Mohon tunggu...
arbi syafri tanjung
arbi syafri tanjung Mohon Tunggu... -

menyenangi ranah sastra-sejarah dan agama.Penggemar tulisan-tulisan pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pak Saniman (Cerpen Arbi Syafri Tanjung)

22 Desember 2011   14:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Saniman
Oleh : Arbi Syafri Tanjung
Penggiat di Komunitas Seni Kuflet-Padang Panjang

Kalau mau perhatikan secara detail dan teliti sebenarnya jalan raya Pasar Padang Luar menuju pusat kota Bukittinggi adalah laksana papan luncur,yang biasanya menjadi satu kelengkapan wajib di taman kanak-kanak atau di PAUD-PAUD. Tetapi bedanya, hanya terletak pada sudut kelandaiannya saja. Papan luncur di PAUD punya keluncuran antara enam puluh sampai Sembilan puluh derajat, sedangkan untuk jalan raya yang selalu ramai kendaraan antar kota antar propinsi ini, memiliki tingkat sudut diatas seratus derajat.
Kalau memperhatikan teriknya sinar matahari siang itu,sinarnya akan membuat kening berkerut bagi siapa saja yang beraktivitas diluar ruangan.Ya..siapa saja,tanpa terkecuali. Sepertinya hari sedang bergerak ke tengah terminal angka dua belas siang. Pak guru Bonar yang sedang fokus dan duduk damai mengendari sepedamotor astrea bututnya tampak mengarahkan kemudi menuju arah pusat kota Bukittinggi, ketika baru saja perjalanannya sampai di daerah Kapeh Panji, kira-kira tiga puluh meter sebelum kantor harian Koran Rakyat Sumbar, jalan seluruh kendaran yang sedang melintas tersendat.Macet.
Sembari memperbaiki tali helmnya yang belum terpasang dengan baik sewaktu berangkat tadi, Pak Guru Bonar melihat kekiri kenanan seperti kebingungan. Tin…tin..tin… . Tin…tin…tin….Tin…tin…tin…suara itu bersahutan keluar menyembur dari tiap-tiap kendaraan yang sedang ngantri. Suara itu sepertinya sengaja dikeluarkan oleh masing-masing pemilik kendaraan, dan suara itu terdengar tak sewajar fungsinya. Namun, lebih difungsikan sebagai perwakilan gambaran suasana hati-pikiran mereka yang terjebak di macetnya siang bolong itu. Marah…kemarahan, ketika marah seakan orang lain berhak untuk ia sakiti dengan makian dan bertubi-tubinya suara klason yang sengaja ia bunyikan.
Hati terus bertanya, berkata, berujar didalam rongga dadanya “Ada apa ini, ada-ada saja bahh” ungkap hati Pak Guru Bonar. Setelah tiga puluh menit bersabar menunggu untuk berubahnya suasana kemacetan. Akhirnya Pak Guru Bonar memutuskan untuk berbuat sesuatu. Pak Guru Bonar meminggirkan sepeda motornya kekiri badan jalan. Setelah memastikan bahwa tempat yang dipilihnya adalah sebagai tempat parkir yang tidak akan menambah kemacetan.Ia turun dari motornya, kemudian melangkah ke depan beberapa langkah, dan seketika ia mengerti ternyata kemacetan panjang yang sedang berlangsung diakibatkan oleh hal ini.
Empat meter dari tempat ia berdiri, terlihat sebuah becak barang yang bermuatan berbagai ragam sayuran, diam merintang kelancaran laalulintas jalan. Muatannya kelihatan sangat tidak setimpal dengan daya angkut becak itu sendiri. Ada empat karung goni ukuran 50 kilogram beras berisikan bawang merah, diatasnya ditimpa oleh enam plastic kresek warna biru seukuran tujuh puluh kali enam puluh sentimeter yang isinya daun bawang prei, diatas plastic kresek ini terdapat bungkusan-bungkusan sayur dalam ukuran lebih kecil.Agar semua barang-barang ini tidak meluncur jatuh kebawah maka sang pembawa becak membuhulkan potongan-potongan karet bekas ban dalam sepeda atau ban dalam sepeda motor.
