Saya nggak bisa mengaku sama siapapun saat itu kalau saya takut menang. Karena pasti malah nambahin panik. Dicap sombong lah, sok lah, apalah. Tapi seperti halnya pengidap Anxiety Disorder lainnya, kami memang mudah sekali cemas untuk apapun yang belum (tentu) terjadi.
Saya sudah melakukan segala cara untuk tenang, tapi nggak bisa. Berhari-hari nggak bisa tidur.
Saya benar-benar takut kalau nanti menang ujungnya cuma tertekan karena dinyinyirin orang, dianggap ga pantes menang, atau malah dianulir karena nggak mereprentasikan "best citizen journalism" blass.
Belum selesai, saya mulai menyesal karena males-malesan nulis di bulan-bulan ke belakang. Saya nyalahin diri sendiri kenapa nggak bisa konsisten kaya orang-orang. Kenapa nggak bisa bikin tulisan yang bikin saya laik menang. Saya bisa sampai kepilih jadi nomine itu memang cuma gara-gara kekuatan komunitas semata, bukan kualitas.
Sampe berapa hari, saya makin gelisah. Saya mulai hubungi beberapa teman Kompasianers menyampaikan kegelisahan Saya. Betapa insekyur saya makin jadi. Betapa saya ngerasa benar-benar ngerasa nggak layak. Betapa saya mulai lagi benci diri sendiri.
Mereka yang saya hubungi berusaha menentramkan. Menenangkan hati saya dengan segala cara. Bilang saya layak. Bilang tulisan saya bagus. Bilang kalau misalnya nggak layak, sekalipun temen ya ngapain didukung?
Tapi nggak mempan. Saya makin cemas dan frustrasi. Saya merasa ga satu orang pun yang ngerti betapa seriusnya kekhawatiran saya itu. Beruntung, ada satu teman yang punya gangguan kecemasan juga, namanya Farrah. Dia berusaha membantu saya mengatasi ketakutan-ketakutan itu.
Terakhir, setelah mungkin lelah berdebat dan gagal meyakinkan kalau saya ini sebenarnya layak masuk daftar nomine, dia bilang gini :
"... Ok, Ra. Sekarang kita anggap aja bener kamu nggak layak masuk nomine itu, ya udah ... kata orang tu tinggal 'fake it until you make it'. Yang penting sekarang jangan nyerah dan mundur. Pokoknya kamu harus maju dulu!"
Fake it until you make it.
Mantra ini lah yang akhirnya mampu menarik saya dari jurang keputusasaan dan penghakiman brutal terhadap diri sendiri. Hari-hari selanjutnya, meski kecemasan itu nggak benar-benar hilang, tapi perlahan tenang dan semakin rileks.