Saya sebetulnya menyiapkan tulisan ini untuk hari Rabu (10/10) besok, tepat di peringatan World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Namun jemari saya keburu gatal. Jadilah tulisan ini diunggah hari ini juga.
Sebagai ADHD person, survivor depresi, dan anxiety fighter, saya sudah kenyang dengan stigma orang-orang terkait mental illness.
Bagaimana tidak enaknya, ketika berjuang untuk sembuh, respon orang-orang sekitar (terutama mereka yang dianugerahi kesehatan jiwa luar biasa baik) malah jauh panggang dari api. Jangankan memberi support, lebih banyak yang ngata-ngatain.
Kawan-kawan dengan diagnosa sama seperti saya pasti tahu bagaimana putus asanya membungkam pikiran-pikiran jelek di kepala sepanjang waktu.
Saat kondisi memburuk, self harm sering jadi pilihan. Jalan pintas ala setan. Ngiris pergelangan tangan atau minimal jedot-jedotin kepala di tembok.
Tindakan yang nggak ada untungnya sama sekali, tapi setidaknya bisa dijadikan pengalih rasa sakit yang selalu muncul di dada saking nyeseknya.
Kita tahu ada yang tidak beres dengan diri, tapi terlalu takut meminta bantuan. Takut dibilang gila. Takut cuma direspon "Halah, lebay kamu!"
Takut kalau ke psikolog/psikiater itu bayarnya mahal. Akhirnya cuma bisa mendam, mendam, mendam terus ... meski tahu itu cuma bikin kondisi lebih buruk.
Saya pernah, ketika udah mulai rutin terapi ... sebagian teman nggak percaya kalau saya beneran sakit. Yang paling menyakitkan itu ada  tuduhan self diagnosed dari orang yang cuma tahu saya sekali lewat.
Saya dikira mengada-ada dengan kondisi sendiri dan cuma dianggap attention seeker. Tukang caper alias cari perhatian. Asli, nggak ada yang lebih menyakitkan dari ini.
Pengen rasanya memperlihatkan kertas hasil diagnosa atau daftar resep yang saya punya setelah berbulan-bulan terapi di poli psikiatri. Atau kwitansi BPJS saya selama berobat. Mungkin juga upload sekadar bekas luka self harm saya.
Tapi terus mikir, orang begitu mau ditunjukkan bukti kaya apapun ya akan tetap menganggap saya caper. Cuma menghabiskan energi meladeni orang seperti itu.
Lebih baik fokus pada teman-teman yang tetap support, sekalipun mereka juga mungkin sering berpikir kalau saya caper.
Jiwa depresi saya kalau lagi kumat sering bikin saya mikir ... jangan-jangan benar, saya cuma caper.
Pikiran kaya gini suka bikin saya down dan berhenti untuk cari pertolongan. Bikin saya malas untuk terapi atau sekadar curhat dengan kawan. Ini hal berbahaya untuk pengidap sakit jiwa.
Untuk kalian, yang saat ini berjuang untuk kesehatan jiwa lebih baik, kalau ada yang ngatain kalian caper saya cuma mau bilang "It's ok. Nggak papa.
Itu artinya kalian masih berjuang. Cuma kita yang tahu persis, cuma kita yang bisa merasakan kalau setitik perhatian memang bisa menyelamatkan nyawa.
Setitik perhatian yang kadang harus mati-matian dicari terlebih dahulu, selalu mampu bikin kita tetap di dunia. Â Bikin kita bertahan sedikit lebih lama lagi. Bikin kita sadar, masih ada sedikit ini atau itu yang menautkan kita dengan kehidupan.
Kita tahu persis saat kita berhenti mencari perhatian, saat kita berhenti meminta pertolongan. Di situlah segalanya berakhir.
Kalau kamu sedih karena ada yang ngatain kamu caper, tolong bilang ke dirimu, 'Nggak papa caper, itu cuma salah satu caramu survive. Kamu hebat karena nggak menyerah!
Untuk kalian, yang saat ini dianugerahi kesehatan mental luar biasa baik dan kuat, bersyukurlah.
Kalau kalian sebal melihat orang-orang yang lagi sakit jiwanya terkesan caper (bilang ingin mati, ingin bunuh diri, lebay merasa seolah orang paling malang sedunia, dlsb) berbahagialah, karena orang-orang dengan fase seperti inilah yang masih sangat mungkin diselamatkan.
Tawarkan bantuan, sekadar kuping kalau mereka mau curhat. Atau ajak mereka untuk mendapatkan pertolongan dari profesional (psikolog, psikiater).Â
Sebab ketika mereka sudah lelah mencari perhatian, ketika mereka sudah memilih memendam segalanya sendiri dan ga mau lagi menerima pertolongan apapun dari siapapun ketika mereka memilih memasang topeng penuh tawa seolah dirinya baik-baik saja.
Di situlah, kabar mereka meninggal bunuh diri harus siap kalian terima. Untuk yang masih hobi ngata-ngatain penyintas bunuh diri itu manusia bodoh  yang ga mikir panjang, perlu saya kasih tahu nggak pernah ada orang bunuh diri mendadak, ujug-ujug pengen bunuh diri.
No. Bunuh diri itu artinya dia sudah depresi kronis. Ibarat sakit fisik itu mungkin sudah kanker stadium 4.
Ada proses panjang dan akumulasi banyak depresi lainnya sebelum itu. Kita nggak pernah tahu, sejauh mana mereka berjuang melawan dan bertarung dengan sakit jiwanya sebelum itu, sampai akhirnya menyerah.
Penyakit jiwa bukan perkara sepele. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), ga akan ujug-ujug menetapkan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia setiap 10 Oktober kalau nggak ada hal serius di baliknya.
Dilansir dari VOA Indonesia Juni 2018, WHO memperkirakan bahwa setiap 40 detik, seseorang di dunia mengakhiri hidupnya. Ini berarti, Â terdapat 800.000 jiwa setiap tahun yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri.
Masih berpikir 800.000 jiwa ini adalah orang-orang bodoh yang kurang ibadah?
Kurang tepat rasanya berpikir seperti itu. Sebagian besar dari penyintas bunuh diri justru orang intelek lho. Mereka juga bukan kurang iman, ibadah itu ibaratnya cuma olahraga. Ibadah itu upaya kita untuk menjaga kesehatan jiwa, sama kaya tidur teratur atau makan makanan bergizi. Tapi apa itu menjamin kita bebas sakit? Tidak sama sekali!
 Pernah dengar kan orang yang pola hidupnya luar biasa sehat tapi masih bisa kena kanker? Begitu pun sakit jiwa. Nggak ada satu orang pun yang bisa terjamin bebas dari ini.
Memang, tidak semua orang bakal mengidap jenis yang kronis setara kanker yang sampai bikin bunuh diri. Tapi sakit jiwa setara meriang  (stress misalnya) itu pasti masih bisa kena. Kalau tidak ditangani dengan benar, bisa memburuk juga lho.Â
Sama seperti kondisi fisik, ada orang yang fisiknya lemah dan kuat. Jiwa pun begitu, ada yang kuat dan lemah.Â
Mereka yang kondisi psikisnya kuat, tidak sepantasnya mengata-ngatai mereka yang psikisnya lemah. Tidak bisa disamakan.
Kurangnya edukasi akan kesehatan jiwa inilah yang mendorong WHO menetapkan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Agar orang-orang lebih aware dengan kesehatan jiwanya sendiri. Agar orang-orang berhenti dengan stigma negatif terkait mental illness. Agar orang-orang berhenti mendiskriminasi mereka yang sakit mental dan berjuang untuk sembuh. Agar tidak ada lagi orang yang bersembunyi dari sakit mentalnya, dan mulai bergerak mencari pertolongan biar tidak bertambah parah. Agar tidak perlu lagi ada 800.000 jiwa melayang sia-sia setiap tahunnya "cuma" karena bunuh diri.
Maukah kalian mendukung WHO dalam hal ini?
Mungkin bisa dimulai dengan stop mengatai temanmu yang sakit jiwa dengan sebutan "caper", "kurang ibadah" atau kata-kata menyakitkan lainnya.
Kalau kalian memang belum tahu atau belum bisa membuatnya lebih baik. Kalian baru boleh ngata-ngatain mereka caper  atau kurang ibadah kalau udah berhasil ajak mereka konsultasi dan berobat ke psikolog/psikiater plus bayarin semua tagihannya ... :p
Salam dari Tepian Musi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI