Araya Rahmadani, 03 Oktober 2024
Belakangan ini, siaran berita di televisi sedang disibukkan dengan maraknya kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Suatu tindakan kekerasan, pelecehan, hingga pengeksploitasian seksual bukanlah hal yang wajar. Kekerasan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Ketika perbuatan tak wajar tersebut dilakukan di pondok pesantren, ini adalah sebuah ironi.Â
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pondok pesantren adalah tempat kita untuk menimba ilmu agama, tempat dimana kita diajarkan moral, etika, hingga pelajaran hidup di dalamnya.Â
Mari kita fokus pada poin ilmu agama. Ketika kita berada di lingkungan pondok pesantren, maka kita diharuskan untuk mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup, bahkan dikhususkan mengenakan busana muslim. Dari segi pakaian saja, sudah memperlihatkan jika pondok pesantren pastilah mengajarkan kita agar selalu berperilaku sopan.Â
Tidak lupa, jika kita menimba ilmu di pondok pesantren dapat dipastikan kita dibiasakan untuk selalu melaksanakan ibadah salat secara berjamaah, mulai dari salat 5 waktu hingga salat sunnah yang lainnya. Ilmu agama adalah ilmu yang memberikan kita batasan serta pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik.Â
Dengan menganut adanya ilmu agama, apalagi mendalami, bahkan menjadi seorang pembimbing dalam ilmu agama, sudah sepatutnya mampu menjadi teladan bagi murid-muridnya. Namun, kini kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren justru marak terjadi.Â
Bahkan, oknum yang melakukan perbuatan tersebut tak sedikit seorang guru, bahkan pemilik pondok pesantren. Bagai air di tempayan yang retak, para pelaku kekerasan seolah terungkap sifat aslinya. Semakin maraknya tindakan kekerasan tersebut menimbulkan rasa kekecewaan yang besar. Bagaimana bisa seorang pembimbing dalam ilmu agama justru melakukan tindakan yang dilarang agama. Lantas masih pantaskah kekerasan seksual dilakukan di lingkungan pondok pesantren?
      Salah satu kasus yang sempat menjadi pusat perhatian publik adalah kasus pelecehan pendiri Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda di Antapani Tengah, Bandung. HW, pelaku kekerasan seksual yang dialami 13 santriwati, juga mendirikan Madani Boarding School di Cibiru, serta Pondok Pesantren Tahfidz Madani di Sukanegara, Antapani Kidul. Kasusnya terkuak pada tahun 2021 lalu. Bertepatan dengan Perayaan Hari Raya Idul Fitri, maka santri-santri HW pulang ke rumahnya masing-masing. Namun, salah satu korban yang kembali kerumah, mengalami perubahan perilaku. Korban menjadi pendiam, tidak nafsu makan, hingga terus menangis.
Hingga pada akhirnya korban pun menceritakan bahwa ia menjadi salah satu korban kekerasan seksual HW. Keluarga semakin terkejut ketika mengetahui bahwa korban tengah hamil. Setelah keluarga korban mengetahui hal itu, mereka langsung melaporkan kejadian ini ke Polda Jawa Barat.Â
Tepatnya pada bulan Mei 2021 lalu. Kepolisian bertindak cepat dengan melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, sehingga tak lama kemudian 12 korban lain ikut melapor ke Polda Jabar atas tindakan yang sama. Setelah melalui banyak penyelidikan, kasus HW sampai ke meja hijau pada 16 Desember 2021, untuk melakukan pemeriksaan saksi, dihadirkan 21 orang sebagai saksi dari kasus tersebut.Â
Pada persidangan, HW mengakui seluruh perbuatannya dan meminta maaf pada korban serta keluarganya. HW mengaku ‘khilaf’ saat melakukan tindakan kekerasan tersebut. Vonis hukuman mati dan denda senilai 300 juta lebih dijatuhkan kepada HW karena perbuatannya dianggap dilakukan secara terus menerus dan terstruktur.Â