Mohon tunggu...
arbi syafri tanjung
arbi syafri tanjung Mohon Tunggu... -

menyenangi ranah sastra-sejarah dan agama.Penggemar tulisan-tulisan pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Episode Tegas

21 Desember 2011   14:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:56 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah Episode Tegas
Penulis adalah penggiat di Komunitas Seni  Kuflet Padang Panjang
“Sudahkah anda-anda mendoakan anak-anak itu dalam shalat tahajjud anda ?”.Seberapa maksimal pembinaan yang telah anda lakukan?”. Keluar main internet, mencuri, merokok, melawan Pembina, itu kan kenakalan biasa untuk anak-anak seusia mereka.Namanya juga masa puberitas Coba bayangkan betapa terlukanya hati orang tua mereka tatkala kita memutuskan untuk mengeluarkan mereka dari pesantren ini. Mereka adalah harapan dan asa orangtua. Jadi hanya gara-gara itu mereka dikeluarkan?.Pokoknya tidaka ada anak yang dikeluarkan,titik. Celotehan demi celotehan yang  sambung-menyambung terus keluar dari mulut lelaki paruh baya itu.Celotehannya mirip gerbong keret api pembawa batubara diSawahlunto, berangkai dan terus  memanjang.Sementara  Ustadz Facier, Ustadz Hepartas, Usatdz Ibat, Ustadz Gang, Ustadz Sajar, dan tiga orang pengurus yayasan lainnya diam sambil berdialog dengan hati mereka masing-masing.Mendengarkan dua sumber suara yaitu pertama sumber suara yang keluar dari lelaki kemeja hijau itu, kedua sumber suara dari hati mereka sendiri. Mereka duduk melingkar dikursi busa warna biru.Lingkaran formasi mereka selebar tiga meter radius,didalam naungan ruang yang berhiaskan gorden warna coklat krem menghiasi petak-petak jendelanya, serta kusri-kursi busa biru yang berjajar rapi, ramai menjadi penghuni tetap rungan ini. Pembicara tunggal itu adalah ketua umum yayasan ini
Ruangan Aula tempat mereka adakan pertemuan,memang merupakan ruang yang diperuntukkan pesantren dalam kegiatan rapat besar, rapat kecil atau untuk menyambut tamu yang jumlahnya melebihi sepuluh orang. Ruang yang berukuran kurang lebih lima belas kali enam meter ini menjadi saksi sebuah keputusan yang akan menentukan cara pandang dan keteguhan hati para santri untuk melihat keseimbangan kata dan perbuatan yang akan dlakonkan oleh para pengelola pesantren ini.Apakah itu pengurus yayasannya, pengurus pondoknya, pengurus sekolahnya, terlebih lagi pengurus asramanya.
Berawal dari sebuah pengaduan ustadzah Eflatas kepada Pembina asrama putra,”Ustadz Bonar, si Fizhar ada gak di asrama?, Tanya ustadzah yang juga guru Bahasa Inggris itu.  “Kenapa si Fizhar,Zah”, jawab Ustadz Bonar dengan ringan.”Tadi ia tidak ikut ujian”balasnya sambil menatap gurau pada Ustadz Bonar, maklum keduanya sudah terbiasa bercanda dalam keseharian sebagai mitra kerja.Ustadz Bonar menjawab dengan suara bass dan serak yang menjadi ciri khasnya itu”Ohh, siapa lagi temannya yang tidak ikut ujian hari ini, Zah?”,singkat tanyanya.”Itu tuh si Bewe anak kelas dua empat”sambut ustadzah yang tergolong pendek tubuh ini.”Ntarr, biar saya cari, dan nanti akan saya beri kabar pada Ustadzah”, jawab Ustadz Bonar, pembina sekaligus koordinator asrama pesantren ini.
Sebagai bentuk tanggung jawab dan keutuhan memegang amanah Pembina dan koordinator asrama,Ustadz Bonar bergegas mengambil sepeda motor Honda Revo hitam rakitan tahun dua ribu sepuluh, bernomor plat Medan.Emang benar adanya Ustadz Bonar adalah Pembina dan guru baru yang berasal dari Medan. Ia mengabdi sejak April 2010 lalu. Tubuh tinggi besar dengan raut wajah sangat Sumatera seperti yang digambarkan oleh Anthony Reid dalam bukunya “Sejarah Sumatera”. Seperti apa wajah Sumatera itu?.Entahlah aku pun tak tahu.
Ia,Ustadz Bonar pergi dan mengajak ustadz Gang yang wajib mengabdi disini, seorang alumni sekolah ini yang baru saja pulang studi S-1dari Surabaya atas beasiswa Depag Sumatera Barat.Sudah kebiasaan sang ustdaz Bonar dan Pembina asrama lainnya, bila santri asrama tidak berada dilokasi asrama, ia akan mencari di warung-warung internet sekitar kota Bukittinggi.Ia akan mencari mereka anak binaan dan anak asuhnya yang berjumlah kurang lebih dua ratus enam puluhan orang itu.
Fizhar dan Bewe ditemukan sedang asyik bermain internet, duduk dan fokus dengan raut wajah seperti orang yang tidak tidur semalaman. Selain mereka berdua di Warnet”Biru” yang lokasinya tidak jauh dari lapangan kantin Bukittingg.Disana, ditempat yang sama  ditemukan juga Fazhi, santri kelas satu asal kota Padang dan Fines,santri asal Lawang-Agam,duduk dikelas tiga tsanawiyah.Kedua nama terakhir sudah sangat akrab dengan kasus tanpa izin dan ditangkap basah sedang di warnet baik siang maupun malam
Setelah melalui proses Tanya jawab perihal ketidak ikutasertaan mereka dalam ujian semester satu kali ini, diketahui bahwa mereka berada disanadi warnet “Biru” sejak kemarin, Sabtu sekitar jam sebelas sepulang ujian dihari kedua.Mereka bermalam disana, dan menikmati kebebasan sebagai petualang game.Pengakuan si Bewe mereka menggunakan uang SPP yang diberikan orangtuanya kepada Bewe, namun SPP itu tidak jadi dibayarkannya ke bendahara sekolah.Untuk ukuran cara hidup hari ini uang Satu Juta Seratus Enam Puluh Ribu Rupiah bukanlah jumlah yang kecil.
Tatkala tanya jawab sedang berlangsung antara Bewe, Fizhar ,Fazhi dan Fines dengan Ustadz Bonar saat itulah datang seorang perempuan berumur sekitar empat puluhan tahun, ia mengucap salam untuk melangkahkan kakinya menapaki pintu ruangan, yang sering diistilahkan sebagai ruang transit itu.”Assalamualaikum”,ucapnya dengan ekspresi wajah ceria dan semangat.Ustadz Bonar dan semua orang yang mendengar salam itu, menjawab salam seperti koor acara tujuh belasan di kampong sebelah”Wa’alaikum salam”.Ia menyapa dan memandangi satu persatu wajah santri yang sedang bersama ustadz Bonar..Spontan ia bergumam degan nada tanya”eeehhh Bewe  lagi?,waduhhh, kan beberapa hari lalu kita udah janji untuk tidak melakukan pelanggaran aturan dan berjanji untuk selalu ingat pesan orangtua?”. Bewe  yang duduk sambil tertunduk membenamkan kepalanya sedalam mungkin tak menjawab apa-apa, kecuali menggerakkan dua tapak tangan yang saling ia adu, tapak tangan itu yang membentuk seperti tapaktangan sembah penganut agama Hindu.Bedanya tapak tangan Bewe itu dikepitkan dilutut.Kalau gerak sembahyang agama Hindu,tidak.
Dengan wajah sedikit tegang dan kesal Ibu Rezi alumni magister teknik ITB-Bandung, perempuan berpakaian gamis abu-abu seirama dengan warna jilbab lilit yang sengaja ia kenakan itu berkata”Ustadz Bonar, nanti setelah proses ini, saya minta Ustadz untuk ke ruangan saya dan jangan lupa bawa surat perjanjian dan pengakuan mereka yang telah mereka tulis dihadapan saya beberapa waktu lalu”,perintahnya dengan sopan dan datar.”Iya ustadzah” jawab Ustazd Bonar yang hampir rampung dapatkan informasi kronologi kasus Bewe  dan kawan-kawan.
