Tingginya angka kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia tidak terlepas dari pendidikan yang ada. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Pendidikan tinggi dan sekolah-sekolah di Indonesia tidak menyiapkan lulusannya untuk menjadi entrepreneur (usahawan). Pendidikan lebih kepada penyiapan lulusan untuk memasuki dunia kerja.
Pendidikan kita juga minim dalam menginspirasi lulusan untuk memiliki jiwa entrepreneurship. Wikipedia mendefinisikan entrepreneurship sebagai tindakan menjadi seorang pengusaha. Selanjutnya entrepreneur yang dapat diartikan “orang yang melakukan inovasi, kegiatan pendanaan (financing) dan ketajaman bisnis dalam upaya untuk mengubah inovasi menjadi barang yang bernilai ekonomi”.
Angka pengganguran terdidik yang tinggi di Indonesia tidak menguntungkan bagi perkembangan daerah dan negara. Oleh karena itu pendidikan hendaknya harus berani keluar dari paradigma lama, bahwa kuliah atau sekolah bukan hanya untuk menempa lulusannya menjadi pekerja akan tetapi harus diupayakan pula para lulusan bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara menumbuhkembangkan jiwa entrepreneurship lulusannya.
Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan bahwa tak selamanya profesi itu sesuai dengan bidang kuliah, setelah lulus nanti, para mahasiswa semestinya sudah punya bekal untuk menjadi pengusaha. Adapun perkuliahan, adalah cara untuk membentuk pola pikir metodologis, analitik, dan presisi. (Tempo,co, 1 September 2012).
Kemudian menurut H.A.R Tilaar dalam bukunya Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional (2012) perubahan wajah dunia akibat globalisasi menuntut solusi proses pendidikan pedagogik kritis agar manusia tidak tercerabut dari sapuan globalisasi dibutuhkan sikap kritis untuk berani beda (the power of difference), yang merupakan landasan dari kreativitas dan kewiraswastaan.
Lulusan sekolah dan perguruan tinggi pada saat ini dituntut mampu mengimbangi kemajuan globalisasi. Perlu disadari juga kuliah atau sekolah merupakan tempat penempaan mental, kepribadian dan keberanian untuk mandiri. Kemandirian ini diharapkan melahirkan lulusan yang memiliki inovasi, serta terobosan-terobosan yang bersifat visioner.
Untuk itu ada hal menarik yang perlu dikembangkan oleh pemerintah daerah khususnya di Aceh. Penulis teringat ketika debat kandidat kampanye calon gubernur Aceh dulu. Pada saat itu panelis yang juga pakar ekonomi dan guru besar UI Prof. Renald Kasali menyentil Aceh pada masa jayanya terkenal dengan para saudagar atau saat sekarang lebih dikenal sebagai pengusaha (entreprenuer). Namun pada saat ini Aceh seakan kehilangan “ruh” para saudagar tersebut. Dan generasi sekarang tidak mampu melanjutkan kejayaan yang pernah di capai.
Padahal Aceh punya potensi untuk itu dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Pemerintah daerah, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah belum mampu memanfaatkan kekayaan alam tersebut sebagai penggerak perekonomian daerah. Pemerintah daerah yang memiliki kewenagan dalam pengelolaan sumber daya harus merubah orientasi haluan pemikiran yang bisa mempercepat perbaikan perekonomian demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Esensi dari otonomi daerah adalah memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Para pengambil kebijakan di Aceh harus memberi kemudahan fasilitas bagi para lulusan sekolah atau perguruan tinggi untuk menjadi entrepreneur (pengusaha). Dengan cara mempermudah regulasi atau pun perizinan yang dibutuhkan oleh calon usahawan. Kemudian dukungan berupa modal perlu diupayakan misalnya melalui pemberian kredit lunak atau sejenis modal lainya kepada mereka. Hal ini berguna untuk menumbuhkembangan jiwa pengusaha. Sehingga lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak hanya bertumpu untuk menjadi PNS atau mengisi lapangan kerja.
Sementara ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas. Kedepan, sebagai mana rencana ASEAN pada tahun 2015 Banda Aceh merupakan bagian komunitas ekonomi ASEAN( ASEAN Economic Community). Tentunya kita sebagai masyarakat Aceh tidak mau hanya menjadi penonton dan hanya penggembira, ketika nantinya ekonomi komunitas ASEAN diberlakukan. Oleh karena itu mulai dari sekarang pemerintah daerah, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi harus mulai berbenah, menyiapkan diri dan termasuk salah satu di dalamnya memotivasi lulusan untuk menjadi pengusaha.
Jika kita bandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura. Mereka lebih maju dan sejahtera dari kita. Salah satu penyebabnya adalah jumlah pengusahanya lebih banyak dari pada Indonesia. Idealnya, jumlah pengusaha di sebuah negara adalah dua persen dari total jumlah penduduk. Indonesia masih belum mencapai angka ideal ini. Jumlah pengusaha saat ini adalah sekitar 1,56 persen dari 240 juta penduduk (Kompas, juli 2012).
Penulis yakin bahwa apa bila ada kegigihan pemerintah daerah dengan memberikan kemudahan fasilitas,modal kerja serta dukungan suasana yang kondusif maka Aceh akan kembali melahirkan saudagar-saudagar besar yang siap bersaing dan disegani baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan adanya saudagar-saudagar baru ini di diharapkan pengangguran dan kemiskinan akan menurun. Dan kemudian mendekatkan Aceh kepada kemakmuran sebagaimana yang kita cita-citakan.
http://theglobejournal.com/opini/entrepreneur-untuk-aceh-yang-lebih-baik/index.php
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H