Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Jambu yang Tak Bisa Kupanjat

2 Juli 2018   13:04 Diperbarui: 2 Juli 2018   13:16 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pohon jambu air di depan rumah itu, aku tidak tahu jenisnya. Buahnya sangat lebat, namun kecil-kecil, hanya seukuran jempol kaki. Rasanya pun tidak terlalu manis. Cenderung hambar dengan sedikit asam. Tidak cocok dimakan langsung, namun sempurna kalau dirujak. Warnanya merah menyala, kontras dengan dedaunan hijau tua di sekelilingnya. Sekilas, jadi mirip pohon natal yang lengkap dengan segenap hiasannya.

Satu meter di sebelahnya, tertanam satu batang jambu air yang lain. Sama, yang ini pun aku tak tahu jenisnya. Bentuknya lonjong memanjang mirip lonceng dan berwarna putih kehijauan. Sepat saat masih mentah, namun sangat manis menyegarkan jika sudah matang. Kalau ingin dimakan langsung, jenis ini favoritku. Pohon jambu air yang ini juga berbuah sama lebat dengan yang satunya.

Biasanya, aku selalu antusias melihat batang jambu air yang berbuah. Tak peduli jenis atau rasanya, selalu ada sensasi menyenangkan saat meraih buah-buah yang bergerandul pada tangkainya itu. Namun tidak kali ini. Aku hanya memandang dua pohon itu bergantian, mengamati buahnya sedemikian rupa tanpa berhasrat sedikit pun untuk memetik.

"Kamu kecewa karena dua pohon ini hanya setinggi tubuhmu kan, Dek?" Seseorang mendadak muncul di sebelahku. Melontarkan pertanyaan yang sebetulnya sebuah pernyataan dengan senyumnya yang khas.

Aku balas tersenyum. Namun senyum isyarat kekalahan. Ah, percuma menyembunyikan. Isi kepalaku hanya serupa kitab terbuka kalau sudah berhadapan dengan sosok satu ini.

"Kenapa Ayah menanam jambu rendah begini? Aku lebih suka pohon jambu di rumah kita yang lama," keluhku dengan nada rengekan mirip anak lima tahun.

"Agar leluasa memanjatnya?"

"Buah jambu yang didapat dengan memanjatnya sendiri, rasanya selalu lebih manis sepuluh kali lipat."

Ayah terkekeh. "Kamu bukan anak TK lagi, Dek. Tidak sepantasnya gadis dua puluh tujuh tahun bergelantungan memanjat pohon jambu seperti monyet."

"Tetap saja ...," sahutku. "Apa serunya makan jambu yang buahnya bahkan nyaris menyentuh tanah? Tidak ada keringat atau perjuangan meraihnya. Tidak ada seninya sama sekali. Bukankah Ayah juga dulu yang bilang, kalau hidup akan terasa lebih berarti kalau berjuang dan bertarung lebih dulu?"

"Ya. Ayah memang pernah mengajarimu hal itu, lebih sebagai guru dan senior yang lebih dulu menjalani hidup di dunia. Tapi untuk urusan pohon jambu ini, coba pikirkan perasaan seorang ayah pada anak perempuannya ...."

"Ayah pada anak perempuannya?" ulangku tak mengerti.

"Batang jambu air tinggi menjulang di rumah lama kita memang membawa keceriaan masa kecilmu. Namun batang yang sama juga berkali-kali membuatmu menangis. Coba hitung, berapa kali pohon itu meretakkan lutut, menggores tangan dan kakimu, atau sekadar membuatmu terkilir? Kamu enak tinggal menangis untuk meredakan rasa sakitnya, tapi seorang ayah tidak bisa seperti itu. Dia tidak bisa menangis sekalipun rasanya mau mati setiap kali melihat anak bungsunya terluka ...."

"..."

"Sejak saat itu, Ayah bertekad untuk menanam batang jambu yang tidak bisa dipanjat agar tak lagi melukaimu. Namun ternyata baru sempat terealisasi sekarang. Terlambat ya, Dek? Kamu bahkan sebentar lagi akan pergi dari rumah ini, menanam batang jambu yang lain dengan suami dan anak-anakmu...."

***

"Dek, ayo cepat petik. Keburu busuk. Pisahin secukupnya kalau pengen ngerujak sendiri. Sisanya bagi rata ke tetangga." Teguran ibu membuyarkan lamunanku.

Ah, tentu saja aku melamun. Dialog imajiner dengan ayahku barusan membuat mataku berkaca. Tapi, seandainya Ayah benar-benar ada di sini, dia pasti akan mengatakan hal yang sama.

Terima kasih, Ayah.

Untuk dua batang jambu yang kautanam tepat sebulan sebelum berpulang. Aku berjanji merawatnya. Dengan begitu, jejakmu bisa tinggal sedikit lebih lama di dunia.

::

kompasiana.com
kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun