Belakangan ini, siaran berita di televisi sedang disibukkan dengan maraknya kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Suatu tindakan kekerasan, pelecehan, hingga pengeksploitasian seksual adalah hal yang tidak seharusnya dinormalisasikan atas dasar kekhilafan. Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Ketika perbuatan tersebut dilakukan di pondok pesantren, ini adalah sebuah ironi. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pondok pesantren adalah tempat kita untuk menimba ilmu agama, tempat dimana kita diajarkan moral, etika, hingga pelajaran hidup di dalamnya. Mari kita fokus pada poin ilmu agama. Ilmu agama menjadi ilmu yang memberikan kita batasan serta pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik berdasarkan ajaran Tuhan. Dengan mempelajari ilmu agama, bahkan menjadi seorang pembimbing dalam ilmu agama, sudah sepatutnya mampu menjadi teladan bagi murid-muridnya. Namun, kini kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren justru marak terjadi. Bahkan, oknum yang melakukan perbuatan tersebut tak sedikit seorang guru, bahkan pemilik pondok pesantren. Bagai air di tempayan yang retak, para pelaku terungkap sifat aslinya. Semakin maraknya tindakan kekerasan tersebut menimbulkan rasa kekecewaan yang besar. Bagaimana bisa seorang pembimbing dalam ilmu agama justru melakukan tindakan yang dilarang agama. Lantas masih pantaskah kekerasan seksual dilakukan di lingkungan pondok pesantren?
Menurut penulis, pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam pelaku itu sendiri, seperti halnya nafsu. Bahkan, dalam ajaran agama seringkali nafsu disebut sebagai musuh terbesar manusia di kehidupan ini. Setiap orang pasti diberikan yang namanya hawa nafsu, tetapi kembali lagi kepada kita bagaimana mengendalikan dan mengekspresikannya dengan cara yang tidak merugikan orang lain. Namun, nyatanya masih banyak orang yang memilih untuk memuaskan nafsunya dengan melakukan tindakan kekerasan seksual. Banyak korban yang harus dirugikan, mulai dari merasa trauma hingga kehilangan masa depan. Apalagi, kekerasan seksual kini dilakukan tanpa pandang usia bahkan anak usia balita pun sudah menjadi target pelecehan seksual. Hal ini terlihat dari kemunculan trend “Child Grooming”, yaitu orang dewasa yang mencoba membangun hubungan emosional dengan anak untuk dieksploitasi. Penyebab kemunculan trend ini adalah korban yang masih dibawah umur dan belum mengerti. Sama halnya dengan anak-anak yang menempuh pendidikan di pondok pesantren, mereka yang menghadapi keterbatasan akses komunikasi tidak dapat berbuat apa-apa. Faktor yang dapat memperkuat seseorang melancarkan aksi pemuasan nafsunya adalah relasi kuasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya etika, dimana kita harus menghormati orang yang lebih tua ataupun memiliki jabatan lebih tinggi dari kita. Rupa-rupanya, hal ini justru dimanfaatkan oleh para pelaku. Mereka yang merasa menggenggam kekuasaan lebih tinggi kebanyakan mengiming-imingi korbannya dengan sesuatu yang besar. Contohnya saja diiming-imingi dijadikan POLWAN pada suatu kasus kekerasan seksual pondok pesantren di Bandung, diiming-imingi agar naik kelas dengan nilai yang bagus, dan sebagainya. Kekerasan seksual ini juga terjadi akibat gangguan mental yang mungkin diderita pelaku. Gangguan mental disini juga diartikan sebagai seseorang yang memiliki kelainan cara berfikir sehingga tidak dapat mengontrol kebutuhan seksualnya. Pelaku akan mengeluarkan berbagai jurus-jurus modusnya yang harus kita waspadai. Seperti modus yang dilancarkan guru mengaji di Sumatera Barat, ia menyuruh target santrinya memijat tubuhnya. Bahkan, pelaku juga mengancam jika korban tidak mau melakukannya maka ia tidak akan naik kelas.
Kemudian, faktor eksternal. Pelaku dapat secara leluasa melakukan aksinya sebab kurangnya pengawasan serta ketegasan hukum. Ketidak tegasan hukum ini membuat pelaku tidak khawatir akan konsekuensi yang dihadapinya. Budaya patriarki juga masih menjadi pandangan di masyarakat, termasuk lingkungan pondok pesantren. Posisi kepemimpinan dalam agama didominasi oleh laki-laki, contohnya kyai, ustadz, dan sebagainya yang harus dihormati. Begitupun dalam ajaran agama Islam yang menegaskan bahwa laki-laki adalah calon pemimpin keluarga. Stereotip ini menjadi sebuah kesempatan bagi pelaku untuk memanfaatkan santri-santri yang tidak memiliki kekuasaan. Yang terakhir juga disebabkan karena masalah ekonomi. Banyak yayasan yang membuka program sekolah gratis bagi mereka yang kurang mampu. Namun, disinilah awal mula kasus kekerasan seksual itu terjadi. Yayasan-yayasan tersebut kini menjamur karena kemudahan yang diberikan pemerintah dalam mendirikan lembaga pendidikan serta kurangnya pengawasan pemerintah itu sendiri. Masalah ekonomi ini juga masih terus berlanjut, anak-anak yang berada di pondok pesantren tak jarang juga melakukan proses Ta’aruf berujung pada pernikahan dini. Dimana tidak semua anak yang dinikahkan berasal dari keluarga mampu, yang nantinya berdampak pada ketidaksiapan santri dalam membangun rumah tangga.
Merujuk data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), kasus kekerasan paling banyak adalah kasus kekerasan seksual. Pada tahun 2024, sudah ada 8.863 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Sedangkan, berdasarkan lembar fakta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 27 Oktober 2020, kasus kekerasan seksual di pondok pesantren berada pada peringkat kedua terbanyak setelah universitas. Bahkan, guru dan ustaz berada di peringkat pertama sebagai pelaku kekerasan seksual. Lalu, jika kita tinjau kembali, apakah setiap pelaku kekerasan seksual sudah diberikan hukuman yang setimpal? Oknum kekerasan seksual akan terus muncul apabila negara belum bisa membuat pelaku jera. Indonesia adalah negara hukum, sudah sepatutnya Indonesia menegakkan hukum tersebut dengan tegas tanpa terhalang faktor apapun, baik itu karena jabatan maupun kekayaan, agar pelaku kekerasan seksual mendapatkan efek jera dari perbuatannya. Sebagai generasi muda, kita juga bisa berinovasi menciptakan suatu forum dimana semua santri yang ada di Indonesia akan tergabung dalam program sosialisasi memerangi kekerasan seksual. Terlebih lagi, bagus jika forum tersebut mendapat izin dan perlindungan resmi dari pemerintah, termasuk bantuan bagi santri yang kurang mampu. Dengan program ini, setiap santri yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki fasilitas dalam menyampaikan keluhannya di pondok pesantren, mereka juga akan aktif mengabdikan diri kepada masyarakat di seluruh Indonesia untuk mengsosialisasikan hal tersebut dengan balutan ajaran agama Islam.
Sumber Rujukan :
SIMFONI-PPA. (2024) Data Kasus Kekerasan. Available at : https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
Sumunar, Saras Bening. (2022) Kronologi Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Sekolah SPI, Terdakwa Kini Masih Bebas. Available at : https://www.parapuan.co/read/533370201/kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-di-sekolah-spi-terdakwa-kini-masih-bebas?page=all
Caniago, Halbert. (2024) Kronologi kasus dugaan kekerasan seksual terhadap 43 santri di Agam - Korban mengalami ‘trauma mendalam’ dan stigma. Available at : https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0xjx7nd4vxo
Priyanto, Dedik. (2021) Awal Terbongkar Kasus Herry Wirawan sang Pemerkosa 13 Santri, Kini Menanti Hukuman Mati. Available at : https://www.kompas.tv/nasional/365038/awal-terbongkar-kasus-herry-wirawan-sang-pemerkosa-13-santri-kini-menanti-hukuman-mati?page=all
Alasbrina. (2021) Kronologi Awal Kasus Pemerkosaan 12 Santriwati yang Dilakukan Herry Wirawan. Available at : https://nova.grid.id/read/053037714/kronologi-awal-kasus-pemerkosaan-12-santriwati-yang-dilakukan-herry-wirawan?page=all
Susanto, Kholisin. (2023) Kronologi Perkara Herry Wirawan, Pemerkosa 13 Santri yang Dihukum Mati. Available at :
https://bandung.viva.co.id/news/12345-kronologi-perkara-herry-wirawan-pemerkosa-13-santri-yang-dihukum-mati