Becak barang ini,roda depannya terlihat bercerai dari rangka utamanya.Seorang bapak berkaos putih, dibagian dada kaosnya itu tampak gambar dua wajah calon kepala daerah beberapa waktu lalu. Warna bajunya tampak sudah pudar,karena sering dicuci dan dipakai mungkin. Bapak yang sudah beruban itu terlihat panik dan sibuk merapikan beberapa ikat sayur yang jatuh ke aspal dan berserak. Paniknya juga seakan ia ingin berteriak minta tolong karena merasa bersalah malu sebagai sumber keruwetan lalu lintas siang itu, oleh karena kerusakan becaknya ini telah menciptakan antrian yang mengular dari Aur Kuning hingga pasar Koto baru.
Bukan bantuan yang datang padanya, namun hardikan para supir dan ributnya bunyi klakson kendaraanlah yang mencaci maki masuk ketelinganya.”Woii iko ndak jalan ayah waang ghai doh”,”capeklah salasaian barang waang tu”, suara teriak seorang supir mobil pribadi Avanza silver yang datang dari arah Padang Luar. Mendengar celaan dan makian yang terus menghujani si Bapak. Pak Guru Bonar berlari mencoba membantu hilangkan panik sang bapak, layaknya gerakan ruku dalam shalat Pak Guru Bonar memungut, mengumpulkan sayur yang berserak. Aspal ditempat itu tampak berbeda dari hari lainnya, tomat-tomat dan wortel yang tak sempat dipungut telah hancur dilindas kejamnya roda pengendara, mungkin juga akibat kegelapan hati pengemudi kendaraan. Pastinya warna orens telah menjadi warna dominan aspal tempat kejadian.
Melihat Pak Guru Bonar memulai untuk membantu pecahkan kebuntuan macetnya Kapeh Panji siang itu , pejalan kaki yang melihatnya pun tergerak untuk berbuat hal yang sama untuk si bapak. Si bapak memungut kemudi yang serangkai dengan roda depan becak yang sudah terpisah, jarak pisahnya tiga meter dari badan utama becak. Secara bersama-sama sekitar delapan orang bekerja untuk mengggiring badan utama becak dari tengah jalan ke parkiran kantor Koran Rakyat Sumbar. Badan utama becak yang super padat muatan itu terang saja tidak mudah dan ringan untuk digeser dan digiring. Pak Bonar ambil inisiatif untuk memberi aba-aba kepada yang lain yang sedang membantu, dengan logat dan intonasi Bataknya yang masih sangat kental Pak Guru Bonar mulai berujar”Bapak-bapak,uda-uda ayooo kita pinggirkan becak ini”, ”Oke”, ”Siap”, dengan tanpa diperintah dan sepertinya sudah saling mengerti ketujuh orang yang mendengar ajakan pak Guru Bonar itu, menjawab seperti grup koor yang sudah terlatih”ayooo”, disela-sela itu terdengar celotehan seseorang diantara mereka”capek-capek stek, ibo wak mancaliak apak ko,ha”.Pak Guru Bonar menyambung kata-katanya sembari seperti mengucap aba-aba hitungan ”siaapppp,ciek…duo….tigoooooo”. Beringsut namun pasti, badan utama becak berhasil di pindahkan dari tengah jalan keparkiran kantor Triarga TV itu yang bersebelahan dengan kantor Koran Rakyat Sumbar.
