebelas karya budaya tersebut terdiri dari Semeuleung Raja (Aceh Jaya), Gegedem (Aceh Tengah), Keujreun Blang (Aceh Besar), Rateb Berjalan (Aceh Tamiang), Madeung (Aceh), Munirin Reje (Aceh Timur), Khanduri Uteun (Aceh Timur), Geudeu-Geudeu (Pidie), Tari Langsir Haloban (Aceh Singkil), Bahasa Devayan (Simeulue), dan Hiem (Aceh).
Penetapan 11 Warisan Budaya ini menjadikan penambah total keseluruhan yang sebelumnya berjumlah 57 kini menjadi 68 WBTb dari Aceh. Angka ini tentu saja akan terus bertambah mengingat masih banyak budaya Aceh yang belum terverifikasi.
Dari kesebelas WBTb terdapat salah satu budaya dari Melayu Tamiang yaitu "Rateb Berjalan". Kebudayaan ini berbentuk sebuah ritual tolak bala masyarakat terdahulu yang dilaksanakan pada Bulan Safar dalam penanggalan kalender Islam.
Menurut kepercayaannya bulan dianggap sebagai bulan "panas" sehingga masyarakat mengadakan zikir dan doa bersama kepada Allah SWT agar terhindar dari musibah. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada hari Rabu terakhir selama tujuh hari berturut-turut.
Ritual ini dimulai dengan diadakannya musyawarah mufakat antara Tengku Imum (Imam Desa) dan Pak Datuk (Kepala Desa). Tujuannya adalah untuk berkoordinasi antar desa karena dilaksanakan secara estafet. Selain itu, keputusan yang diambil dari musyawarah juga diumumkan ke masyarakat agar dapat mengikuti beramai-ramai.
Rangkaian Rateb Berjalan dilaksanakan pada malam hari yang dilakukan oleh laki-laki baik itu yang sudah dewasa maupun masih anak-anak. Sedangkan bagi perempuan menyiapkan bertih (penganan berbahan olahan padi yang digonseng dan disajikan dengan parutan kelapa dan garam).Â
Dimulai dengan mengumandangkan Azan dan masyarakat bersiap menyusun barisan. Kemudian melakukan zikir sambil berjalan beriringan dengan membawa kain putih atau bendera yang berlafadz Laaillaha ilallah menuju desa berikutnya.
Arakan berupa bendera tadi kemudian diterima oleh desa lainnya secara estafet dan berlangsung seperti itu sampai ke desa yang telah disepakati. Namun biasanya diakhiri di desa yang paling ujung dekat dengan pinggir Sungai Seruway.
Budaya ini merupakan cerminan dari kepercayaan Islami dari masyarakat Melayu Tamiang. Semoga Tradisi Rateb Berjalan dapat terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga menghasilkan generasi Tamiang yang memiliki keyakinan, keagamaan, dan warisan budaya yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H