Ibu Rezi adalah ketua yayasan bidang pendidikan, pengurus yang sangat dekat dan akrab dengan para  pimpinan unit, para guru, tukang bersih-bersih, apalagi dengan para santri.Selain itu ia juga sangat akrab dan intim dengan segala persoalan yang ada dan yang bergulir dikeseharian unit-unit yang ada. Sekolahkah?,asramakah?,pokoknya segalanya ada dalam rekaman otak yang dianugrahkan Tuhan padanya.Meskipun sebenarnya persoalan Bewe dan kawan-kawan bukanlah tataran beliau untuk menuntaskannya. Tapi ia sangat peduli dengan kasus ini sebab dua minggu lalu ia sendiri telah tatap muka dan mengetahui keseharian Bewe  lewat pengakuan tertulis Bewe  diatas kertas.Disempurnakan pula dengan ia telah mendengar curhat langsung dari Bewe dan kawan-kawan.
Dua minggu lalu, Bewe , Rafin, Kasri, dan Tegar pernah menuliskan pengakuan bahwa selama ini mereka sering mencuri uang, mencuri speaker, mencuri sandal, merokok, bolos sekolah, menginap di warnet, sering tidak shalat berjamaah, berbohong dan melawan Pembina asrama, menyimpan gambar porno, dan tindakan yang  sangat tidak “santri” lainnya.Dikalimat penutup pengakuan tertulis itu  mereka berjanji tak akan mengulanginya.Bila mengulang bersedia untuk dikembalikan pada orangtua.Sentuhan keibuan bu Rezi telah mampu menyihir mereka untuk menyadari segala bentuk kekhilafan yang telah mereka lakukan.
Siapa yang dapat menjamin kalau kesalahan itu tak akan diulang?Tak ada. Kecuali janji itu telah matang dan masak pada diri sendiri.Pada Tuhan?, pada orangtua?, pada guru?, pada pembina asrama?, kepada siapapun janji itu diikrarkan, bila diri tak berniat untuk berubah maka perubahan tak akan pernah berwujud.
Itulah yang telah berlaku bagi Bewe.Ternyata Kasri dan Rafin yang dua minggu lalu turut mengakui kesalahan dan berjanji dihadapan bu Rezi adalah orang-orang yang juga ikut serta menghabiskan uang SPP Bewe  lewat kegiatan berjamaah di warnet “Biru”.
Bewe,Kasri,Rafin dan Fizhar sudah acap dan berlangganan berurusan dengan pihak-pihak penegak disiplin aturan baik disekolah maupun di asrama. Pembinaan dan bimbingan dalam bentuk yang beragampun sudah ditempuh.Mulai dari membersihkan kamar mandi, hormat tiang bendera, menghafal dua halaman Quran, pemanggilan orangtua, hingga membuat perjanjian yang ditandatangani oleh orangtua-koordinator asrama, walikelas, kepala asrama, hingga kepala sekolah.Semua bentuk-bentuk pembinaan dan pendekatan itu rasanya seperti angin lalu dihadapan mereka. Jika mau jujur dan berdiri diatas segala aturan yang telah disepakati seluruh komponen pesantren ini, sudah dari dulu kiranya mereka di keluarkan untuk melanjutkan sekolah ditempat lain.Bila, aturan bersama dijalankan.Sekali lagi bila di j-a-l-a-n-k-a-n
Setelah menuliskan segala informasi yang didapatnya Ustadz Bonar bergegas menuju ruang kerja bu Rezi, jam yang menghiasi salah satu sudut ruang kerja itu menunjukkan angka dua lewat sepuluh menit.
Tok..tok…tok bunyi daun pintu beradu dengan punggung jari tengah yang dibengkokkan  “Assalamualaikum” suara serak dari luar ruangan.”Waalaikumsalam,silahkan masuk ustadz” jawab suara milik orang yang sedang sibuk memelototi laptop yang ada dihadapannya.
Setelah mempersilahkan duduk, dengan tenang bu Rezi bertanya”gimana ustadz”.Ustadz Bonar diam mendengar pertanyaan lawan bicaranya itu, seakan ada yang sedang ia tunggu, lalu perlahan tapi jelas suara paraunya mulai terdengar” Iya ustadzah, ternyata mereka sudah dua malam berturut-turut menginap di warnet, gimana baiknya ustadzah?”.Mereka sudah kelewat batas ustadzah” kalimat yang bersambung keluar dari Ustadz yang sering disebut ustadz Medan itu.”Ada baiknya kita kembalikan saja mereka pada orangtuanya”jawab bu Rezi, “Ustadz Bonar silahkan buat surat resmi dan sampaikan pada pihak-pihak terkait”,perintahnya.”Baik Zah” jawabnya singkat
Setelah pertemuan dengan bu Rezi, maka Ustadz Bonar menyiapkan segala kelengkapan administrasi guna penyelesaian kasus ini, mulai dari mengetik surat hingga memfotocpy berkas-berkas tertulis kasus yang pernah direkam sebelum-sebelumnya,seperti surat pengakuan tulis tangan,surat perjanjian, rokok sebagai barang bukti, handphone bukti curian dan lain sebagainya. Maklum ini bagian dari penguatan pengambilan keputusan, itu pikir Ustadz Bonar.
