[MIRROR] Dark Night
by Ila Rizky Nidiana(No 22)
Aku berdiri di sudut ruang. Tubuhku terdiam menyentuh dinding apartemen yang mulai dingin. Bau anyir menyeruak di sekitarku. Sesekali pandangan kuarahkan ke sudut lift dekat pintu yang terbuka, kulihat noda darah tercecer. Sebuah pisau jatuh berdenting di dekat sepatu  lelaki itu. Mataku awas mengamati gerak seseorang di sampingnya.
"Pisahkan barang-barangnya. Bawa ke atas. Cepat!"
Sreett sreett... suara benda ditarik perlahan menghancurkan kesunyian malam. Benda itu tubuh seseorang yang bersimbah darah.
Aku terdiam, gugup. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali diam di tempatku berdiri saat ini. Tubuhku gemetar.
***
Aku menemui seseorang di café ujung jalan. Remang-remang cahaya penerangan di café membuatku tak dapat melihat jelas wajahnya. Kuamati wajahnya dan menggumamkan pelan namanya. Ia segera menyadari keberadaanku. Kami duduk berbincang dan memesan kopi. Kuamati sejenak perempuan di hadapanku, bimbang. Jemari lincahnya yang putih itu merapikan roknya. Ia merapatkan dagunya ke dada. Lalu aku menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
"Aku menemukan seseorang yang mirip Anna."
"Benarkah?" Suaranya bergetar. Ia berkata dengan suara yang dalam dan parau. Aku mengangkat bahuku yang kurus.
"Aku mengelilingi apartemen yang kosong itu." Suaraku mengalihkan pandangannya. Ia terdiam sejenak lalu meraih secangkir kopi yang sudah terhidang. "Dan menemukan seseorang membunuhnya malam itu."
Hening. Tak ada suara. Tidak ada gerakan. Kami terdiam dalam pikiran masing-masing.
***
Malam ini 2 minggu setelah kematian Anna, saat aku melepon ke rumah Mey, Mey mengatakan melihat sosok mirip lelaki yang kugambar sebagai mafia gangster. Aku bergidik membayangkan lantai lift yang bernoda darah. Pesan Anna masih kuingat. Dia menitipkan map berisi info data diri korban penembakan di suatu kota oleh sekelompok orang itu. Anna adalah seorang mantan intel yang memberontak. Kuamati satu persatu data. Kulihat nama Meyrose dalam daftar target berikutnya. Aku kaget.
"Mey?? Meyrose?!"
Kutelepon rumahnya. Aku mendengar beberapa dering tak teratur di ujung telepon, lalu suara mesin penjawab. Suara perempuan dalam bahasa inggris yang cepat.
"Dia datang, Hans."
"Apa maksudmu?" tanyaku, membatu.
Ada sesuatu dalam suaranya, paraunya, yang membuatku takut.
"Lelaki berjenggot yang kau lihat itu," ulangnya, suaranya sayup dan aneh,"Dia kembali."
Mey berhenti bicara. Mataku yang sayu menerawang keluar, ke arah jalanan.
Aku bertanya-tanya apakah aku masih mempedulikan apa yang dipikirkan Mey. Pikiran yang tak menentu itu membuatku takut. Pikiran yang mencemaskan itu menakutkanku. Tidak ada suara. Tidak mungkin.
***
Aku berjalan sendirian di lorong apartemen. Kulihat di luar toko-toko mulai menutup jeruji besinya, dan memasang papan tanda berbunyi TUTUP SELAMA LIBURAN, BUKA KEMBALI DUA JANUARI. Satu mobil berisi 3 orang lelaki berjalan cepat di udara kota yang dingin. Aku kaget melihat barisan lelaki itu berjalan mendekat ke arahku.
"Tiarap! Cepat!"
"Apa yang kalian lakukan?" Tanyaku.
Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba tubuhku limbung. Desingan peluru memisahkan ragaku. Darah berhamburan di balik selongsong peluru. Noda darah memeleh di bibirku. Juga seluruh tubuhku.
"Apa yang harus kita lakukan?" Sergah lelaki tua berjenggot itu.
"Membuangnya dan menghapus jejaknya. "
Tubuhku ditemukan terbujur kaku di jalanan kota Paris yang tertutup salju tebal tepat satu malam sebelum tahun baru. Seluruh kota gempar dengan ditemukannya mayat korban pembunuhan berantai.
***
(Jumlah kata 493 kata-tanpa judul)
Semarang, 121211, 15:24
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H