Beberapa hari lalu seorang copet tertangkap di Stasiun Manggarai. Copet ini dilucuti pakaiannya dan diberi kertas bertuliskan "SAYA COPET". Fotonya tidak perlu ditampilkan di sini lah ya. Tapi kalau anda penasaran, silahkan saja cari-cari sendiri.
Beruntung sekali copet ini. Bagaimana tidak, rekan-rekan sejawatnya yang lain di negeri ini banyak yang dipaksa meregang nyawa dengan badan penuh lebam dan tulang-belulang patah di sana-sini. Dibandingkan itu, kalau cuma sekedar ditelanjangi tentu hitungannya masih beruntung.
Pagi ini, ada lagi kejadian serupa. Di Stasiun Manggarai juga. Cuma bedanya kali ini bukan copet, tapi pria mesum. Orang yang mencari-cari kenikmatan dalam kesempitan. Denotatif, bukan konotatif. Pria yang mencari-cari rekreasi syahwat di tengah lautan manusia di dalam gerbong kereta ini harus nurut ditelanjangi dan dipajang di tengah Stasiun Manggarai.
Stasiun Manggarai memang angker untuk para pencoleng. Bukan baru-baru ini saja para pencoleng harus merasakan aksi main hakim sendiri. Beberapa bulan yang lalu, seorang pencopet juga sempat tertangkap. Tapi pencopet ini lebih beruntung, Ia hanya dihukum jemur setelah rambutnya dibuat pitak terlebih dahulu sambil membawa kertas bertuliskan "SAYA COPET". pakaiannya masih utuh melekat.
[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Sumber: detikcom"][/caption]
Aksi copet memang membuat orang lain jengkel. Apalagi untuk korban-korbannya, pasti murka. Ketika penegakan hukum terasa sulit dan berbelit-belit, aksi main hakim sendiri memang terasa sangat menyenangkan dan menyegarkan. Jika posisi kita di atas, menjadi barbar memang amat menyenangkan. Akui saja.
Tapi kalau Anda tidak hati-hati. misalnya tidak punya beking yang bisa diandalkan atau massa yang beringas, jangan coba-coba main hakim sendiri. Seorang kawan saya setelah saya tunjukkan gambar di atas beberapa bulan yang lalu bercerita bahwa Ia harus berurusan dengan polisi gara-gara aksi main hakim sendiri.
Ceritanya, toko yang ia manajeri kedatangan pengutil. Bukan cuma satu, tapi banyak. Pencuri pertama yang tertangkap diselesaikan secara kekeluargaan. Penyelesaian ini dicapai setelah sang pelaku dihukum mengepel lantai toko terlebih dahulu. Tapi ternyata pencuri itu baru gelombang pertama. Di hari itu, setidaknya ada tiga pencuri yang tertangkap tangan dan dihukum mengepel. Salah satunya padahal punya gelar sarjana agama. Gak tau deh agama apa.
Arus pencuri ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Masih ada pencuri lain yang tertangkap tangan. Akhirnya, karena sudah kesal, pencuri ini dijemur di depan toko. Menjadi tontonan orang yang lalu-lalang. Tak berapa lama, datang polisi. Teman saya itu akhirnya diproses dengan tuduhan melanggar HAM. Setelah proses ini-itu, akhirnya teman saya itu didamaikan dengan sang pencuri. Sebagai syarat perdamaian, teman saya dipaksa membayar Rp 500.000,- ke si pencuri dan meminta maaf. Konyolnya, si pencuri itu tidak diproses sama sekali.
Siapa pun pasti merasa heran ketika orang yang salah justru mendapat perlakuan selayaknya korban. Kok bisa-bisanya polisi malah bersimpati ke si pelaku?
Karena berusaha mencari alasan, saya beranikan bertanya ke teman saya itu,"Malingnya itu ibu-ibu ya?"
Teman saya hanya menjawab singkat,"Ho oh."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H