Keringat yang meluncur dan menggenang diwajahnya seperti luncuran air terjun lembah anai yang terkenal itu. Peluh itu meluncur dan terus meluncur, napasnya terengah-engah.Duduk dilantai tanah parkiran sambil mengelonjorkan kedua kakinya Pak Guru Bonar mengulurkan sebotol minuman gelas merk sms pada bapak pemilik becak. Bapak yang ternyata bernama Saniman itu, dengan senyum wajah dan tubuh yang bermandikan butir-butir bening keringat ia menyambut uluran tangan orang yang belum dikenalnya itu. Bajunya terlihat kuyup dan menempel ketubuh karena sudah terlalu basah.
“Pak kenalkan namaku Bonar, aku dari Medan, aku tinggal di Kubu Nan Tujuah, aku ngajar di sebuah sekolah dekat-dekat sini”, Pak Guru Bonar kenalkan dirinya pada Pak Saniman. Perbincanganpun dimulai , sambil memandangi kemudi dan roda depan becaknya telah patah dan terpisah itu, Pak Saniman menjawab dengan logat totok Jawanya “ terima kasih loh mas Bonar atas bantuannnya, saya Saniman, rumah saya tinggal di Parik Putuih arah ke Baso sana mas”.”terima kasih untuk apa pak Saniman” jawab Pak Guru Bonar. Pak Saniman menjawab” Untuk bantuan si mas Bonar lah”. Pak Guru Bonar bicara lagi”Pak,kata emakku jika lidah, raga dan hati masih bisa berbuat untuk kebaikan pada diri sendiri dan orang lain maka berbuatlah”.Ia sambung “umurku kan masih tiga puluh satu tahun dan jelas-jelas aku bisa dan pasti bisa berbuat untuk membantu bapak tadi, lagipula pusing aku tengok tingkah supir-supir tu tadi, kalau orang tu waras, aku pikir ributnya bunyi klakson yang dibunyikan mereka gak akan bisa mindahkan becak bapak tu dari melintangnya di tengah jalan” Pak Guru Bonar berceloteh dan kelihatan berapi-api.
“Berapa anak bapak?” tanya Pak Guru Bonar.”Tujuh orang, tiga laki-laki, empat perempuan” jawab Pak Saniman.”Kalau boleh, tau masih sekolah semua,pak?” tanya Pak Guru Bonar lagi.” Iya, anak pertama si Jarman lagi S-3 di Leiden Belanda jurusan Sejarah, dapat beasiswa dari kampus tempat ngajarnya UNAND, dibawahnya Tarman semester 2 pascasarjana UI-Depok jurusan sejarah, ia di sekolahkan oleh STKIP PGRI Padang Sidimpuan-Sumut, anak ketiga Surti di Medan tinggal dengan Paklek nya, kuliah jurusan sejarah USU-Medan, Kartini masih duduk kelas tiga SMAN 1 Bukittinggi, Kudsiah tak mau sekolah, kini jualan Bakso dia bersama Bukde nya di Aur Kuning, si Anna SMP N 1 Baso, dan si kecil Raden tahun ini tamat kelas enam SD”, mendengar cerita keluarga Pak Saniman, Pak Guru Bonar hanya menyimpan rasa kagum tearamat pada laki-laki yang jadi lawan ceritanya ini.
Lalu Pak Guru Bonar lanjutkan tanyanya”sejak kapan pak saniman kerja sebagai tukang becak angkat sayur Padang Luar-Bukittinggi?”.Sejak tahun1979, sepulang dari tahanan Pulau Buru, karena dituduh sebagai orang “kiri “ dan orang”merah”. Hanya beberapa bulan menetap di Semarang sepulang dari Pulau Buru, saya merantau ke Bukittinggi dengan niat bisa hidup damai dari hiruk pikuk suasana pulau Jawa kala itu. Bermodalkan tenaga dan otot, saya mulai hidup baru dengan bekerja sebagai tukang becak seperti sekarang ini.
