Belakangan ini saya sering ditanya teman-teman sumatera (khususnya Palembang) terkait klitih. Saya yang sudah setengah tahun resmi ber-KTP Bantul dianggap bisa menjelaskan fenomena klitih yang namanya masih sangat asing di telinga orang Sumatera. Mereka, teman-teman saya ini mengira klitih itu sama dengan begal.
Sepemahaman saya yang warga pendatang ini, klitih tidak sama dengan begal meski sama-sama merupakan bentuk kekerasan di jalanan. Jika pelaku begal umumnya punya motif merampas barang-barang berharga atau kendaraan milik korban, pelaku klitih umumnya hanya "iseng" melukai korban dengan senjata tajam.
Kata tetangga saya di sini, klitih itu akronim dari Keliling Golek Getih (Keliling cari darah). Tentu istilah ini mengalami peyorasi karena sebelumnya, istilah klitih merujuk pada aktivitas netral yang berarti jalan-jalan atau keluyuran menuju suatu tempat.Â
Pelaku klitih umumnya adalah ABG atau remaja yang sedang mencari pengakuan. Bisa juga sebagai syarat uji nyali dalam tradisi "ospek" untuk diterima di geng tertentu. Mereka biasanya menyasar orang-orang yang bermotor sendirian di malam hari. Daerah yang saat ini dianggap rawan klitih mayoritas di daerah Sleman dan sebagian kecil wilayah Bantul seperti jalan Kabupaten, jalan Kaliurang , daerah Maguwoharjo atau Ringroad.
Alih-alih membuat saya takut, fenomena klitih ini lebih membuat saya muak. Jijik sejijik-jijiknya. Sebagai orang yang menghabiskan hampir seluruh umur di Sumatera, bocah-bocah pelaku klitih ini sungguh "menggemaskan".Â
Mereka melakukan kejahatan itu, bahkan sampai memakan korban jiwa hanya buat uji nyali katanya. Buat gagah-gagahan. Biar dibilang berani, keren dan ditakuti. Cuih!
Kalau ada pelaku atau anggota geng klitih yang membaca tulisan ini, mohon maaf ... belum. Belum hebat kalian itu. Jangan merasa diri sebagai Raja Hutan kalau kenyataannya cuma kecoak.
Uji nyali kok di Jogja, yang bahkan penduduknya masih bisa "inggih-inggih" senyum meski dikasari. Uji nyali kok menyasar korban tidak berdaya. Mbak-mbak Indomaret lah, remaja yang lagi cari makan sahurlah, bapak-bapak tukang ojek yang sudah paruh baya lah ... apa serunya?Â
Kalau memang merasa hebat, coba, saya pengen lihat kalian motoran ke Sumatera. Tempat uji nyali yang sebenarnya. Bisa ke Palembang lewat Lampung, atau ke Bengkulu lewat Lubuk Linggau. Atau nggak usah jalur lintas Sumatera deh, coba motoran aja sendiri dari Ampera ke rumah mama saya di Banyuasin. Lewati semua hutan karet dan sawit itu sendirian. Baru saya akui kalau kalian memang hebat.
Saya yakin kalian pas pulang akan nangis sejadi-jadinya. Langsung tobat, bahkan mungkin masuk pesantren atau seminari meski tadinya sekolah aja males. Yah, itu pun kalau masih hidup... Kami Orang Sumatera sudah sangat terbiasa dengan berita penemuan mayat soalnya.
Btw, saya juga super gemas dengan penanganan kasus klitih ini. Kok rasanya pihak yang berwajib terkesan tidak serius mengusut dan memberantas. Apa karena pelakunya didominasi anak di bawah umur? Justru karena masih di bawah umur itulah masih ada harapan untuk diberangus. Kalau sudah kadung jadi sindikat begal seperti di Lampung atau Palembang makin repot lagi.
Lebih gampang nangkep Mbak Siskaeee dan Mbak Dhea sepertinya.Â
Terima kasih sudah membaca, salam hangat dari Jogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H