Mohon tunggu...
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR
ARASKA ARASKATA ARASKA BANJAR Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

A.Rahman Al Hakim, nama pena ARAska ARASKata ARASKA Banjar. Profesi Jurnalis di Kalsel, Pelaku seni, Aktivis Lingkungan dan Aktivis Seni Budaya Sosial Pendidikan, serta menjadi Terapis di Lanting Banjar Terapi. Domisili di Banjarmasin, Kalsel. Facebook araska araskata. Email araska.banjar@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mamanda Berusaha Bertahan Menapak Zaman

12 Juni 2015   23:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto - Sebagian dokumentasi ARAska Banjar saat liputan di Taman Budaya Kalsel di Banjarmasin)

 

Kalau tidak berani melakukan inovasi, akhirnya kesenian tradisi kita, akan kalah bersaing dengan kesenian modern.

Perkembangan zaman dan semakin beragamnya etnis di Kalsel, akan mempengaruhi kesenian daerah. Bertambahnya etnis pendatang dari luar Kalsel, yang sudah pasti membawa kesenian daerah mereka sendiri, maka harus disikapi dengan bijaksana.

Apabila orang Banjar tidak menyikapi hal ini, ada kemungkinan kesenian tradisional Banjar, tergeser kepopulerannya di daerah sendiri. Sehingga lambat laun semakin terlupakan, dan hanya menjadi catatan sejarah.

 Mamanda adalah salah satu kesenian tradisional Banjar, yang kini terus berusaha mengeksiskan dirinya. Kesenian mamanda sudah lama berkembang di Kalsel, terutama di perdesaan. Alur ceritanya gampang disesuaikan dengan keadaan sehingga cocok untuk ditampilkan dalam berbagai perayaan seperti pesta perkawinan, panen, maupun hari-hari besar lainnya. Pada masa kerajaan Banjar, kesenian Mamanda sangat populer.

Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional masyarakat Banjar. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan lenong (kesenian Betawi), dan ludruk atau ketoprak (pada masyarakat Jawa), karena adanya kontak komunikasi yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu, yang dapat membuat suasana jadi lebih hidup.

Dalam sebuah perbincangan dengan beberapa tokoh budaya Banjar, yang antara lain yaitu Mukhlis Maman dan Sirajul Huda, keduanya senada mengungkapkan pentingnya menjaga kelestarian seni tradisi, salah satunya adalah Mamanda.

 

Sejarah Mamanda

Istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja.

Mamanda secara etimologis terdiri dari kata mama (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan nda yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu sapaan kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.

Tradisi cerita dalam Mamanda, selalu menghadirkan tokoh tetap seperti wajir, mengkubumi, sultan, panglima perang, perdana menteri, permaisuri, puteri raja, pangeran, pengawal kerajaan, hadam, jin, inang, perampok dan orang kampung. Nuansa cerita seputar kerajaan inilah yang menjadi ciri khas dari mamanda, sehingga seperti menjadi sebuah pakem.

Ciri khas lain adalah pada busana para pemain, musik pengiring seperti gendang panjang (babun), sebuah gong kecil (kempol), dan sebuah biola (piul). Musik ini, sebagaimana sandiwara, digunakan untuk mengiringi tembang dari sultan, atau hulubalang maupun dalam persembahan lagu yang diselenggarakan di istana. Kadang-kadang mamanda juga diselingi dengan lagu-lagu keroncong, atau irama melayu dari penyanyi dan grup orkes yang menyertai pementasannya.

Dari beberapa sumber lain menceritakan, bahwa Mamanda yang cikal bakal kelahirannya berasal dari datangnya rombongan pedagang bangsawan Malaka di abad ke-18, ke tanah Banjar pada 1897. Rombongan ini juga memperkenalkan bentuk kesenian baru, yang bersumber dari syair Abdul Muluk Kedatangan rombongan ini dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa.

Pada awalnya oleh masyarakat Banjar pada waktu itu, kesenian ini di beri nama Komedi Indra Bangsawan. Kemudian karena persinggungan kesenian lokal di Banjar, melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk.

Hingga kesenian ini terus berkembang pada lagenda rakyat, cerita rakyat bahkan cerita kekinian. Sesuai perkembangan zaman, istilah Badamuluk pun berganti dengan sebutan Bamanda atau Mamanda.

Selanjutnya, sesuai dengan kondisi daerah masing, Mamanda berkembang menjadi dua jenis, yaitu Mamanda Pariuk, dan Mamanda Tubau.

Mamanda yang masih menggunakan penampilan tradisional ada pada Mamanda Pariuk. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu keroncong, atau irama melayu dari syair Arab, serta ada tari-tarian.

Cerita yang digelar seperti hikayat Si Miskin, hikayat Marakarna, hikayat Cindera Hasan dalam cerita 1001 malam. Mamanda Periuk penyebarannya di daerah sungai, sehingga disebut juga Mamanda Batang Banyu atau Mamanda Margasari.

Untuk Mamanda Tubau agak lebih menyesuaikan zaman, lagu yang dibawakan bisa saja lagu-lagu dangdut. Cerita yang digelar menyesuaikan dengan kondisi kekinian, atau narasi dengan carang kanda (cerita karangan sutradara), walau masih bersetting kerajaan, namun kostum pemain tidak terlalu baku. Sedangkan struktur pertunjukan, menggunakan kata sambutan dari pemimpin.

Mamanda Tubau menyebar di daerah daratan, berawal di Kampung Tubau, Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Kini, agar kesenian tradisi tetap lestari, maka inovasi dan kreasi pada kesenian tradisi Banjar, merupakan suatu sikap yang harus diambil, oleh pelaku seni tradisi Banjar.

Inovasi bukan berarti secara total menghilangkan akar, dan ciri khas dari kesenian tradisi tersebut, namun memberikan warna baru pada tampilan. Kesegaran baru yang pada akhirnya, menimbulkan kegairahan dan rasa inginn tahu dari generasi muda, pada tradisi yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun