Tulisan ini bermula dari sebuah obrolan di warung kopi ketika seorang teman menceritakan kegalauan hatinya tentang pelayanan publik di pemerintahan. Berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang rekanan kecil-kecilan. Ada beberapa hal yang menarik dan mencengangkan ketika teman tersebut harus bersentuhan dengan birokrasi. Dimana masih ditemukannya oknum-oknum yang meminta jatah untuk kelancaran urusannya.
Sejak dari penandatangan kontrak sampai proses pengurusan termin penarikan dan pembuatan progres pelaporan proyek tidak terlepas dari pungutan liar atau lebih dikenal dengan nama peng kupi atau uang kopi sebagai pelicin. Tak tanggung-tanggung ada yang tak segan-segan mematok harga disetiap pelayanannya. Di setiap meja atau orang yang ditemui untuk minta tanda tangan atau keperluan birokrasi lainya, selalu berpesan bek tuewo peng kupi (jangan lupa uang kopi-red).
Nah, ini dia perilaku pengemis dari para birokrat yang tidak menyadari tugasnya dan fungsi sebagai abdi negara. Di mana mereka tidak malu-malu meminta-minta, mereka tidak sadar sebagai PNS sudah menjadi suatu kewajiban dan tugas untuk melayani keperluan masyarakat.
Perilaku sebagai "pengemis", merupakan suatu hambatan tersendiri bagi para rekanan yang akan berhadapan dengan para birokrat. Padahal rekanan sangat diburu oleh waktu, mereka berpacu untuk bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan dengan spesifikasi yang sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani. Akan tetapi semua itu tidak diimbangi dengan pelayanan yang prima dari pihak birokrat. Ini merupakan salah satu faktor mengapa daya serap anggaran rendah dan terjadi penumpukan pekerjaan pada akhir tahun.
Dan tidak aneh rasanya ada sebagian rekanan yang memiliki modal tidak mengambil uang muka dan lebih memilih mengambil kredit di bank untuk pembiyaan proyeknya, karena mereka muak dengan birokrasi yang memakan waktu cukup lama. Hal ini tentunya akan memberikan sedikit kerugian kepada pihak rekanan. Namun sikap ini dipilih demi mempertanggung jawabkan pekerjaanya. Sehingga sebagian kalangan rekanan yang tidak mau berlama-lama dengan urusan birokrasi mencari jalan pintas dengan cara mencari "calo" yang ada pada dinas atau lembaga tersebut yang bisa memberikan prioritas urusan yang begitu cepat tanpa hambatan asal maharnya jelas.
Marquardt 2009, dalam bukunya Building the Learning Organization menyebut bahwa budaya organisasi sangat berperan dalam menentukan pencapaian tujuan organisasi dan bisa saja menghambat jika perilaku anggota di dalamnya tidak bisa mencerminkan tujuan dari organisasi itu. Negara dan daerah sebagai sebuah organisasi public memiliki tujuan mulia dalam memajukan kehidupan rakyatnya.
Ironis rasanya jika saja para birokrat berpikiran seperti itu, tentu ada hal yang perlu dipertanyakan, bukankah PNS itu bekerja untuk melayani masyarakat, karena mereka dibayar dan di gaji oleh negara dari uang rakyat? Pertanyaan ini patut kita ajukan kepada penyelenggara negara yang tidak menjalankanya dengan penuh keihlasan dan amanah. Bukankah dulu mereka dilantik dan mengucapkan sumpah tidak ada unsur paksaan. Akan tetapi sumpah jabatan seakan terlupakan demikian saja. Banyak yang menuding tindak tanduk perilaku seperti ini disebabkan perubahan gaya hidup mewah yang seakan menjadi faktor pendorongnya. Hal ini tentu tidak baik untuk perkembangan daerah ke depan.
Para birokrat harus berkaca dari pengalaman dan kegagalan daerah dalam memacu pembangunan dan ketertinggalan. Kita butuh pelayanan yang cepat, tepat dan hemat. Bernard Jones 1996, dalam bukunya Financial in Public Sector menyebut bahwa dalam menyelengarakan negara perlu ada adanya prinsip values for money atau lebih dikenal 3E (efektif,efisien dan ekonomis). Untuk itu diperlukan pelayanan yang bisa memuaskan para pelanggan (customer focus). Rakyat selaku pelanggan merindukan "jalan tol" ketika berurusan dengan para birokrat. Dan bukan malah sebaliknya.
Seandainya ini disadari, dijalankan dan dijiwai dengan penuh amanah oleh para birokrat, maka masyarakat akan merasa puas terhadap pelayanan tersebut. Sehingga tidak adalagi kita mendengar keluhan akan buruknya pelayanan public. Sudah semestinya apa yang telah diucapkan ketika mereka di sumpah menjadi PNS diingatkan kembali. Penulis yakin kualitas pelayanan terhadap masyarakat akan meningkat jika mereka menyadari fungsi dan tugas mereka. Sehingga tidak ada lagi kita mendengar singgoh jak lom, uronyo gob nyan hana tamong (besok datang lagi, hari ini yang bersangkutan tidak masuk-red).
Selanjutnya "Percepatan reformasi birokrasi sangat penting, agar tercipta jajaran aparatur negara yang handal, professional, dan bersih, berdasarkan kaidah-kaidah good governance dan clean government". Itu kalimat yang disampaikan presiden SBY dalam pidato kenegaranya, mungkin SBY mulai gerah dengan lambatnya perubahan birokrasi yang ada di negeri ini. Praktek KKN terbukti telah banyak merusak, menodai dan melukai bangsa ini.
Ketika seseorang memilih jadi PNS maka harus siap dengan segala konsekuensianya, kalau tujuan utamanya untuk memupuk harta kekeyaan , kemewahan dan keuntungan dari tugasnya maka menjadi PNS bukan pilihan yang tepat. Harapan kita para birokrat di daerah Aceh terketuk pintu hatinya dan dapat mengimplementasikan cita-cita negara yang bebas dan bersih dari mentalitas korup.
Marilah kita memulai dari sekarang. Hilangkan peng kopi dan peng-peng lainnya demi kelancaran pelayanan publik dan pembangunan Aceh kedepan yang lebih bermartabat.
http://theglobejournal.com/opini/uang-kopi-perilaku-pengemis-birokrat/index.php
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H