“Lalu, kenapa tiga anak bapak menekuni bidang sejarah” tanya Pak Guru Bonar penuh penasaran. Dalam hatinya juga berkata “hebatnya perjalanan hidup bapak ini”.Bibir kehitam-hitaman Pak Saniman yang tak pernah alpa dari batangan rokok dalam sehari mulai bergerak untuk menjawab pertanyaan itu, jawabnya”Iya mas…,saya pribadi berharap pada anak-anak saya agar mereka dapat mempelajari masa lalu negerinya, dan dapat mengambil pelajaran dari masa lalu itu sendiri, sebab saya udah merasakan betapa masa lalu itu sangat penting”seperti orang yang mengadu, Pak Saniman terus bercerita”Mas, kalau saya gak salah di dinding ruang tamu rumah saya yang di Parik Putuih sekarang, masih menempel sebuah tulisan meskipun udah kusam yang pernah ditulis si Jarman di kertas karton manila Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya (George Santayana)”Pak Saniman melanjutkan”sekali –kali main kerumah ya mas”.
Bincang-bincang antara kedua orang yang baru saling kenal itu berlangsung dan mengalir seperti air hingga mereka sendiri tak sadar bahwa sudah dua jam mereka mengaso melepas letih dari upaya memecah kemacetan yang terjadi tadi.
Satu perbincangan dari jutaan perbincangan yang terjadi diwaktu yang sama dibelahan dan sudut bumi yang berbeda. Tukang becak barang pengangkut sayur, profesi yang telah mengantarkan mata orang kebanyakan untuk tidak mau tahu dengan keberadaannya, meskipun secara tidak sadar bahwa bila ketidakadaan mereka maka akan menghilangkan satu matarantai dari produsen ke konsumen sayur-sayuran. Apalagi dimata mereka yang terbiasa mengumandangkan rayuan dimusim pilkada pilih saya, tidak memberikan janji tapi berbuat dengan bukti, nasib diri apalagi nasib keluarga sejenis Pak Saniman tak pernah masuk hitungan.Jangankan masuk hitungan, terbesit dipikiranpun sangatlah langka.
Diamnya Pak Guru Bonar dalam mendengar cerita demi cerita dari Pak Saniman, telah membawa hati dan pikirannya untuk terhubung dengan bacaan-bacaan yang pernah dibacanya.Ia ingat pada betapa tidak berartinya tenaga dan nyawa para orang-orang kecil yang mati dan telah berjasa membangun jalan raya pos jalan Daendles sepanjang seribu kilometer dari Anyer ke Panarukan, yang kini tetap dan terus dinikmati oleh anak negeri. Ia ingat juga akan nasibnya para kuli kontrak kebun tembakau di Medan yang telah berjasa mengubah gemerlapnya Medan seperti adanya hari ini.Ia ingat pula pada tulisan baliho disimpang tiga kantor PLN Bukittinggi, kekiri menuju jam gadang, kekanan menuju pasar bawah. Isi pesan tulisan di baliho menyimpulkan akan kesyukuran hari ulang tahun Bukittinggi dirangkai dengan nilai kepahlawanan Syafruddin Prawiranegara dan Buya Hamka, yang baru saja disahkan sebagai pahlawan nasional.Lalu hatinya bertanya”apakah yang dilakukan oleh Pak Saniman bukan bagian dari nilai kepahlawanan.Ia kan punya kepedulian pada kelangsungan negerinya dikedepan hari, khususnya untuk peduli belajar dari masa lalu”
Sebelum pamit meninggalkan Pak Saniman di parkiran karena harus lanjutkan perjalanan menuju Parulian Agency, toko penjual Koran yang berada disimpang stasiun depan kantor pos Bukittinggi, Pak Guru Bonar berkata “terimakasih pak , ternyata Tuhan telah berikan kebaikan padaku dengan cara mempertemukan aku dengan Pak Saniman, masa lalu emang harus dipelajari dan dipahami agar tidak mengulang kesalahan yang sama di hari esok”.
Pak Guru Bonar pergi berlalu dari pandangan Pak Saniman, pandangan matanya seperti arah garis kehidupan, yang terus melaju kedepan dengan bermodalkan pengalamana masa lalu yang telah dialaminya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun