Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Belajar Kesederhanaan Serta Rasa Syukur dari Jogja dan Angkringannya

6 Februari 2022   21:08 Diperbarui: 7 Februari 2022   20:13 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang menghabiskan lebih dari separuh umur di pesisir Sumatera, angkringan adalah sesuatu yang istimewa. Seistimewa Jogja itu sendiri. Hey, tidak ada satu titik pun di Sumatera di mana kalian bisa makan nasi hanya bermodal seribu dua ribu rupiah saja. Di Sumatera, kami sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang serba-mahal.

Saya masih ingat dengan minggu-minggu pertama ketika diboyong suami ke Jogja, ke tanah kelahirannya. Saat itu, saya yang terbiasa hidup serba ada di rumah orang tua di Sumatera, cukup syok juga ketika harus memulai segalanya dari nol dengan suami di sebuah rumah kontrakan. Saya tidak bisa memasak karena perabotan dapur belum lengkap dimiliki. Kami juga tidak bisa juga sering-sering beli makanan yang terlalu jauh karena belum punya kendaraan. Sementara jika harus pesan makanan melalui aplikasi online, lumayan juga biaya yang harus dikeluarkan. Padahal, kami tahu harus segera menstabilkan keuangan kembali setelah semua tabungan terkuras untuk biaya pernikahan.

Lalu, solusi di kala perut sudah waktunya minta diisi pun muncul begitu saja. Hanya sekian langkah dari rumah : angkringan.

Sebuah gerobak sederhana dengan banyak pilihan makanan tertata apik di atasnya. Nasi dan lauk pauk dijajakan dengan porsi minimalis namun tetap menggugah selera. Sambal teri, sambel bandeng, oseng tempe, tahu dan tempe bacem, aneka gorengan,  sate-satean, hingga kerupuk dan aneka jenis minuman hangat. 

Di angkringan, tempat makan sederhana yang jauh dari hingar bingar dan gemerlapnya cafe itulah saya menyadari, bahwa kelezatan juga bisa tercipta dari kesederhanaan dan rasa syukur. Makanan apapun akan terasa nikmat kalau perut sudah lapar dan uangmu pas-pasan. Kapankah kalian terakhir kali merasa sangat bersyukur karena perut yang kenyang?

Angkringan di Malam Hari (dok.pri)
Angkringan di Malam Hari (dok.pri)

Sugiarto, salah satu pemilik angkringan di wilayah Caturtunggal, Depok, Sleman membenarkan jika angkringan pada awalnya ditujukan pada kelompok masyarakat yang punya budget pas-pasan. Angkringan berakar dari kepedulian, agar orang-orang masih tetap bisa makan meski nyaris tidak punya uang. "Makan itu kan kebutuhan pokok. Angkringan ini ada ya agar masyarakat tetap bisa makan meski mungkin lagi kesusahan ndak punya uang. Tentu menu dan porsinya dibuat sedemikian rupa agar tetap bisa dijual dengan harga terjangkau," kata Sugiarto.

Menurut Sugiarto yang saya temui belum lama ini, pelanggan angkringan miliknya didominasi oleh mahasiswa atau penghuni kos kosan. Meskipun tidak menutup kemungkinan masyarakat umum juga turut membeli dagangannya. "Biasanya kalau di rumah sedang tidak masak jadi beli lauk di sini. Bapak-bapak dan anak muda juga sering mampir karena sekalian ngobrol-ngobrol malam hari. Tapi pelanggan terbanyak memang dari kalangan mahasiswa atau karyawan-karyawan penghuni kosan."

Menurut Sugiarto, konsep berdagang angkringan sebetulnya berasal dari Cawas, Kabupaten Klaten. Di daerah asalnya, para pedagang menjajakan makanan jualannya dengan cara dipikul. Namun saat ini, angkringan justru identik dengan Yogyakarta.

Berdiri sejak 5 tahun lalu, angkringan milik Sugiarto buka dari pukul 2 siang hingga tengah malam. Omset yang didapat berkisar Rp 350 ribu per hari. Angkringannya cukup laris, namun memang sempat terdampak pandemi beberapa waktu lalu. Beruntung, saat ini segalanya sudah mulai kembali normal.

Diakui Sugiarto, awalnya dia tidak berminat membuka angkringan karena sudah memiliki usaha sendiri. Namun karena ingin memanfaatkan halaman rumah peninggalan orang tuanya sekaligus membuka lapangan pekerjaan, akhirnya dia memutuskan membuka angkringan tersebut.

Sugiarto merekrut seorang janda paruh baya dengan tiga orang anak bernama Sugiyem untuk menjalankan usaha angkringannya. Sugiyem mengaku keberadaan angkringan tersebut cukup membantu perekonomiannya. 

"Orang sudah tua seperti saya sudah susah cari kerja. Mau buka (angkringan) sendiri ndak ada modal.

Jadi bersyukur dikasih kepercayaan sama Pak Giarto ngurus angkringan ini. Ada kesibukan, ada uang masuk juga. Kadang saya kadang gantian sama anak saya," tutur Sugiyem.

Sugiyem dan pembeli di angkringan (dok.pri)
Sugiyem dan pembeli di angkringan (dok.pri)

Saya sempat berkomentar tentang kondisi gerobak angkringan yang dipakai Sugiyem berjualan yang tampak baru sehingga membuat pembeli merasa nyaman. Sugiyem membenarkan jika gerobak angkringan tersebut memang baru setelah belum lama ini mendapat bantuan. "Iya, ini baru. Kemarin Pak Giarto mengajukan ke pedukuhan, terus malah dapat dari Kanisius," terang Sugiyem.

Sugiarto menjelaskan jika saat ini ada aturan yang menyatakan warga DIY bisa mengajukan kebutuhan gerobak angkringan ke pedukuhan. Pedukuhan adalah tingkat pemerintahan yang khas di Yogyakarta, yakni di atas RW dan di bawah dusun. Selain DIY, Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur juga masih mempertahankan pedukuhan ini.

Data-data warga yang mengajukan kebutuhan gerobak tersebut akan dikumpulkan di tingkat Kabupaten, lalu dikelola oleh Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) Kabupaten Sleman untuk kemudian disebarkan ke seluruh perusahaan yang ada di Kabupaten Sleman. Hal ini karena pemerintah daerah melihat bahwa angkringan sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari masyarakat Jogja itu sendiri.

Salah satu perusahaan yang menyambut kebutuhan warga akan gerobak angkringan tersebut adalah PT Kanisius, Yogyakarta. Perusahaan penerbit dan percetakan yang baru saja merayakan ulang tahun ke-100 itu memutuskan memberi bantuan gerobak angkringan kepada warga. Selain Pak Sugiarto, ada satu warga pedukuhan Santren, Caturtunggal lainnya yang juga mendapat gerobak angkringan baru.

"Bersyukur dengan adanya gerobak angkringan baru ini sebab pengunjung jadi lebih nyaman dan otomatis bisa meningkatkan omset. Terima kasih untuk pemerintah dan PT Kanisius yang sudah memperhatikan kebutuhan warga," tutup Sugiarto.

Gerobak angkringan baru Sugiarto (dok.Pri)
Gerobak angkringan baru Sugiarto (dok.Pri)

Bagi Sugiyem dan Sugiarto, angkringan adalah sumber penghasilan. Bagi PT Kanisius, angkringan adalah sarana berbagi kasih. Bagi saya, angkringan adalah sumber pengajaran hidup tentang kesederhanaan, rasa syukur, kehangatan, dan keistimewaan yang hanya ditemui di Yogyakarta.

Kamu? Apakah arti angkringan buatmu?

***

Salam dari Jogja yang istimewa, seistimewa kalian yang berkenan meninggalkan jejak di tulisan ini 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun