Foto manusia dan kegiatannya, atau bisa dikenal sebagai human interest photos, selalu menarik. Manusia senang berinteraksi, berjumpa dan melihat manusia lain dalam bentuk apa pun. Itulah sebabnya, foto human interest hampir selalu ada di sejumlah media cetak.
Foto human interest bisa dikatakan mudah didapatkan karena manusia selalu berkegiatan di mana pun. Namun, foto human interest yang baik tidak terlalu mudah dihasilkan karena berbagai kendala yang mungkin dihadapi oleh si pemotret.
Manusia berkegiatan adalah sesuatu yang tiga dimensi dan bergerak, sementara media foto adalah dua dimensi dan sama sekali tidak bergerak. Selain itu, ekspresi seorang manusia sering hanya bisa tertangkap indera manusia karena ekspresi merupakan reaksi terhadap lingkungan. Tantangan dalam membuat foto human interest adalah kemampuan memindahkan sebuah realita manusia, lengkap dengan ekspresi fisiknya, ke dalam selembar foto.
Untuk memberikan gambaran akan hal itu, mari perhatikan beberapa foto pendukung.
Perhatikan Foto 1 untuk memberikan gambaran bahwa ekspresi manusia bisa direkam dengan baik lewat sebuah pendekatan yang intens saat pemotretan. Manusia yang dipotret harus merasa nyaman terhadap si pemotret agar dia bisa berekspresi dengan baik.
Foto 1 bagian atas adalah pemotretan saat sang pemotret belum terlalu dekat dengan ketiga anak yang dipotret. Permintaan untuk tersenyum cuma mendapat respons seadanya. Tapi, manakala pendekatan makin baik, dengan sedikit pancingan lelucon saja, pemotret mendapatkan ekspresi yang sangat ekspresif dan baik, seperti pada Foto 1 bagian bawah.
Perhatikan Foto 2. Foto itu diambil dalam sebuah rapat desa di Sumatera Utara. Suasana rapat desa itu sangat santai dan penuh gelak tawa. Dari aneka ekspresi yang ada, wajah seorang wanita di tengah kerumunan terlihat sangat lugu dan unik. Dan, untuk mencegah agar dia tidak terganggu dengan kehadiran kamera, foto diambil dari jarak yang cukup jauh dengan lensa 500 milimeter.
Mengamati kebiasaan
Salah satu cara lain untuk mendapatkan foto kegiatan manusia yang menarik adalah dengan mengamati sebuah kebiasaan. Mungkin info tentang kebiasaan ini datang dari pihak lain dan info itu perlu dipelajari dulu sebelum melakukan pemotretan.
Foto 3 dibuat berdasarkan informasi yang didapat dari seorang teman bahwa penjual kerupuk di Pulau Samosir, Sumatera Utara, membawa kerupuk dalam jumlah besar cuma memakai sepeda motor. Dia biasanya mendarat di Pelabuhan Tomok sekitar pukul 09.00 pagi dari daratan Sumatera. Dari info itu, pemotretan dilakukan dengan "mencegat" sang penjual kerupuk di sebuah titik yang cukup fotogenik untuk jadi latar belakang pemotretan. Pemotretan dengan cara candid alias diam-diam menghasilkan ekspresi sang penjual kerupuk yang natural.
Permotretan dari dalam mobil sebaiknya dilakukan saat sedang tidak mengemudi, atau saat menjadi penumpang. Untuk mengatasi pantulan dari barang-barang di sekitar dashboard, usahakan menyingkirkan dulu berbagai benda yang ada di sana. Untuk mengurangi pantulan dashboard di kaca depan, kita bisa meletakkan selembar kain hitam di atas permukaan dashboardnya
Foto 5 dan foto 6 juga diambil dari dalam mobil.
Foto yang diciptakan
Hal terakhir adalah munculnya pertanyaan, bisakah foto human interest dibuat dengan perencanaan? Jawabannya adalah bisa!
Foto 7 dibuat pada sebuah lomba memotret model dengan sebuah keyakinan: kalau modelnya cantik, pasti yang memotret sangat banyak dengan berbagai ekspresi fotografer yang lucu dan unik. Dan, dugaan ini terbukti!
Perencanaan pemotretan meliputi pemasangan sebuah lampu untuk menerangi sang model dari arah depan. Lampu yang sengaja dipasang ini membuat rambut model menyala saat dipotret dari arah belakang.
Memotret Anak, Sulit dan Sangat Subyektif
Salah satu hal penting dalam fotografi human interest adalah memotret anak. Memotret anak sangatlah sulit sebab dalam kadar tertentu mereka tidak bisa diarahkan, atau belum mau mengerti kebutuhan orang yang akan memotret mereka. Walau begitu, minat memotret anak sangatlah tinggi karena hampir semua orang tua senang memotret anaknya sendiri.
Foto-foto di berikut ini adalah pemenang lomba foto anak 2004 yang diadakan perusahaan Fuji Film. Lomba ini adalah lomba terakhir yang diadakan perusahaan itu di Indonesia menyusul makin surutnya pemakaian film karena tergeser fotografi digital.
Apakah Anda percaya bahwa keenam foto ini telah menyisihkan sekitar 45.000 saingan?
Demikianlah adanya. Jumlah foto yang bersaing dalam setiap ada lomba foto anak selalu sangatlah banyak. Pada lomba tahun 2004 itu, jumlah foto yang sekitar 45.000 lembar dengan masing-masing berukuran 10 cm x 15 cm (jumbo postcard), secara fisik kalau ditumpuk mirip enam buah televisi 20 inci.
Banyaknya foto yang masuk untuk berlomba selain disebabkan banyaknya peserta, juga karena setiap peserta mengirimkan foto dalam jumlah yang banyak pula.
Ada seorang ibu yang mengirimkan foto anaknya sebanyak 72 lembar. Ia memang memotret anaknya yang berumur 2 tahun dengan dua rol film. Lalu ia mencetak semua foto pada kedua rol, dan mengirimkan semuanya ke lomba ini.
Lucu pula kalau melihat ada peserta lomba yang juga menyertakan sertifikat yang membuktikan bahwa anak yang difoto telah menang pada sebuah lomba bayi sehat.
Lalu, pada hari penjurian, ada beberapa peserta yang ingin menyaksikan langsung penjurian. Ada seorang ibu yang tidak segan-segan langsung bertanya kepada juri setelah melihat foto karyanya tersisih.
Demikianlah, memotret anak adalah salah satu “cabang” fotografi yang sulit dilakukan. Biasanya, pemotret anak adalah orang tuanya sendiri yang jelas sangat mencintai anaknya. Biasanya pula, mereka adalah orang tua baru yang baru saja punya anak pertama.
Maka bisa dimaklumi kalau semua peserta lomba foto anak jadi terlalu subyektif. Di mata mereka, anak mereka adalah yang tercantik dan terganteng di dunia ini. Demikian pula foto anak mereka adalah foto terbaik di dunia ini.
Tidaklah heran kalau hampir 80 persen foto yang ikut lomba foto anak secara umum adalah foto yang tidak enak dilihat, alias sebenarnya secara umum bermutu rendah. Ada yang fokusnya sangat meleset, ada pula yang pengambilannya sangat seadanya.
Selain itu, ada “penyakit” yang cukup parah. Foto-foto pada sebuah lomba foto anak banyak yang meniru foto pemenang dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2004 itu, banyak foto anak yang difoto di dalam panci masakan, mirip salah satu foto pemenang lomba 2003.
Kalau bisa disimpulkan, kesulitan memotret anak terjadi dari dua hal:
Pertama, perasaan subyektif sang orang tua membuat ia sulit berpikir logis dalam memotret. Perasaan bahwa anaknya sangat ganteng atau cantik akan mengaburkan logika.
Kedua, anak terutama yang balita masih sulit untuk diatur begini dan begitu.
Lomba foto anak 2004 ini pun membagi lomba menjadi dua kategori yaitu balita dan pasca balita. Di mata panitia, pasca balita lebih mudah diatur sehingga tidaklah adil kalau mengadu foto balita dengan pasca balita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H