SBY dalam jumpa pers di Kopenhagen, Denmark, di sela acara KTT Perubahan Iklim, Jumat (18/12), yang ditayangkan langsung Metro TV menyempatkan diri untuk mengatakan menolak penonaktifan boediono dan sri mulyani. SBY mengakui, sekarang ini terjadi desakan tentang Wapres Boediono dan Menkeu, apakah mereka non-aktif, dinon-aktifkan atau men-nonaktifkan diri sendiri. ''Saya menghormati Pansus Angket Bank Century, agar Angket yang dilakukan oleh Pansus berjalan dengan baik,'' ucap Presiden di sela konferensi di Konpenhagen, pukul 20.00 waktu setempat. Beberapa jam sebelum menyampaikan tanggapan terkait penonaktifan Boediono-Sri Mulyani, Presiden SBY mengaku telah berkomunikasi dengan kedua pejabat negara itu. Menurut SBY, baik Boediono maupun Sri Mulyani sanggup untuk menjalankan roda pemerintahan serta memberikan keterangan jika dipanggil Pansus. "Kedua beliau sanggup untuk jalankan kedua-duanya, dan sanggup menjalankan kegiatan ekstra dengan keadaan seperti ini," jelas Presiden. Apa yang dilakukan sby ini di sela-sela kesibukannya juga menandakan bahwa pada saat bailout century tentu sby juga melakukan komunikasi dengan boediono dan sri mulyani, jelasnya sby mengetahui atau merestui proses bailout century. Kemudian, SBY menjelaskan mengapa Wapres Boediono tidak bisa dinonaktifkan. Alasan dia, dalam UUD 1945 tidak mengenal nonaktif atau pemberhentian sementara. Konstitusi secara gamblang sudah menjelaskan pengaturan pengangkatan dan perberhentikan baik presiden maupun wapres. Begitu pula dengan pejabat negara dalam hal ini menteri. Ia pun menambahkan, seorang menteri bisa diberhentikan jika berstatus sebagai terdakwa, diancam hukuman penjara 5 tahun atau lebih, dan menjalani proses peradilan. Melihat yang dihadapi Sri Mulyani, kata Presiden, tidak dalam kondisi demikian. Pernyataan sby ini dianggap sebagai sikap reaksioner, anggota pansus M Romahurmuzy, anggota Pansus Century dari PPP, menilai Presiden SBY terlalu berlebihan dalam menyikapi imbauan penonaktifan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani. Imbauan pansus belum menyentuh yurisdiksi Presiden. Romahurmuzy menjelaskan, berhentinya pejabat yang dimaksud pansus adalah atas kesadaran penyelenggara negara. Sementara pejabat-pejabat negara dimaksud belum merespons imbauan angket. Terkait dasar hukum penonaktifan diri tersebut, politisi PPP ini menegaskan sudah tertuang dalam UU 39/2008 tentang kementerian negara. "Prosedur ketatanegaraan menonaktifkan diri untuk pejabat-pejabat terkait sangat jelas, di antaranya UU 39/2008 tentang kementerian negara yaitu analogi pasal 24 ayat 2 huruf a. Adapun Wapres hanya bisa berhenti permanen, dan itu diatur di pasal 7 A, dan 7 B UUD '45,". Pernyataan tersebut juga bersikap diskriminatif karena mendorong pembangkaangan moral penyelenggara negara lainnya di luar Wapres dan Menkeu terhadap imbauan panitia angket. Sikap reaksioner ini ditengarai terjadi karena sby merasa kesal mendengar semua anggota pansus termasuk partai koalisi dan FPD menyetujui imbauan pansus penonaktifan bagi yang terlibat. Dari sikap ini sby terlihat bersikap mendua, salah satu sisi selalu memberikan pernyataan untuk mengusut tuntas, namun pada sisi lain malah selalu mewarning kerja pansus, terkesal abal-abal. Jika sby serius dengan pengusutan ini seharusnya sby menghimbau menkeu dan PPATK agar mau memberikan data-data yang dibutuhkan pansus century, sehingga dengan demikian persoalan ini tidak berlarut-larut. Akhirnya saya hanya mampu bertanya dalam hati, sby maunya apa dengan negeri ini ? Kapankah sandiwara ini berakhir ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H