Jelang Pemilihan Daerah (Pilkada) wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel), penting untuk memperkuat, maupun mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pers, karena tidak sedikit masyarakat yang menganggap berita-berita yang disajikan media massa hanyalah rekayasa atau kebohongan. Sehingga gaung media massa mulai dipertanyakan publik, "Masihkah pers menjadi pilar ke-4 demokrasi?".
Karena hal inilah, Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilihan Umum Persatuan Wartawan Indonesia (MAPPILU PWI) mengelar seminar "Peran Pers Mengawal Pemilu Yang Bermartabat", pada Senin siang, 14 September 2020, bertempat di Gedung PWI Kalsel, di Jalan Banua Anyar Banjarmasin.
Paparan seminar disampaikan oleh Ketua MAPPILU PWI, Suprapto Sastro Atmojo. Mappilu PWI adalah organisasi yang memiliki kegiatan pemantauan, pendidikan, advokasi, penelitian, dan sosialisasi terkait Pemilu (Pilkada). Mappilu juga terlibat dalam pendidikan, pelatihan, sosialisasi, dan advokasi terkait pemilu kepada anggota dan masyarakat umum.
Acara seminar dihadiri langsung Ketua PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, Ketua PWI Kalsel, Zainal Hilmi, dan beberapa tokoh pers lainnya, serta turut hadir Gubernur Kalsel, H Sahbirin Noor dengan panggilan akrab paman Birin.
Dalam pemaparannya, Surapto Sastro Atmojo mengajak setiap insan pers untuk tetap bisa memberikan sebuah informasi yang akurat, mengenai perkembangan dari seluruh rangkaian Pilkada. Tidak hanya memberikan informasi, tapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat, agar tetap mengedepankan keselamatan di era pandemi Covid-19 saat ini.
Surapto Sastro Atmojo menjelaskan bahwa Mappilu PWI akan menjaga dan mengawal Pemilu yang sehat dan berbudaya, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera, bermartabat, beretika, dan berketuhanan. Output produk pers adalah tulisan/gambar/foto/karikatur yang taat pada KEJ dan UU Pers.Â
Kontrol atau pengawasan yang dilakukan Mappilu, seperti laporan penyimpangan, atau pengaduan yang disampaikan kepada KPU, Bawaslu, atau pihak berwenang lainnya dan bisa juga diberitakan oleh insan pers.
Menurutnya, Pers merupakan pilar keempat demokrasi sebagai Wacthdog (penjaga) atau pengawas atau pengawal dari demokrasi untuk Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Pers mesti tidak masuk dalam sistem politik/pemerintahan, tapi mempunyai kekuatan sosial politik, mempengaruhi kebijakan dan mengontrol untuk kesejahteraan rakyat.
Ajakan dari Surapto Sastro Atmojo kembali dipertegas oleh Ketua PWI Kalsel, Zainal Helmie dalam sambutan, bahwa media penyedia berita dalam bentuk apapun, baik cetak, elekronik, radio maupun televisi harus bisa memberikan informasi yang akurat dan berimbang mengenai suatu kejadian. Termasuk informasi mengenai Pemilu Serentak yang akan dilaksanakan pada 9 September 2020 mendatang.
Terkait pelaksanaan seminar saat pandemi Covid-19, Zainal Helmie beralasan kegiatan ini sudah menjadi agenda dari PWI Kalsel, dan karena tingkat penularan Covid-19 di Banjarmasin sudah mulai melandai, maka berani untuk melaksanakan kegiatan.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, dalam sambutannya mengaku sangat mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan oleh PWI Kalsel ini. Karena peran pers dalam mengawal proses demokrasi sebuah Pilkada yang bermartabat, merupakan suatu hal yang luar biasa, dengan hadirnya insan pers yang memberikan informasi dan edukasi terhadap masyarakat, maka akan melahirkan pemilih yang cerdas.
Bagi Paman Birin, Pemilu yang berartabat bisa tercipta dengan adanya saling menghormati, saling asah, asih dan asuh untuk kepentingan bermasyarakat, bangsa, negara terutama agama. Karena media atau insan pers merupakan penyambung komunikasi dari seorang pemimpin kepada masyarakatnya, begitu pula sebaliknya.
"Semoga Pers di Kalsel, bisa memberikan inspirasi kepada mainset atau cara berpikir masyarakat kita, untuk menjadi pribadi cerdas dalam memilih pemimpin yang bisa membawa masyarakatnya ke arah kemajuan sesuai dengan yang diharapkan, karena dunia tanpa pers sama dengan sayur tanpa garam," ucapnya mengakhiri sambutan.
Sementara itu, dalam wawancara dengan Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, mengatakan, "Jika kita ingin melahirkan Pemilu yang bermartabat dan berintegritas, maka salah satu kuncinya ada di insan pers," ungkapnya.
Ia menyebutkan perbandingan dengan Pilpres yang dilakukan Amerika Serikat, beruntung kebebasan pers yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini masih terkendali. Pasalnya di Amerika Serikat, hanya sebanyak 39% masyarakatnya percaya berita yang dilansir setiap media itu benar, tapi 47% warganya mendustakan seluruh pemberitaan.
"Kita jangan sampai begitu, sehingga kita berharap supaya publik melihat pers itu benar-benar percaya dengan informasi yang disampaikan setiap media. Sehingga kita harus menjaga kenetralan sebuah media, tidak hanya dimanfaatkan oleh salah satu calon saja. Peran-peran inilah yang akan kita dorong dengan hadirnya Mappilu PWI ini," terangnya.
Memang, ketika masyarakat tidak percaya dengan pers, tentu saja akan sangat berimbas dengan Pilkada, yang akhirnya juga akan berimbas dengan kepala daerah terpilih, pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat pun akan terhambat.
Namun, kenyataannya pada akar rumput sebagian masyarakat, terjadi ketidakpercayaan terhadap pemberitaan. Ketidak percayaan semasyarakat terhadap pers bukanlah tanpa sebab. Kita sudah melihat bagaimana kondisi Pemilu, Pilpres dan Pilkada dari 2014 hingga 2019.Â
Suasananya tidak menyenangkan, masyarakat terpecah belah, saling bertentangan, bahkan ada yang saling caci maki. Berita-berita bohong bertebaran, serta isu-isu manipulatif menjadi menu harian masyarakat melalui media sosial, baik yang dibuat secara perorangan, maupun yang diproduksi oleh media pemberitaan yang tidak jelas.
Tapi tidak semua kekisruhan itu disebabkan oleh oknum-oknum provokator atau oleh media-media pemberitaan yang tidak jelas, terkadang juga dilakukan oleh oknum insan pers itu sendiri maupun oleh media pemberitaan resmi. Ada yang karena ketidaknetralan dan ada yang karena bayaran.Â
Bahkan ada pula yang fanatik memberikan dukungan kepada kebebasan berekspresi dan berpendapat, sehingga semua informasi dan data begitu saja dengan gamblang disampaikan kepada publik, tanpa saringan dan bijak dalam pemberitaan.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan berarti sebebas-bebasnya, karena bila dibiarkan sebebas-bebasnya, yang ada hanyalah masalah. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, harus mempunyai rem dan saringan melalui etika dan adat budaya.
Terkadang sebuah informasi dan data, harus disampaikan pada saat dan waktu yang tepat, walau pun tertunda hingga beberapa waktu. Terkadang, penyampaiannya harus dengan kalimat yang halus. Karena bila tidak, maka akan menimbulkan konflik dan pertentangan yang tajam di masyarakat, bahkan bisa membahayakan keamanan masyarakat dan negara itu sendiri.
Seringkali kita hanya mengingat 5W+1H, yaitu What (apa), Where (dimana), When (kapan), Who (siapa), Why (mengapa) dan How (bagaimana). Tapi melupakan "1S (Security) dan 1T (True)". Security yaitu aman bagi pewarta, aman bagi masyarakat, dan aman bagi negara.Â
True yaitu kebenaran yang disampaikan pada waktu yang tepat, agar tercipta keselarasan dan kesejukan dalam masyarakat. Sehingga peran sebagai Watchdog benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik dan bijak!
Jangan sampai, garam yang seharusnya menjadi penyedap masakan, malah menjadi terasa pahit.
by ARAska Banjar
Sumber :
https://web.facebook.com/lulungkanglantingbanjar/photos/a.121947829636595/127850445713000
https://web.facebook.com/lulungkanglantingbanjar/
@lulungkanglantingbanjar
#LulungkangLantingBanjar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H