"Ayah pada anak perempuannya?" ulangku tak mengerti.
"Batang jambu air tinggi menjulang di rumah lama kita memang membawa keceriaan masa kecilmu. Namun batang yang sama juga berkali-kali membuatmu menangis. Coba hitung, berapa kali pohon itu meretakkan lutut, menggores tangan dan kakimu, atau sekadar membuatmu terkilir? Kamu enak tinggal menangis untuk meredakan rasa sakitnya, tapi seorang ayah tidak bisa seperti itu. Dia tidak bisa menangis sekalipun rasanya mau mati setiap kali melihat anak bungsunya terluka ...."
"..."
"Sejak saat itu, Ayah bertekad untuk menanam batang jambu yang tidak bisa dipanjat agar tak lagi melukaimu. Namun ternyata baru sempat terealisasi sekarang. Terlambat ya, Dek? Kamu bahkan sebentar lagi akan pergi dari rumah ini, menanam batang jambu yang lain dengan suami dan anak-anakmu...."
***
"Dek, ayo cepat petik. Keburu busuk. Pisahin secukupnya kalau pengen ngerujak sendiri. Sisanya bagi rata ke tetangga." Teguran ibu membuyarkan lamunanku.
Ah, tentu saja aku melamun. Dialog imajiner dengan ayahku barusan membuat mataku berkaca. Tapi, seandainya Ayah benar-benar ada di sini, dia pasti akan mengatakan hal yang sama.
Terima kasih, Ayah.
Untuk dua batang jambu yang kautanam tepat sebulan sebelum berpulang. Aku berjanji merawatnya. Dengan begitu, jejakmu bisa tinggal sedikit lebih lama di dunia.
::