Oleh: Aral
“ Melalui cerita kesunyian ini, kusampaikan kepadamu tentang rinai yang dilahirkan bersama sejuta kesedihan. Yang terus tumbuh dalam cekungan sempit jauh di tepian belantara.”
Teman, saat ini kita hidup dalam sebuah ceruk sempit bernama kehidupan, yang terasing jauh di dalam rimba gelap. Tentu sebagaimana kau tahu, kita tak akan menemukan jalan menuju muara, sebab kita adalah rinai yang tak sengaja di tangkap daun saat kita dilahirkan oleh ibu-ibu kita di langit sana, lalu terperosok. Jatuh. Dan terperangkap di ceruk kecil ini bersama embun dan sejuta kesedihan.
Teman, sebagaimana kau tahu, waktu tak pernah bicara pada kita soal kapan kita akan sampai ke muara, ia hanya mengatakan bahwa kita pasti akan sampai jua ke muara. Entah kapan, mungkin dua tahun lagi, tiga tahun lagi, atau mungkin juga kita harus menghitung waktu yang tak terbilang jumlahnya sampai angka terahir, sampai jelas keriput tua terukir di wajahmu. Kita tak akan tahu. Tak akan pernah tahu.
“ Tuhan tak adil! Kenapa Ia tempatkan kita di tempat semacam ini hah?! Ia tak adil! Benar-benar tak adil!!” kata-kata kutukan itu meluncur dari mulutmu. Deras. Tajam.
“ Apa katamu? Tuhan tak adil kau bilang? Lantas kau pikir siapa yang menciptakan mu menjadi sebutir rinai yang bening ini? Siapa? Siapa hah?!! mestinya kau bersyukur! kau tahu? Jauh di muara sana banyak sekali genangan air yang kotor, busuk! Yang sama busuknya dengan hati mereka. Dan setidaknya kau lebih baik, meskipun untuk saat ini kita masih terasing, di sebuah belantara tanpa nama.Entah sampai kapan.” kata-kataku barusan seperti menyiram api amarahmu. Kau terdiam. Sejenak. Sampai raut raut kesedihan itu muncul lagi.
Teman, kita akan sampai jua ke muara. Percayalah! Bukankah teman yang baik selalu percaya pada temannya? Percayalah padaku,mungkin saat ini tuhan belum menghendaki kita untuk sampai ke sana, sebab tuhan lebih tahu apa yang akan terjadi pada kita dan kita hanya bisa menunggu. Menunggu takdir datang yang tak terbilang lamanya. Menunggu waktu mengatakan yang sebenarnya.
Teman, mungkin tuhan tak ingin kita cepat-cepat sampai ke muara sebab tuhan ingin menguji seberapa besarnya kesabaran kita menghadapi semua cobaan ini. Karana tuhan tahu, semakin ke muara, semakin keras pula kehidupan yang harus kita hadapi. Mungkin tuhan menyuruh kita bersabar. Mungkin pula dengan cara ini tuhan membesarkan hati kita. Hati yang rapuh di kerat seribu duka.
Kau tahu teman? Ibu-ibu kita di langit sana tentu akan bangga menyaksikan anak-anak nya tumbuh dengan hati yang besar. Sebab tuhan telah mengajarkan bagaimana caranya bersabar. Menunggu, terus menunggu sampai tiba masanya, saat kita kembali berlabuh menuju muara, menuju sesuatu yang telah lama kita impikan. Tidak kah kau tahu teman? Di langit sana ibu-ibu kita begitu bangga, menyaksikan kita dalam sebuah episode kehidupan yang pilu. Tak terbayang rasanya ketika kita melihat ibu-ibu kita menangis haru, meneteskan air mata berjuta rasa. Yang bercampur di dalamnya sejuta pengharapan dan doa.
Teman, di ceruk kecil bernama kehidupan ini kita akan terus tumbuh. Sembari menabung lara, merangkai kepingan-kepingan duka menjadi harapan dan mimpi-mimpi indah yang tak terbatas, lalu meraihnya dengan tangan tangan mungil kita. Teman, aku tahu kau adalah teman yang baik, dan aku berjanji kita akan terus bersama, tumbuh dalam ceruk sempit di ujung belantara denga sejuta kesedihan yang sama. Sejuta kesedihan yang semakin tergambar jelas di raut wajahmu, juga wajahku.
Kota Sunyi menjelang siang, 09/14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H