Warganet Indonesia kembali dihebohkan dengan sebuah sinetron yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Sinetron tersebut dianggap tak senonoh dan tidak pantas ditonton karena dianggap mempromosikan tindakan kekerasan seksual, poligami, hingga pedofilia. Pasalnya, salah satu pemain yang terlibat adegan ranjang ternyata masih berusia 15 tahun.Â
Berbagai reaksi keras dilontarkan masyarakat, termasuk menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan. Sebagian lain pilih memboikot sinetron tersebut.Â
Tidak sedikit pula yang kembali mempertanyakan kualitas tayangan televisi dalam negeri dan mengeluhkan kurangnya tim kreatif sehingga membuat masyarakat terpaksa menikmati konten tayangan tidak mendidik.Â
Terkait hal ini, saya sama sekali tidak melihat kurangnya tim kreatif sebagai faktor yang membuat produk tayangan televisi kita tidak berkualitas. Tidak, Indonesia sama sekali tidak kekurangan orang kreatif. Saya berani jamin itu.Â
Pekerjaan saya berkutat di ranah industri kreatif. Begitu pula dengan tunangan saya. Sehari-hari kami berinteraksi dengan orang-orang kreatif (atau malah super kreatif) yang lebih dari mampu menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Tidak hanya informatif, namun juga edukatif.Â
Negeri kita juga tidak pernah kekurangan penulis berkualitas. Mencari naskah menarik tanpa harus mempertontonkan kebobrokan moral seharusnya juga bukan hal yang terlalu sulit.Â
Masalahnya adalah, sejauh mana orang-orang ini diberi ruang dan kebebasan dalam membuat karya berkualitas? Sementara kenyataannya, ide-ide kreatif dan berkualitas mereka seringkali dibungkam begitu saja oleh yang lebih punya kuasa.Â
Ya atasan. Ya klien. Ya pihak-pihak yang membayar mereka. Ya rating. Ya selera pasar.Â
Saya berkali-kali menjadi saksi, bagaimana sebuah konten dan karya menarik nan berkualitas, harus diganti dengan konten murahan hanya karena klien tidak suka. Atau program yang informatif dan edukatif, harus kalah dengan tayangan yang hanya mengedepankan sensasi.Â
Melansir Vice.com, seorang penulis skenario bernama Pito bahkan mengaku terlalu malu untuk menonton hasil akhirnya lantaran mengakui mutu karya mereka sangat rendah.Â
Bukan keinginan Pito untuk membuat naskah berkualitas rendah, namun karena sabda pemilik PH yang memang menghendaki skenario dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami penonton kelas C dan D yang berpendidikan rendah. "Aku tuh sering banget dibalikin naskah cuma karena it's too intelligent," kata Pito.Â
Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?Â
Masalah bobroknya industri pertelevisian kita ini adalah perkara kompleks. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pihak saja. Dalam hal ini, semua yang terlibat, termasuk lapisan masyarakat yang menonton juga harus ikut serta.Â
Pemilik PH harus mau berbesar hati untuk lebih memberi ruang kepada pekerja kreatif untuk membuat karya yang lebih baik. Pekerja kreatif harus mulai berani mempertahankan idealismenya, alias jangan terlalu ikut arus lah.Â
Betul, pekerja di industri pertelevisian memang butuh uang. Namun pahamilah bahwa tanggung jawab mencerdaskan bangsa juga menjadi bagian dari kalian.Â
Masyarakat selaku penikmat sekaligus ujung tombak industri ini juga harus pintar-pintar memilih tontonan. Sudah tahu tayangan tidak mendidik, ya tidak usah lah ditonton. Tidak usah diberi panggung. Kalau tidak ditonton kan rating akan turun dengan sendirinya dan pihak PH akan berpikir ulang untuk membuat tayangan serupa.Â
Lembaga pengawas macam KPI, tolong bekerjalah lebih "niat" lagi. Sungguh tidak lucu ketika kalian menyensor dada Sandy si tupai dalam tayangan kartun Spongebob SquarePants sedemikian rupa, namun meloloskan tayangan adegan ranjang yang melibatkan anak di bawah umur.Â
Saat ini, saya hanya menonton televisi untuk menonton siaran pertandingan olahraga. Saya terlalu takut menonton siaran yang lain (apalagi sinetron), karena khawatir cuma berakhir dengan sumpah serapah. Saya sungguh merindukan siaran televisi Indonesia yang ramah untuk semua umur, setidaknya seperti saat saya masih kecil di tahun 90-an.
Mungkinkah bisa seperti itu lagi?Â
Salam dari Tepian Musi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H