HW telah melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual kepada 13 santriwati dengan rentang usia 14-20 tahun. Delapan diantaranya telah melahirkan sembilan bayi, salah satunya melahirkan sebanyak dua kali. Parahnya tindakannya juga dilakukan di lingkungan pesantren dengan iming-iming biaya sekolah gratis dan dijadikan Polisi Wanita (POLWAN).
      Kasus lain yang tak kalah ramai diperbincangkan publik adalah kasus kekerasan seksual di Agam, Sumatra Barat. Kasus ini rasanya sedikit berbeda dengan kasus sebelumnya, karena kasus ini menjadikan santri laki-laki sebagai korbannya. Kekerasan seksual ini dilakukan oleh dua orang pengajar di pondok pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang, yaitu RA dan AA.Â
Keduanya melakukan motif kekerasan seksual yang sama, minta dipijat. Kasus ini mulai terkuak ke publik setelah diterimanya laporan dari keluarga korban pada bulan Juli lalu ke pihak Kepolisian Bukittinggi.Â
Peristiwa ini bermula ketika RA meminta korban untuk memijat punggungnya. Biasanya, para korban diminta untuk memijat pelaku dalam waktu yang lama, tetapi pada saat kejadian, mereka hanya memijat sebentar. Tak disangka, ada maksud lain yang disembunyikan RA, iapun melakukan tindakan tak senonoh tersebut.Â
Korban sempat melawan, tetapi korban menerima ancaman tidak akan dinaikkan kelas, sehingga korban hanya bisa terdiam. Tak hanya itu, korban juga diminta agar bersumpah atas nama Allah untuk tidak membocorkan apa yang dialaminya kepada siapapun. Korban sempat meminta kepada orangtuanya untuk pindah dari asrama pondok, tetapi orangtuanya tidak memberinya izin. Kejadian kembali terulang, RA kembali melancarkan aksinya dengan modus yang sama.Â
Tak tahan dengan perlakuan dan ancama yang diterimanya, korban pun menceritakan apa yang dialaminya kepada orangtuanya. Setelah keluarga korban mengetahui hal ini, dibuatlah laporan di Kepolisian Bukittinggi. Namun, RA sempat menyangkal perbuatannya. Setelah dilakukan penyelidikan, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.Â
Aksi kekerasan seksual yang dilakukannya terkuak, total 30 santri laki-laki menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada pengajar pesantren lain yang juga melakukan aksi yang sama, yaitu AA. AA telah melakukan aksi pelecehan seksual kepada 10 santri laki-laki lainnya. Keduanya mendapat vonis hukuman 15 tahun penjara.
Â
Berkaca dari kedua kasus diatas, masing-masing dari kita kini mulai mempertanyakan keamanan lembaga pendidikan seperti pesantren. Mungkin beberapa dari kita juga sedang menempuh pendidikan di pesantren. Bagaimana perasaan kalian setelah mengetahui berita-berita tersebut? Apa yang kalian pikirkan? Kasus yang terjadi dapat diketahui publik berkat keberanian korban dalam menyuarakan apa yang dialaminya.Â
Pelecehan seksual bukanlah kejadian yang dapat dilupakan dengan mudah, korban yang mengalami kekerasan maupun pelecehan seksual akan diselimuti rasa trauma, takut, bahkan malu. Beberapa dari korban tidak ingin mengungkap apa yang dialaminya karena menganggap itu sebagai aib.
 Apalagi jika kekerasan seksual tersebut terjadi di dalam pondok pesantren yang tertutup, maka akan sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Jauhnya korban dengan lingkungan keluarga juga menjadi salah satu faktor rentannya terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren.Â