Keesokan harinya, setelah ditandatangani oleh kepala asrama, Ustadz Bonar mengantarkan surat rekomendasi asrama itu kepada pihak-pihak terkait. Dan melalui cerita kepala asrama kepada Ustadz Bonar bahwa seluruh pimpinan unit telah sepakat untuk mengambil keputusan agar mengembalikan amanah pendidikan keempat santri tersebut kepada orangtuanya. Palu telah di ketok langsung oleh pimpinan pondok. Maka langkah lanjutnya adalah mengundang memberitahu orang tua keempat santri tersebut.
Undangan dan pemberitahuanpun berjalan sebagaimana mestinya pada esok harinya.Orang tua menerima dan mengakui tingkah-polah laku anaknya.Dengan beragam ekspresi wajah dan gerak tubuh satu-satu orangtua pulang dengan kecewa teramat dalam pada apa yang telah dibalaskan seorang anak pada mereka yang melahirkan dan membesarkan.
Malam harinya, dengan semangat dan niat agar santri lain dapat mengambil pelajaran bahwa apa yang telah kita lakukan, kitalah yang akan menanggung resikonya. Ustadz Bonar berbicara dihadapan santri putra dan santri putri lewat mimbar Mesjid sebagaimana biasa ia lakukan untuk memotivasi santri asrama.”Asalamualaikum, singkat saja Ustadz sampaikan pesan, semoga seluruh ananda masih ingat dan selalu setia dengan amanah orangtua tatkala mereka meminta kita untuk menuntu ilmu disini”, kalimat pembuka Ustadz Bonar di malam itu.Lalu lanjutnya “  mari kita buka Al-Quran surat  Al-Zalzalah, dua ayat yang sering saya dengar lewat mimbar Jum’at di satu mesjid disana di Bonjol, tempat nenek moyang saya berasal, begini bunyinya famay ya’mal mitsaqala dzaratin khairai yarah, wamay ya’mal mitsqala dzaratin syarai yarah, artinya Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya,dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya”.Sejenak suara itu diam.Mata Ustadz Bonar terus menyusuri dan menyisir santri putra dan putri yang khidmat duduk mendengar pengarahannya.
“Maka ingat dan hitung-hitunglah kekhilafan kita pada diri dan orangtua yang menyayangi kita”lanjut Ustadz Bonar.Ia tutup dengan tegas “semoga kita menjadi orang-orang terbaik,assalmualaikum”.
Esoknya, siang bolong,diatas tempat tidur sambil berselimut tebal karena badannya mendingin, Utadz Bonar menerima sms “Ustadz, keempat santri kemarin akan ditarik kembali, keputusan kemarin dicabut dan dibatalkan, itulah hasil pertemuan kami dengan ketua yayasan yang baru aja selesai, tertanda Ustdaz Facier”.
Ustadz Bonar mengambil secarik kertas lalu memulai untuk menuliskan
…APA KATA DUNIA?
Semua kesepakatan yang telah dilalui buyar, semua kerinduan akan gerak pasti ketegasan pesantren yang sudah tak muda ini pun pupus.Laksana kerinduan negeri ini, yang berharap dan berdoa besar semoga pemimpinnya dapat berkata dan bertindak sesuai aturan kesepakatan.Baik itu aturan yang datanganya dari langit maupun dari garis lurus darat kemanusiaan. Disiplin adalah kunci keberhasilan, itu kata bijak yang sering menghias indah dinding sekolah-sekolah yang dipercaya sebagai ladang pendidikan formal.
Disana ,di pendidikan Indonesiaku.Semoga tak ada kata damai untuk kebiasaan mencuri, semoga tak ada kata damai untuk kebiasaan berbohong, semoga tidak kata damai melawan orangtua dan guru
Disiplin pada kata dan disiplin pada perbuatan.
Bukittinggi, 21 Desember 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun