Mohon tunggu...
Rae Arani
Rae Arani Mohon Tunggu... -

There's nothing new under the same sun.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Seharusnya Koalisi Dibentuk?

16 April 2014   07:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau mendasarkan pada perhitungan cepat, hanya ada 3 partai yang potensial memimpin koalisi, PDIP, Golkar, dan Gerindra. Calon presidennya juga sudah jelas, Joko Widodo, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto. Ini sudah dikunci, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalaupun mau berubah, butuh pergolakan besar di internal partai masing-masing.

Suara Partai, (Belum Tentu) Suara Rakyat

Memilih presiden adalah bagian yang mudah. Paling banyak cuma 5 pasangan – asumsinya, setiap calon presiden diusung oleh 20% kursi DPR RI. Bandingkan dengan memilih wakil rakyat. Jumlah partainya 12, masing-masing partai bisa ada 7 kandidat, kalau ditotal bisa ada 84 pilihan. Itu baru untuk satu kertas suara. Padahal kertas suaranya ada 4, DPR RI, DPRD I, dan DPRD II. Siapa yang tidak pusing?

Memilih presiden adalah memilih orang, bukan memilih partai politik. Pilihan partai politik dan presiden seorang pemilih sangat mungkin berbeda. Maka dari itu, membentuk koalisi yang fix, seharusnya menjadi hal yang tidak terlalu penting. Hal yang krusial adalah bagaimana memajukan calon presiden jagoannya.

Selama ini media dan pengamat sibuk mengutak-atik kombinasi suara partai, hingga menimbulkan pesan yang missleading bahwa semakin besar suara partai yang didapat, maka semakin besar pula kemungkinan pasangan calon presiden-wakil presiden tersebut menang. Padahal tidak seperti itu membacanya. Untuk mendongkrak suara, kombinasi presiden-wakil presiden lah yang menjadi kuncinya, bukan persentase suara yang didapat masing-masing partai.

Sangat mungkin seorang pemilih partai A akan memilih calon presiden yang berbeda dengan yang diusung partai A tersebut. Menghitung kemungkinan seorang calon presiden menang tidak bisa dihitung dengan perolehan suara partai. Koalisi partai A (15% suara) dengan partai B (6% suara) belum tentu menghasilkan 21% suara. Mungkin hanya PKB dan PKS yang bisa mengangon suara konstituen sesuai keinginan elitnya.

Belum lagi komposisi suara nantinya juga akan dipengaruhi oleh mereka yang tidak memilih pada pemilihan legislatif, namun akan memilih pada pemilihan presiden. Ingat, memilih presiden adalah bagian yang paling mudah. Suara Golongan Putih akan mengecil. Tingkat partisipasi masyarakat akan meningkat. Maka dari itu, gabungan suara partai hanya penting untuk mencapai electoral threshold.

Kekhawatiran akan timbulnya gangguan dari pihak oposisi di parlemen kelak jika tidak membuat koalisi sedini mungkin sungguh tidak beralasan. Ketika presiden sudah ditentukan kelak, bukan tidak mungkin partai pengusung calon presiden yang kalah berpindah haluan dan bergabung dengan koalisi pemenang. Jangan tutup pintu koalisi terlalu cepat. Pemenanglah yang akan menentukan siapa kawan dan siapa lawan.

Deklarasikan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Segera!

PDIP dengan Partai Nasional Demokrat yang telah secara terbuka menyatakan berkoalisi harusnya sudah bisa memajukan pasangan calon presiden berikut wakilnya. Tidak perlu menunggu partai lain berlabuh. Ingat, pilihan partai belum tentu diikuti oleh pengikutnya.

Langkah serupa harusnya juga bisa diikuti oleh Golkar maupun Gerindra. Golkar dengan Hanura yang roman-romannya akan bersinergi juga harus segera mendeklarasikan pasangan calon presiden dan wakilnya. Sementara Gerindra harus segera mencari tambalan sekitar 8-10% suara dulu untuk mencapai electoral threshold.

Memilih calon wakil presiden adalah titik kritis bagi tiap calon presiden. Elektabilitas tinggi yang dimiliki Joko Widodo dan Prabowo Subianto bisa runtuh seketika jika memilih calon wakil presiden yang bermasalah.

Calon-calon presiden yang ada saat ini sudah memiliki resistensi. Joko Widodo dianggap tidak amanah dengan jabatan Gubernur Jakarta-nya. Aburizal Bakrie masih terpasung dengan Lumpur Lapindo. Prabowo Subianto masih harus membuktikan dirinya tidak bersalah dalam kasus penculikan aktivis di medio 90-an.

Dari sekian banyak nama yang disebut-sebut bakal menjadi calon wakil presiden, Mahfud MD adalah nama yang paling menjanjikan. Sebagai pribadi, ia memang tidak setenar Jusuf Kalla, namun Mahfud MD bisa dibilang calon wakil presiden yang memiliki resistensi paling kecil dari rakyat. Belum lagi dukungan Nahdiyin yang lumayan besar di belakangnya.

Sebagian orang menganggap Jusuf Kalla terlalu tua, Hatta Rajasa menteri gagal, Gita Wirjawan antek liberal, Dahlan Iskan jago pencitraan doang, Hidayat Nur Wahid tersandung sentimen anti-PKS, Muhaimin Iskandar dianggap pengkhianat, Rhoma Irama.. ah, please deh.. Nah, opini-opini seperti ini tidak ditemukan pada seorang Mahfud MD. Maka dari itu, menggandeng Mahfud MD sebenarnya adalah pilihan paling aman.

Calon wakil presiden yang tepat akan mengurangi beban Tim Sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut untuk meng-counter berita miring mengenai calon wakil presidennya.

Pilihan nama untuk wakil presiden (yang berkualitas) sebenarnya tidak terlalu banyak. Mengunci nama wakil presiden yang tidak bermasalah menjadi penting. Kalau tidak cepat dikunci, bisa keduluan dipinang calon presiden yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun