Financial Fair Play adalah aturan yang diterapkan oleh UEFA untuk mengatur keuangan klub sepak bola dalam jangka panjang. Aturan ini bertujuan untuk mencegah klub sepak bola menghabiskan uang lebih dari kemampuan finansial mereka, serta mendorong klub sepak bola untuk menjadi lebih berkelanjutan secara finansial.
Dalam jual beli pemain sepak bola, FFP mengatur bahwa klub sepak bola tidak boleh membeli pemain baru jika mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukannya. Artinya, klub tidak diizinkan untuk mengambil pinjaman besar atau membayar gaji yang terlalu tinggi bagi pemain baru, jika klub tersebut tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya tersebut.
Selain itu, FFP juga membatasi jumlah kerugian yang diizinkan oleh klub sepak bola dalam jangka waktu tertentu. Jika klub melampaui batas kerugian yang ditetapkan oleh FFP, mereka dapat dikenakan sanksi seperti denda atau bahkan diskualifikasi dari kompetisi UEFA.
Dengan menerapkan FFP, UEFA berharap bahwa klub sepak bola dapat lebih bertanggung jawab secara finansial dan menghindari kebangkrutan yang berdampak buruk bagi seluruh industri sepak bola.Â
Selain itu, FFP juga bertujuan untuk menciptakan persaingan yang sehat dan adil di antara klub-klub sepak bola. Dengan mengatur keuangan klub, FFP dapat mencegah klub-klub yang kaya secara finansial untuk membeli banyak pemain bintang dan menguasai kompetisi, sementara klub-klub yang kurang beruntung secara finansial tidak dapat bersaing.
Sejak diberlakukan pada tahun 2011, FFP telah menghasilkan beberapa efek positif bagi dunia sepak bola. Klub-klub sepak bola harus lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan mereka dan mengambil keputusan yang lebih bijak dalam jangka panjang. FFP juga mendorong klub sepak bola untuk mencari sumber pendapatan yang lebih beragam, seperti pengembangan bisnis dan strategi pemasaran, untuk memperkuat keuangan klub.
Namun, FFP juga menuai kritik dari sebagian pihak. Beberapa klub menganggap FFP sebagai penghalang untuk mencapai sukses di level tertinggi, sementara beberapa pengamat sepak bola mempertanyakan efektivitas aturan tersebut dalam mencegah klub sepak bola melakukan pelanggaran.
Beberapa kritikus juga mengatakan bahwa FFP menguntungkan klub-klub yang sudah mapan dan menghambat klub-klub kecil atau yang baru naik kelas untuk berkembang.Â
Hal ini dikarenakan klub-klub yang lebih besar memiliki sumber daya finansial yang lebih besar untuk memenuhi persyaratan FFP, sementara klub-klub kecil atau yang baru naik kelas mungkin kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
UEFA sendiri telah melakukan beberapa perubahan pada aturan FFP sejak awal diberlakukan. Pada tahun 2015, UEFA mengeluarkan versi terbaru dari aturan FFP yang memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi klub-klub sepak bola untuk berinvestasi dan tumbuh. Misalnya, klub sepak bola dapat melakukan investasi pada infrastruktur atau akademi sepak bola tanpa dihitung sebagai pengeluaran yang dikenakan batasan.
Pada tahun 2018, UEFA juga mengumumkan perubahan baru yang akan mulai berlaku pada musim 2019/2020, yang lebih menekankan pada kontrol hutang klub sepak bola dan memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap klub yang melanggar aturan FFP.
Kesimpulannya, FFP merupakan aturan yang penting untuk menjaga keberlangsungan keuangan klub sepak bola dan mencegah pelanggaran keuangan yang dapat berdampak negatif bagi industri sepak bola secara keseluruhan. Namun, FFP juga memiliki kelemahan dan tantangan dalam penerapannya, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan perubahan yang tepat agar aturan ini dapat berjalan lebih efektif dan adil bagi semua klub sepak bola.
Jika dikaitkan dengan globalisasi ekonomi, FFP ini dapat digolongkan ke protectionism. Hal tersebut disebabkan karena diberlakukan pembatasan tertentu terkait jual beli pemain.Â
Dengan pembatasan tersebut tentunya akan menimbulkan efek yang dirasakan bagi klub pembeli dan klub yang menjual. Maka dari itu kebijakan FFP ini nantinya akan berpengaruh pada perekonomian klub maupun perusahaan yang berkaitan. Perusahaan yang terkait tersebut antara lain, sponsor, perusahaan penyiaran, dan lainnya.
Kebijakan pembatasan yang dibuat oleh UEFA ini sebenarnya berfungsi untuk meratakan persaingan terkait keuangan. Tetapi kebijakan ini juga beresiko menimbulkan masalah baru yang akan mengancam perekonomian klub. Sebab dengan FFP klub yang kaya akan lebih berfikir jika akan membeli dengan pengeluaran yang tinggi. Sementara itu klub kecil akan lebih sulit mendapatkan uang apabila klub yang akan membeli pemainnya semakin berkurang maupun dibeli dengan harga murah.
Dengan demikian protectionism melalui FFP justru akan merugikan industri sepakbola dari segi bisnis. Meskipun hal tersebut juga direncanakan sebagai bentuk keadilan bagi klub yang dirasa kurang mampu secara finansial. Resiko dari segi bisnis ini tentunya merugikan terutama bagi klub besar.Â
Klub besar yang seharusnya dapat membeli pemain bintang dengan harga mahal justru terhambat oleh FFP. Sehingga efek yang ditimbulkan dari gagalnya mendatabngkan pemain bintang maka dapat berpotensi menurunkan minat sponsor. Hal tersebut juga dapat mengakibatkan turunnya pendapatan klub tersebut.
Turunnya pendapatan yang disebabkan oleh kebijakan inilah yang membuat FFP sering dilanggar oleh beberapa klub. Karena jika pendapatan mereka turun maka situasi keuangan klub mereka juga berpotensi semakin sulit. Sehingga beberapa klub yang melanggar FFP tetap rela dikenakan sanksi embargo transfer selama periode tertentu daripada harus berkurang pendapatan klubnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H