Mohon tunggu...
arbi syafri tanjung
arbi syafri tanjung Mohon Tunggu... -

menyenangi ranah sastra-sejarah dan agama.Penggemar tulisan-tulisan pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Citra, Bayangan Buya Hamka (Cerpen Arbi Syafri Tanjung)

23 Desember 2011   12:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Citra, Bayangan Buya Hamka
Oleh : Arbi Syafri Tanjung
Penggiat di Komunitas Seni Kuflet-Padang Panjang

Titik-titik air halus terus mendarat ditubuh dua orang pengendara sepeda motor Revo itu. Rinai itu seperti seorang anak kecil yang dengan riang gembira berlari-lari kesana kemari ditaman bermain. Berombongan tetesan air rezeki itu melaju dari atas langit menuju bumi sekitaran Puhun Pintu Kabun, daerah yang terletak di satu sudut kota Bukittinggi. Daerah yang dikenal penduduk setempat sebagai lokasi pemelihara kuda bendi maupun kuda pacu. Selain itu juga dikenal sebagai daerah gudangnya Kedai nasi Ampera yang serba murah, misalnya R.M.Pondok Salero, yang terletak disimpang tiga dengan spesifik ikan bakar sepuluh ribu perporsi, R.M.Sasuai Lidah yang menjual keunggulannya lewat samba tanak, dan masih banyak nama rumah makan-rumah makan ampera lainnya.
Gerak rintikan rinai itu adalah gerak kesetiaan dari sebuah perintah dari Yang Maha Menguasainya, termasuk yang Maha Pengatur segala yang menumpang di alam ini. Kesetiaan yang total dan penuh tanpa keraguan sepasir pun. Andaikan saja semua manusia, termasuk kedua pengendara ini punya kesetiaan yang bulat seperti rinai hujan itu, pastinyalah kebahagiaan hidup dan ketentraman alam menyeruak dan menjamur di dunia ini. Dunia yang kata kitab suci adalah sesuatu yang fana dan sementara.
Berharap agar rinai itu berhenti, sebab jaket warna hitam yang mereka gunakan tampak sudah basah, akibat serbuan tetesan air yang jumlahnya berbilang melampau angka ribuan tetes. Disana, di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesiaku masa SMP dulu pernah menyebutkan sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Itu jua kiranya yang dilakonkan sang butiran rinai pada jaket mereka. Sedikit demi sedikit akhirnya membuat basah kuyup.
Untuk itu sang pengemudi berkata pada teman yang diboncengnya ”kang kita berhenti disini aja dulu, kita shalat Jum’atan disini aja”. Suara bass dan parau itu mengajak. Mendengar ajakan temannya, yang diboncengpun menjawab dengan logat Jawanya “terserah ente lah boss ”. Karena udah sepakat para penunggangnya, maka putaran roda Revo itupun mulai mengarah kepintu masuk sebuah mesjid. Sedikit menanjak dari jalan raya, sepedamotor itupun tiba di area parkir mesjid tersebut, dan berhenti untuk parkir disatu sudut disamping mobil Hijet seribu warna hijau yang telah lebih awal parkir.
“Waduhh, ikhwanul muslimin, gerakan garis keras Muhammad Abduh ini boss” celetuk orang Jawa yang duduk diboncengan tadi, setelah membaca sebuah pamplet yang tertempel di dinding mesjid.”Wahh, jangan mikir terlalu jauh lah boss” jawab rekannya yang mendengar. Keduanya melangkah ke tempat wudhu dan menjauh dari sepedamotor yang telah dipastikan terkunci stir kemudinya itu. Mereka terus berjalan menuju kamar mandi melewati teras mesjid yang berlantai keramik warna krem coklat itu. Disela itu seorang dari mereka berkata” besar ya boss mesjidnya, kayaknya diurus nich mesjid?”. Temannya menjawab dengan ringan “ yach mungkin jamaah disini kompak dan sadar akan arti penting sebuah mesjid”. Rekannya itu berkata lagi sambil mengajak, dan ngomong lagi ”Udahlah yuk, kita berwudhu dulu”
Duduk sambil terpekur dan menundukkan kepalanya. Mereka, kedua pengendara Revo tadi telah menjadi bagian dari ribuan jamaah shalat Jum’at Mesjid Muslimin - Puhun Pintu Kabun. Terdengar suara dari khatib yang berkumis tebal dan seonggok bulu bertumpuk menempel didagunya “Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tak terasa oleh kita, hari ini kita sudah berada di hari kedelapan penghujung tahun dua ribu sebelas. Tak kita sadari, kita yang berprofesi sebagai pedagang, tetap saja tiap hari kepasar . Kita yang berprofesi sebagai petani, tetap pula ke ladang dan kesawah setahun ini, kita yang berprofesi sebagai guru tetap saja kesekolah mengajar, begitu pula dengan profesi-profesi yang lainnya. Tapi pernahkah kita menghitung dan menimbang-nimbang apa yang selalu kita lakukan. Merugi atau berlabakah kita karenanya?.Sang khatib terus menyampaikan pesan Jum’atnya. Bila disimak dan diikuti intonasi suaranya.Sosok Si khotib yang sedang berkhutbah, ingatkan kita pada suara dan gaya ceramahnya Buya Hamka. Suara buya yang kerap terdengar di tiap Shubuh melalui radio-radio milik penduduk Bukittinggi ditahun 1970 sampai tahun 1980-an. Tenang, jelas dan bersahaja.
Khotib lanjutkan ceramahnya “kita sering lupa pada apa-apa yang telah kita lakukan sebelumnya, makanya kita berbuat seperti sekarang ini. Sementara yang akan kita peroleh dimasa depan tergantung apa yang kita kerjakan hari ini”. Pengemudi Revo tadi, Ibra, bertambah tekur kepalanya mendengar wejangan yang menyengat hati dan pikirannya ini. Hatinya berteriak”bodohnya aku, sudah tigapuluh tahun umurku, kebaikan apa yang telah aku buat untuk diriku sendiri?. Aku mengajar, sudah tujuh tahun lamanya, sudahkah bermanfaat yang aku lakukan, atau itu hanya untuk merintang hari?”Sepertinya ia memaki dirinya sendiri.
Dalam hati dan pikiran Ibra, Khotib yang sedang berkuasa dimimbar siang itu adalah Buya Hamka sering datang dalam khayalnya. Tokoh yang menjadi salah satu idolanya dalam hidup. Hamka telah dikenal Ibra lewat buku 70 Tahun Buya Hamka, Ayah, Kenangan-Kenangan Hidup, Tenggelamnya Kapal Van De Wijk,Lembaga Hidup, Tafsir Al-Azhar, Dibawah Lindungan Ka’bah, Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta, termasuk buku yang telah lama ia cari dan baru ditemukannya ketika baru pindah dari Medan ke Bukittinggi yaitu Merantau ke Deli. Buku langka ini, Ia temukan ketika awal-awal berkunjung ke perpustakaan sebuah pesantren tertua di Sumatera Barat.
Khayalnya akan sosok Buya Hamka dikejutkan, saat khotib membacakan arti ayat Al-Quran surah Al-Hasyr ayat delapan belas, ayat Sembilan belas Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah.Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.
Sang khotib melanjutkan “tatkala kita memperhatikan apa yang telah kita lakukan maka kita akan tahu citra diri kita”.Lalu ia sambung seolah bertanya pada semua jamaah “Baikkah atau Burukkah citra diri kita?”.”Kita tahu bahwa kita orang minang dan kita orang Islam, sudahkah kita perhatikan, benarkah ada citra Islam dan citra minang dalam diri kita masing-masing?”.
Pesan Jum’at itu telah membawa ingatan dan fikiran Ibra pada bacaan tentang Islam dan Minang dimasa lalu. Bacaan yang bersumber dari artikel-artikel hari minggu harian local Sumatera Barat seperti Singgalang, Padang Ekspres, Haluan, Rakyat Sumbar, maupun Pos Metro Padang, serta lewat buku-buku tentang minang dan Sumatera Barat
Ingatnya pada sebuah cerita bahwa dulu sebelum tahun 1990-an dihampir seluruh daerah Sumatera Barat. Masa dimana listrik belum masuk dan menerangi rumah, surau dan mesjid-mesjid dinagari.Saat itu citra keminangan dan keislaman melekat kental dan pekat dikeluarga-keluarga yang rumahnya papan beratap rumbia serta malamnya berlampu togok (lampu sumbu dibuat dari botol bekas syrup obat batuk yang diberi sumbu kain bekas).
Masa itu, menjelang maghrib tiba, anak-anak berusia tujuh sampai empat belas tahun berombongan untuk berangkat pergi ke surau shalat maghrib yang dilanjutkan dengan mengaji. Rumah dan surau terkadang berjarak sekitar limaratus meter sampai satu kilometer itu tak pernah menjadi alasan untuk tidak ikut mengaji. Riang hati sambil bercandagurau ditengah jalan hingga tiba ditujuan. Selepas magrib terdengar sayup-sayup lantunan ayat al-quran dari hampir setiap rumah. Lantunan dengan irama lagu yang dikuasai masing-masing mereka.Ada lantunan yang mirip dangan irama pelantun seni rabab piaman, maupun gaya bacanya qori nasional Muammar.M.A. Pokoknya beragamlah irama bacaan mereka. Citra keIslaman memang hadir di gerak hidup orang minang kala itu. Mereka orang minang, dan mereka juga menjalankan petunjuk Islam. Slogan ideal” adaik basandi syara’,syara’ basandi kitabullah” bukan pepesan kosong pengisi panjangnya pidato-pidato resmi mereka.
“Zaman lampu togok itupun juga punya cerita lain”, omelan hati Ibra. Masa-masa itu, sepulang mengaji anak dan keluarganya akan makan malam bersama.Duduk melingkar diatas tikar pandan yang dianyam tangan,duduk bersama dengan penerangan seadanya,ada nenek, ada kakek, ada kakak, ada adik, ada uda, ada ayah, ada ibu. Sembari menunggu hidangan lengkap disajikan, terkadang ada saja budi pekerti yang diajarkan, seperti teguran nenek “oiyy piak, awak padusi barajalah duduk basimpuah”, “oiyy yuang kalau duduak jan tinggian lutuik dari nan lain”.”Elok-elok makan jan barimah”.
Banyak memang yang diingatnya ketika mendengar khutbah itu, ia ingat pula pada cerita ayahnya bahwa dulu ketika pulang mengaji, rombongan anak-anak tidak akan berani melintas atau mendahului bila ada orang-orang yang lebih tua duduk didepan rumahnya atau berjalan didepan mereka. Biasanya orang-orang tua itu akan mempersilahkan mereka, dan berkata dengan penuh kasih“lalu lah nak” Anak-anak itupun akan melintas dengan membungkukkan badan sambil menukikkan tangan kanannya kearah tanah seperti merunduk.
“Oleh karena itu marilah sama-sama kita memperhatikan apa yang telah kita perbuat ditahun ini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik ditahun dua ribu dua belas kedepan. Barakallah lana walakum …..” kalimat penutup khutbah sang khotib.
Selepas shalat, berdzikir dan berdo’a Ibra menghampiri rekannya, Pujo. Ia berkata” Kang”, itu panggilan akrab Ibra pada Pujo yang asli Cirebon. Pujo menoleh dan menatapanya.Ibra berujar lagi ”Kang, hebat ya ustadz yang khutbah tadi, kayaknya wawasan beliau luas ya?”. Ringan saja Pujo menjawab “Iya boss, dosen kali ya?”.
“Oh ya boss, hari Minggu lalu ane nyaksiin akad nikah teman ane di Birugo, diantara rombongan penganten perempuan ada tiga orang anak gadis pakai celana pontong tiga perempat yang menutup auratnya hanya hingga lutut, masuk mesjid untuk ikut saksikan proses akad. Lalu tuan kadhi datang hampiri ketiga gadis itu“dek, silahkan pakai pakaian yang pantas untuk masuk mesjid, ini bukan gedung biasa, lagipula kamu kan gadis minang, kok pakaiannya begini?”Anak gadis itu diam karena malu. Tetapi tiba-tiba dibelakangnya datang anakmuda berumur kira-kira dua puluhan tahun, membela dan berkata dengan nada seperti membentak tuan khadi”ooiy pak, jan balabiahan bana tantang Islam tu dan rang minangpun buliah modern”
“Selanjutnya ane gak perhatikan lagi apa dialog antara tuan Kadhi dengan anak muda dan ketiga gadis itu, yang ane tau ketiga gadis itu duduk diluar mesjid saat akad nikah berlangsung “ lanjut cerita Pujo pada Ibra.
“Aneh ya..?, ditunjukkan hal yang benar tentang citra islam dan minangnya kok malah melawan”. Ungkap Pujo.Lalu Ibra menjawab ”Benar juga ya kang, orang minang dan orang Islam sekarang gak pernah ingat dan gak pernah perhatian pada citranya sendiri”.
“Kang beruntung ya kita kena hujan tadi, karena telah mengantarkan kita ke mesjid Muslimin ini, yang telah ingatkan kita bahwa organisasi Ikhwanul Muslimin pun memulai pergerakannya dengan memperhatikan dan menimbang-nimbang apa yang telah diperbuat dan dilakukan sebelumnya.” Celotehan Ibra pada Pujo saat melangkah menuju tempat sepedamotor mereka parkirkan.
Diparkiran sambil memakan sepotong buah nangka yang dibeli mereka pada tukang buah yang mangkal disana Ibra bertanya pada Pujo”Kang, siapa ya nama khotib tadi, penasaran nich?”.Sambil meledek Pujo menjawab “au ah gellaappp”.

Bukittinggi, Jum’at 23122011, saat adzan magrib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun