Mohon tunggu...
Rae Arani
Rae Arani Mohon Tunggu... -

There's nothing new under the same sun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memantaskan Diri DPRD

1 Oktober 2014   17:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:48 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Palu sudah diketuk. Pemilihan Kepala Daerah akhirnya dikembalikan kepada DPRD. Ada yang puas, banyak juga yang tidak. Kalau ditelisik, kekhawatiran utama dari mereka yang tidak puas adalah ketidakpercayaan atas DPRD.

Sebagian ketidakpercayaan ini, justru datang dari mereka yang pada pemilu legislatif lalu mengkampanyekan aksi "Jangan Golput". Mereka yang mengkampanyekan untuk memilih, justru sekarang tidak percaya dengan pilihan mereka.

Bukan tidak beralasan jika anggota DPRD yang baru dilantik sudah dicibir. Selama ini banyak cerita miring tentang anggota DPRD. Apalagi ditambah maraknya berita anggota DPRD menggadaikan SK Pengangkatan. Jangan salahkan masyarakat jika kemudian menjadi skeptis.

Kualitas anggota DPRD tidak cukup ditentukan oleh pemilih yang pro-aktif mencari informasi calon wakilnya. Dengan sistem sekarang, seorang pemilih bisa dihadapkan pada tujuh puluh sampai delapan puluhan nama calon legislatif untuk dikerucutkan menjadi satu pilihan. Proses ini harus diulang tiga kali, untuk DPRD II, DPRD I, dan DPR-RI. Belum lagi harus memilih anggota DPD yang juga tak kalah banyak.

Proses penyaringan ini amat membosankan. Terlalu banyak pilihan membuat pemilih sulit menentukan pilihan. Wajar jika kemudian banyak yang asal memilih atau bahkan golput.

Pada 2019 nanti, pemilihan legislatif akan digabung dengan pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Ibarat pertandingan tinju, pemilihan legislatif hanya akan menjadi partai pembuka. Jauh kalah menarik dibandingkan partai utamanya, yaitu pemilihan presiden. Maka dari itu, aturan main harus diubah.

Mengubah aturan main ini amat penting karena rentetannya akan panjang. Salah memilih anggota DPRD sama saja menyerahkan kursi kepala daerah ke orang yang salah. Ruang untuk berbuat salah menjadi kecil. Rakyat dipaksa membuat kalkulasi yang cermat.

Tiga masalah utama dalam pemilihan anggota legislatif, termasuk anggota DPRD, adalah biaya kampanye yang mahal, rendahnya keterikatan calon legislatif dengan konstituennya, dan kendali partai yang terlalu besar terhadap anggota legislatif terpilih. Semua masalah ini bisa direduksi dengan satu langkah sederhana, yaitu memekarkan daerah pemilihan.

Sebenarnya ini bukan ide baru. Namun mengingat pentingnya memiliki DPR dan DPRD yang berkualitas, tidak ada salahnya jika ide ini diwacanakan kembali. Selama ini, dalam satu daerah pemilihan ada beberapa kursi legislatif yang diperebutkan di tiap tingkatannya. Akibatnya, biaya kampanye menjadi tinggi karena wilayah yang harus dijangkau sangat luas. Selain itu, keterbatasan waktu kampanye juga akan mengakibatkan ikatan antara pemilih dengan calon legislatif tidak cukup kuat. Maka jangan heran jika kemudian banyak anggota legislatif yang abai dengan konstituennya.

Solusi masalah ini adalah dengan memekarkan daerah pemilihan hingga dalam satu daerah pemilihan hanya ada satu jatah kursi parlemen di tiap tingkatan. Dengan demikian, wilayah daerah pemilihan menjadi sempit. Jika hal ini terjadi, satu daerah pemilihan untuk DPRD tingkat II mungkin hanya terdiri dari dua sampai tiga Rukun Warga (RW). Daerah pemilihan untuk anggota DPR-RI mungkin cukup sebesar satu sampai dua kecamatan saja. Dengan demikian, kampanye bisa murah.

Calon legislatif juga akan lebih intens berdialog dengan warga. Kampanye dua arah akan lebih mungkin terjadi. Kampanye tidak harus dilakukan di atas panggung di tengah lapangan. Kampanye bisa diselipkan di arisan, pengajian, atau kegiatan warga lainnya. Calon legislatif menjadi lebih terjangkau oleh rakyat.

Karena dalam satu daerah pemilihan hanya memperebutkan satu kursi, maka partai tidak harus boros memasang banyak calon legislatif. Cukup satu calon legislatif dari tiap partai untuk tiap daerah pemilihan. Calon legislatif pun tidak perlu saling cakar dengan kawan dari partai sendiri seperti yang terjadi di pemilu legislatif lalu.

Partai pengusung pun menjadi harus lebih selektif memilih calon-calon legislatifnya. Partai dengan pendekatan top-down hampir dipastikan akan tersingkir karena calon-calonnya tidak dikenal oleh masyarakat. Sebaliknya, partai-partai yang mampu menjaring kader dari akar rumput daerah pemilihan tersebut akan diuntungkan.

Pada akhirnya, pendekatan partai akan berubah. Tidak lagi elitis, tapi semakin banyak menyentuh akar rumput. Partai yang tidak mampu beradaptasi akan berakhir sebagai kenangan belaka. Partai pun dituntut untuk menjadi berkualitas.

Dilihat dari sisi pemilih pun, solusi ini menguntungkan. Jika partai peserta pemilu nanti ada sepuluh, maka pemilih cukup memilih satu di antara sepuluh untuk masing-masing tingkatan. Tentu pekerjaan ini akan lebih ringan dibandingkan harus menyaring satu dari tujuh puluh atau delapan puluhan orang.

Jika hubungan antara anggota legislatif dan konstituennya sudah mesra, maka ganjalan terakhir adalah dari partai pengusung anggota legislatif itu sendiri. Dalam mengambil keputusan, terkadang anggota legislatif akan mengalami dilema antara menyuarakan aspirasi rakyat atau mendukung keputusan fraksi atau partainya. Jika menentang arahan fraksi atau partainya, maka anggota legislatif bisa menerima resiko di-recall dari kursi parlemen. Selama ini, anggota legislatif yang di-recall, akan digantikan calon legislatif gagal di daerah pemilihan yang berasal dari partai yang sama. Aturan ini harus diubah.

Daerah pemilihan yang hanya memiliki kuota satu kursi parlemen bisa memaksa partai untuk hanya mencalonkan satu calon legislatif. Akibatnya, jika ada anggota legislatif dari partai tersebut yang di-recall, maka partai tersebut tidak punya hak untuk mengajukan pengganti. Pengganti anggota legislatif tersebut akan diambil dari pengumpul suara terbanyak kedua di daerah pemilihan tersebut, yang mana sudah tentu berasal dari partai lain. Dengan demikian, partai akan berpikir dua kali sebelum me-recall anggotanya. Konsekuensi dari recall adalah kehilangan kursi di parlemen. Dengan demikian, seorang anggota legislatif tidak terlalu dibebani pesanan partai.

Anggapan bahwa banyak calon anggota legislatif yang tidak kompeten tidak sepenuhnya bisa benar. Sistem pemilihannya yang memungkinkan calon-calon tidak kompoten tersebut bisa maju.

Pemekaran daerah pemilihan akan memaksa calon-calon tidak kompeten tersebut tersingkir dari arena pertarungan. Bukan hanya calon anggota legislatif, partai-partai yang miskin kader unggulan pun akan gigit jari dengan aturan main ini.

Jika sistem pemilihan anggota legislatif bisa diperbaiki, maka pemilihan Kepala Daerah lewat DPRD tidak perlu dipandang sebagai kiamat. Dengan perbaikan signifikan pada anggota DPRD, maka demokrasi dengan perwakilan justru dapat memungkinkan suara minoritas untuk lebih didengar. Namun untuk menuju ke sana, langkah pertama yang perlu dilakukan oleh para anggota legislatif adalah memantaskan diri mereka untuk mewakili rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun