Seumur hidup, saya sudah pernah mengalami sendiri guncangan gempa besar di atas 7 Skala Richter (SR) sebanyak dua kali. Pertama 7,3 SR saat kelas 4 SD (tahun 2000), dan 7,9 SR saat kelas 2 SMA (tahun 2007). Dua-duanya di Bengkulu.
Kejadian gempa di Lombok dan Palu yang terjadi baru-baru ini, mau tidak mau menjemput kembali memori kelam yang sudah belasan tahun terkubur di dasar kepala. Bayang reruntuhan bangunan, serta orang-orang yang mukanya bengkak, berbibir sobek, atau sekadar diperban sana sini kembali hadir begitu saja. Begitu jelas, seperti ditempelkan langsung ke retina.
4 Juni 2000, saya masih bocah SD yang bandel. Belum juga beranjak tidur, padahal sudah lewat dini hari. Papa dan mama baru pulang dari rewang di tempat hajatan tetangga sebelah rumah. Saat itulah gempa terjadi.
"Lindu, linduu!," teriak Mbah Putri saya yang di kamar belakang. Lindu itu bahasa Jawa, artinya gempa.
Saya kaget dan bingung. Tidak mengerti dengan bunyi gemuruh mengerikan, atap dan lantai yang berguncang menakutkan. Papa langsung bergegas mengambil kunci, berusaha membuka pintu. Naas, listrik mendadak padam. Jika mati lampu saja biasanya sudah cukup untuk membuat anak kecil merinding ketakutan, bayangkan jika ditambah guncangan dahsyat itu.
Kami sekeluarga (papa, mama, Mbah, Kakak dan saya sendiri) berkumpul di depan pintu, berharap pintu segera terbuka. Bayang rumah tua kami yang bisa runtuh kapan saja dan menimpa kami semua itu benar-benar mengerikan. Ntah karena panik atau bagaimana, papa tak jua berhasil membuka pintu.
Gempa pertama selesai, membuat kami mendesah lega. Tapi sesaat saja, hanya beberapa menit kemudian, guncangan gempa susulan kembali terasa ... dan kami masih terkunci di dalam. Kami tak bisa memikirkan hal lain lagi kecuali berdoa. Benar, hanya Tuhan yang diingat di saat kritis seperti itu.
Bersyukur, akhirnya kami bisa keluar. Di lapangan yang berada persis di depan rumah, sudah berkumpul para tetangga. Ada yang kakinya bersimbah darah dan pelipisnya luka.
Saya merinding. Dini hari itu juga, tenda darurat didirikan. Kami tidur umpel-umpelan dengan para tetangga dalam tenda. Meski takut dengan gempa yang barusan terjadi, ada rasa senang aneh yang menyusup di dalam hati. "Asyik, seperti kemah," pikir saya waktu itu. Sebuah kepolosan anak kecil yang sepertinya tolol kalau dipikir sekarang.
Listrik masih padam. Ada tetangga yang membawa radio kecil. Menyetel siaran RRI. Saya tidak ingat apa isi berita yang dibacakan saat itu. Tapi jelas terkait gempa yang baru saja terjadi. Malam itu, saya mendengar kata "sunami" untuk pertama kalinya. Hanya mendengar, belum memahami sepenuhnya mengapa kata yang terkait gempa itu kok sepertinya menakutkan sekali bagi orang dewasa.
Keesokan harinya, saat hari terang, kondisi sebenarnya terlihat. Saya bersyukur rumah tua kami masih berdiri. Hanya 2 buah genting yang jatuh dan sebuah retakan kecil di tembok belakang. Tapi tidak dengan rumah tetangga. Bagian belakangnya hancur total ...