Saya suka nonton bola, dia tidak suka pertandingan olahraga apapun. Saya makhluk nocturnal, dia morning person. Saya Kristen KTP, dia muslim yang teramat taat (at least kalau dilihat dari kebiasaannya sehari-hari yang tidak pernah meninggalkan salat, rajin puasa sunnah, dan pilih mengaji di sela-sela waktu luangnya).
Bisa dikatakan, 90% segenap aspek hidup kami bertolak belakang. Hampir sebagian waktu kami dihabiskan untuk mendebatkan apa saja. Saling membenturkan pemikiran yang sudah berseberangan dari sononya. Pada akhirnya, memang hanya dua hal yang mendamaikan kami : buku dan durian.
Mungkin karena dari awal sudah tahu kami ini demikian berbeda satu sama lain, lama kelamaan jadi bosan berselisih. Di antara rekan sekantor yang lain, kami berdua malah yang paling akrab dengan segala ketidak-cocokan yang ada.
Oh iya, saya perhatikan, sikap Arya dalam memperlakukan saya begitu berbeda. Jauh lebih manis, jauh lebih lembut ketimbang sikapnya ke teman cewek kami yang lain. Padahal saat itu saya lagi tomboy-tomboynya. Teman-teman cowok yang lain menganggap saya bagian dari mereka, saking sangar dan machonya saya saat itu.
Saya tidak pernah tahu kapan persisnya saya jatuh hati pada Arya. Pokoknya tahu-tahu sudah sayang saja. Susahnya, rasa itu ternyata sudah terlanjur dalam.
Enggan menyimpannya sendiri, saya pun nekat menyatakan rasa. Meski tak mau berekspektasi atau berharap apa-apa. Toh, sudah tahu, terlalu banyak jurang perbedaan di antara kami.
Saya juga tidak mau perasaan saya tersebut mengubah keakraban kami di kemudian hari. Tidak, saya tidak mau. Niat saya murni sebatas memberi tahu saja.
"Ar, gue sayang lo...," ucap saya.
"Ok. Thanks ...," sahut Arya sambil lalu.
Saya diam sejenak, sebelum akhirnya kembali bicara dengan nada lebih serius.
"Arya. Gue sayang lo. Lebih dari teman. Lebih dari sahabat. Gue enggak tahu wujud cinta sebenarnya itu kaya' mana. Tapi gue nggak pernah ngerasain ini sama cowok manapun. Jadi mungkin ... mungkin, gue cinta lo, Ar ..."