Mengemban tugas dari Badan Restorasi Gambut (BRG), akhir September 2018 lalu saya dan tim berangkat menuju Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.Â
Butuh waktu 3,5-4 jam perjalanan air menggunakan speedboat dari Kota Palembang untuk sampai di sana. Ini perjalanan kedua kami setelah sebelumnya ke sana pada pertengahan Agustus.
Sampai di Lalan, ada tiga desa yang harus disambangi. Namun saya sangat terkesan dengan desa yang kami kunjungi di hari kedua, Desa Sri Gading. Di desa ini, kami menginap di rumah orang tua Sekretaris Desa setempat. Pak Haji, demikian orang-orang di sana akrab menyapa beliau.
Pak Haji sudah tua. Prediksi saya tidak kurang dari 70 tahun. Tapi entah kenapa masih terlihat gagah dan enerjik. Beliau ramah sekali. Mudah tersenyum dan gampang tertawa.
Selain punya sawah dan kebun sawit serta kelapa, beliau juga punya usaha penggilingan padi. Tepat di sebelah rumahnya dibangun lapangan voli, sarana olahraga sekaligus hiburan rakyat di dusun yang listriknya terbatas dan cuma menyala malam hari.
Kening saya berkerut. Belum pernah mendengar kata itu sama sekali. Bahkan sempat missheard dan salah sebut dengan "barogo" dan "baroko" (maklum, saya tahunya cuma Burgo). Bu Haji dengan sabar mengoreksi sampai kami semua bisa melafalkan dengan tepat: Barobbo.
Mangkuk-mangkuk itu masih mengepulkan asap. Liur saya langsung terangsang dengan aroma khas jagung dan kaldu yang menguar di udara.Saya pun jatuh cinta pada Barobbo sejak suapan pertama.Â
Sambil makan, kami didongengi Bu Haji tentang Barobbo. Barobbo sendiri adalah bubur jagung khas Suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Barobbo berbahan dasar jagung yang dimasak dengan kaldu dan sayuran. Disajikan dengan pelengkap sambal dan taburan bawang goreng. Rasanya lezat sekali.
Andai saya belum makan malam, saya yakin bakal nambah. Tapi malam itu hanya makan sedikit saja, faktor kekenyangan. Saya berharap besok pagi Barobbo masih ada. Sepertinya enak kalau untuk sarapan.
Mendengar itu, saya jadi penasaran dengan rasa Barobbo asli. Tidak pakai udang saja sudah enak sekali begitu, apalagi kalau ditambah udang.
Bagaimanapun, malam itu ilmu saya bertambah. Saya jadi tahu kalau ada makanan enak yang disebut Barobbo. Sepaket dengan resepnya yang kilat saya pelajari langsung dari Bu Haji.
Kenikmatan  kian  bertambah, ketika menyadari  bahwa saya yang berkalung salib ini (bersama tim yang terdiri dari orang Jawa, orang Batak, dan asli Sumsel), mencicipi Barobbo untuk pertama kalinya di rumah Pak Haji yang asli orang Bugis. Bukan nun jauh di Sulawesi sana, tapi di sebuah desa eks transmigrasi di pelosok Sumsel, di mana suku Jawa dan Sunda dominan di sini.
Sebuah potret keberagaman yang jelas Indonesia banget. Kurang bersyukur apa sih saya jadi bagian dari negeri ini?
Oh iya, kisah Pak Haji yang merantau meninggalkan kampung halamannya hingga terdampar di Sumsel sini juga sebetulnya menarik untuk dituliskan. Tapi mungkin lain waktu saja.
Salam dari Tepian Musi 😉
Bonus :Â
Saya dan tim