"Buku bocah dibaca. Pantesan nggak nikah-nikah kamu. Kapan dewasanya  kalau baca komik terus, Ra?"
Cukup sering rasanya menerima komentar begini dari orang sekitar yang kebetulan melihat saya membaca komik. Entah kerabat atau teman-teman. Faktanya memang tidak sedikit orang dewasa yang menganggap komik hanya bagian dari masa lalu mereka, saat masih anak-anak. Seiring kedewasaan muncul, hobi membaca komik ini seharusnya "wajib" ditinggalkan.
Namun benarkah komik itu sebatas buku bergambar yang cuma pantas dikonsumsi anak-anak?
Komik adalah bagian tak terpisahkan dari hidup saya. Salahkan mendiang papa kalau sampai detik ini saya masih amat menggandrunginya. Buku pertama yang beliau berikan begitu saya bisa membaca membaca sendiri di usia empat tahun (sebelumnya selalu dibacakan) adalah komik.Â
Bukan Doraemon atau Donal Bebek, melainkan seri Alkitab terbitan Lembaga Literatur Baptis (LLB). Ya, kitab suci pertama yang saya miliki berwujud komik.Â
Mendiang papa, dalam segala ketidaksempurnaanya sebagai  ayah, telah berhasil menetapkan dasar dan pedoman hidup di sanubari saya dengan cara amat menyenangkan.Â
Mungkin akan lain cerita jika beliau memaksa saya membaca Alkitab biasa yang wujudnya amat tidak menarik buat anak kecil itu. Sudah kertasnya tipis, hurufnya kecil-kecil pula.Â
Selesai dengan Alkitab dan komik-komik rohani lainnya, barulah papa menjejali saya dengan cerita lain yang lebih "duniawi" model Doraemon, Donal Bebek, dan segala seri komik dalam majalah Bobo.Â
Dalam kurun waktu sekian lama, hanya komik yang saya konsumsi. Sampai satu titik ketika sudah tidak tersisa lagi komik di perpustakaan papa yang tinggi raknya mencapai plafon itu, barulah saya melirik buku-buku lain yang saat itu saya sebut "ora ono gambare."Â
Meski mulai menggemari jenis buku lain seperti novel atau ensiklopedia, kecintaan saya pada komik tidaklah pudar. Makin besar, saya mulai rela tidak jajan demi menyewa komik di taman bacaan sampai akhirnya bisa membeli dan mengoleksi sendiri.Â
Dulu saya sempat berpikir seperti orang-orang kebanyakan, bahwa komik itu bacaan bocah. Hanya diperuntukkan bagi anak kecil. Di toko buku, kita lazim melihat komik yang dipajang bersama kelompok buku anak tanpa peduli apa judulnya. Namun seiring kian mudahnya akses informasi, saya sadar bahwa hal tersebut keliru.Â