Ada banyak sekali teman dan kenalan saya yang mengidap fobia atau ketakutan irrasional pada sesuatu. Entah objek, orang, hewan, aktivitas, atau situasi. Fobia merupakan salah satu gangguan psikologis dengan berbagai tingkat keparahan. Mengutip situs alodokter dari kemenkes RI, fobia termasuk dalam penyakit gangguan kecemasan.Â
Sebagian besar pengidap fobia cenderung menyepelekan gangguan ini. Alih-alih berobat atau menjalani terapi ke profesional, mereka lebih memilih "main  aman" atau berdamai dengan semua ketakutan itu di kehidupan sehari-hari.Â
Padahal, di titik tertentu, perilaku pengidap fobia ini bisa sangat mengganggu orang-orang di sekitarnya. Seperti yang saya alami di sebuah WAG baru-baru ini.Â
Ada yang mengirim stiker lucu gambar tangan berlumur selai kacang dan dibolong-bolongi. Yang mengejutkan adalah reaksi member grup yang kebetulan pengidap tryphophobia. Si pengidap tersebut emosi bahkan mengeluarkan kata-kata tidak pantas.
Saya mengerti betapa nggak enaknya serangan panik yang dialami si pengidap phobia (saya juga merasa begitu kalau anxiety disorder kumat), namun reaksi berlebihan sampai mengganggu ketentraman WAG tersebut sungguh membuat saya mengerenyitkan dahi.
Pengidap fobia --apapun jenisnya-- adalah minoritas. Pengidap tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan orang lain. Betul, pengidap punya penderitaan sendiri saat menghadapi apa yang ditakutkannya. Tapi meminta seluruh dunia agar stop memposting atau membagikan objek pemicu ketakutannya sungguh bukan tindakan bijak.Â
Bayangkan kalau pengidap Ailurophobia menuntut orang-orang di seluruh dunia untuk stop berbagi konten kucing. Karena bisa bikin mereka ketakutan, panik, tidak nyaman sampai mual dan berkeringat dingin, misalnya. Wah, bisa-bisa terjadi perang dunia antara Ailurophobia dan Ailurophile.Â
Saya menulis ini bukan untuk mendiskreditkan kalian, para pengidap fobia. Namun kalian harus berbesar hati dan mengakui dengan penuh kerendahan hati kalau kalian-lah yang bermasalah. Kalian yang abnormal. Pahit memang, tapi terimalah fakta ini.
Untuk keluarga dan teman-teman dekat, mungkin bisa kalian larang untuk tidak posting atau share hal-hal yang bikin kalian ke-triggered. Tapi orang lain, apalagi yang tidak kalian kenal baik, secara etika tidak pantas. Apalagi kalau kondisinya ybs tidak tahu kalian mengidap fobia tertentu tapi malah dimarah-marahi. That's annoying, really!Â
Ketimbang menyalahkan dunia, lakukanlah apa yang kalian bisa untuk mengatasi fobia tersebut. Bisa dengan hide, delete, unfollow, atau block postingan-postingan yang bikin kalian ke-triggered.Â
Misal masih nggak mempan juga maka berobatlah. Cari pertolongan ke profesional. Nggak mau ke psikiater ya konsul ke psikolog. Terapi. Atau apapunlah yang bikin kamu lebih baik. Para profesional itu lebih ngerti dan akan membantu kamu berjuang untuk menyehatkan mentalmu.
Takut dikira gila? Takut keluarga nggak nerima kalo kita konsul ke psikolog?Â
Astaga, mau sampai kapan sih kita melestarikan stigma negatif ke orang-orang yang punya gangguan psikis kaya gini? WHO aja sampai bikin Mental Health Awareness Days lho sebagai kampanye biar orang-orang kaya kita ini bisa bebas mencari pertolongan. Bebas mencari kesembuhan. Biar nggak ada lagi yang ngata-ngatain gila atau kurang iman lagi.Â
Kesehatan fisik dan mental sama pentingnya, Gaes. Kenapa kita kok heboh nyari obat kalau kepala pusing, tapi dengan santai membiarkan aja fobia diri kian memburuk bertahun-tahun? Padahal enggak adil, tahu. Baik fisik maupun mental harus sama-sama diperhatikan.
Yuk, sama-sama sehatkan diri kita!
Salam dari Tepian Musi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI